Nabi Muhammad Dalam Bible

                            


Daftar Isi

Daftar Isi 1

Pendahuluan. 2

Mencari Bisyarah Kenabian. 5

Tangan Perubahan. 8

Saudara Bani Israil 9

Pembukaan Kota Makkah. 13

Kepribadian (Syamail) Nabi 18

Aku Tidak Bisa Membaca. 27

Bangsa Ummiyun. 28

Kekuasaan Umat Islam.. 30

Penyempurna Batu Bangunan. 32

Hijrah ke Madinah dan Perang Badar. 34

Kisah Isra’ dan Mi’raj 38

Kitab Baru dan Syariat Baru. 42

Dari Kegelapan Menuju Cahaya. 45

Perpindahan Kiblat. 48

Ibadah Haji ke Makkah. 50

Sang Nabi Pilihan. 52

Keutamaan Negeri Yaman. 55

Pembela Kaum Lemah. 56

Menerima Hadiah dan Upeti 59

Berjihad dan Mendapatkan Rampasan. 63

Raja Hijaz dan Permaisurinya. 65

Raja Yang Berkuda. 70

Penebus Dosa Bani Israil 77

Pengajar Yang Jujur. 79

Menghapus Kekafiran. 81

Kabar Gembira dari Nabi Isa alaihissalam.. 83

Memuliakan Nabi Isa alaihissalam.. 84

Kebohongan Ajaran Paulus. 86

Penutup. 99

Pendahuluan

الحمد لله الذي أَرْسَل رسوله بالهدى ودين الحقِّ ليظهره على الدين كلِّه وكَفَى بالله شهيدًا، وأشهد أنْ لا إله إلا الله وحْدَه لا شريك له إقرارًا به وتوحيدًا، وأشهد أنَّ محمدًا عبده ورسوله صلَّى الله عليه وسلَّم تسليمًا مزيدًا.

أمَّا بعدُ:

Agama Islam adalah agama penyempurna bagi agama-agama sebelumnya. Dan kedatangannya pun sudah diberitakan dalam kitab-kitab terdahulu seperti Taurat, Zabur dan Injil.

Allah ta’ala berfirman:

وَإِنَّهُ ‌لَفِي ‌زُبُرِ ‌الْأَوَّلِينَ

“Dan sesungguhnya Al-Quran itu benar-benar (tersebut) dalam Kitab-kitab orang yang dahulu.” (QS. Asy-Syuara: 196).

Al-Imam Abu Ishaq Ibrahim az-Zajjaj (wafat tahun 311 H) rahimahullah berkata:

تأويله واللَّه أعلم أن ذِكرَ مُحمدٍ عليه السلام وذكر القرآن في زبُر الأولين، والزُّبُر الكُتب، زَبور وَزبُر مثل قولك رَسول وَرُسل

“Tafsirnya -wallahu a’lam- adalah bahwa berita tentang Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan al-Quran sudah disebutkan dalam kitab-kitab orang terdahulu. Makna ‘zubur’ adalah ‘kutub’ (kitab-kitab, pen). Kata ‘zabur dan zubur’ itu seperti kata ‘rasul dan rusul’ (rasul-rasul, pen).” (Ma’ani al-Quran wa I’rabuh: 4/100).

Adanya ayat di atas dan ayat-ayat lain yang semisal, memberikan konsekuensi bahwa seorang Ahlul Kitab, baik itu seorang Yahudi ataukah seorang Nasrani atau Kristen, ketika mendengar berita diutusnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka wajib dan harus baginya untuk beriman kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan agama beliau, yaitu al-Islam.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ ‌يَهُودِيٌّ، وَلَا ‌نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang dari umat ini baik Yahudi dan Nashrani mendengar tentangku, kemudian dia meninggal dan tidak beriman dengan agama yang aku diutus dengannya, kecuali dia pasti termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim: 153 dan an-Nasai dalam al-Kubra: 11177 (10/126) dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu).

Al-Imam al-Wazir Abul Muzhaffar Ibnu Hubairah al-Hanbali (wafat tahun 560 H) rahimahullah berkata:

في هذا الحديث من الفقه وجوب اتباعه – صلى الله عليه وسلم -، ونسخ جميع الشرائع بشرعه، فمن كفر به؛ لم ينفعه إيمانه بغيره من الأنبياء صلوات الله عليهم أجميعن

“Di dalam hadits ini terdapat pelajaran fikih, yaitu tentang wajibnya mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan dihapusnya syariat-syariat terdahulu dengan syariat beliau. Barangsiapa yang kufur (yakni: mengingkari, pen) kerasulan beliau, maka tidak bermanfaat baginya keimanannya kepada para nabi selain beliau alaihimussalam.” (Al-Ifshah fi Ma’ani ash-Shahhah: 8/192).

Maka di dalam risalah dan tulisan ini akan dipaparkan tentang sisa-sisa berita dalam Taurat, Zabur, Injil dan kitab para nabi -yang masih belum mengalami perubahan oleh tangan yang usil- tentang diutusnya Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Yang demikian karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً، ‌وَحَدِّثُوا ‌عَنْ ‌بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ، وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa-apa (dosa). Dan barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Al-Bukhari: 3461 dan at-Tirmidzi: 2669 dari Abdullah bin Amr radhiyallahu anhuma).

Al-Allamah al-Qadhi Nashiruddin al-Baidhawi asy-Syafi’i (wafat tahun 685 H) rahimahullah berkata:

وقوله ” حدثوا عن بني إسرائيل ” تجويز وإباحة للتحدث عنهم ، ولا حرج بفرقة بين الأمرين ،فإن قول القائل: “افعل هذا ولا حرج”  يفيد الإباحة عرفا ورفع الحرج المفهوم من قوله: (‌أمتهوكون أنتم؟) ونحوه. وإنما يجوز التحدث عنهم إذا لم ير كذب ما قاله علما أو ظنا ، لقوله عليه السلام:” من حدث بحديث يرى أنه كذب فهو أحد الكاذبين

“Sabda beliau “ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa-apa (dosa),” merupakan bentuk pembolehan atau perkara mubah untuk menukil berita dari Ahlul Kitab. Kata ‘Tiada dosa’ itu berada di antara dua (2) perkara (yakni: larangan dan perintah, pen). Ini karena ucapan seseorang: “Lakukanlah dan tiada dosa,” memberikan faedah pembolehan atau perkara mubah secara kebiasaan dan juga menunjukkan dihapusnya larangan yang dipahami dari hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam yang melarang Umar membaca Taurat dan bersabda: “Apakah engkau termasuk orang yang bingung, wahai Ibnul Khattab?” dan hadits lainnya. Pembolehan menukilkan berita dari mereka hanyalah jika tidak diketahui kedustaan ucapan mereka secara ilmiah dan persangkaan, karena ada sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Barangsiapa yang memberitakan suatu hadits atau berita yang diketahui bahwa itu adalah kedustaan, maka ia termasuk salah satu dari kedua pendusta.” (Tuhfah al-Abrar Syarh Mashabih as-Sunnah: 1/146).

Kemudian al-Hafizh Abul Fida’ Imaduddin Ibnu Katsir (wafat tahun 774 H) rahimahullah mengingatkan:

إِذَا تَقَرَّرَ جَوَازُ الرِّوَايَةِ عَنْهُمْ فَهُوَ مَحْمُولٌ عَلَى مَا يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ صَحِيحًا فَأَمَّا مَا يُعْلَمُ أَوْ يُظَنُّ بُطْلَانُهُ، لِمُخَالَفَتِهِ الْحَقَّ الَّذِي بِأَيْدِينَا عَنِ الْمَعْصُومِ فَذَاكَ مَتْرُوكٌ مَرْدُودٌ لَا يُعَرَّجُ عَلَيْهِ، ثُمَّ مَعَ هَذَا كُلِّهِ، لَا يَلْزَمُ مِنْ جَوَازِ رِوَايَتِهِ أَنْ تَعْتَقِدَ صِحَّتَهُ

“Jika telah jelas bolehnya meriwayatkan dari Bani Israil, maka itu dipahami atas riwayat yang mempunyai kemungkinan shahih. Adapun riwayat yang diketahui atau diduga kuat kebatilannya karena menyelisihi kebenaran yang ada di sisi kita (kaum Muslimin, pen) dari Sang Maksum (yakni Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, pen) maka riwayat tersebut harus ditolak, ditinggalkan dan tidak boleh ditoleh. Kemudian dengan keadaan ini semua, bolehnya meriwayatkan dari mereka tidaklah mengharuskan untuk meyakini kesahihannya.” (Al-Bidayah wa an-Nihayah: 3/34).

Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma:

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكِتَابٍ أَصَابَهُ مِنْ بَعْضِ أَهْلِ الْكُتُبِ  ، فَقَرَأَهُ عَلَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَضِبَ وَقَالَ: ” ‌أَمُتَهَوِّكُونَ ‌فِيهَا ‌يَا ‌ابْنَ ‌الْخَطَّابِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً، لَا تَسْأَلُوهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوا بِهِ، أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوا بِهِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوسَى كَانَ حَيًّا، مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِي

“Bahwa Umar bin Khattab datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa tulisan yang ia dapat dari Ahli Kitab. Kemudian Umar membacanya di depan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau marah seraya bersabda: “Apakah engkau termasuk orang yang bingung, wahai Ibnul Khattab? Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku datang kepada kalian dengan membawa cahaya yang terang. Janganlah kalian bertanya kepada mereka tentang sesuatu. Bagaimana jika mereka mengabari kalian kebenaran lalu kalian mendustakannya atau (mengabari) kebatilan lalu kalian membenarkannya? Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa alaihis salam hidup maka tak ada jalan lain selain ia mengikutiku.” (HR. Ahmad: 15156. Ibnu Katsir berkata bahwa Ahmad bersendirian dengan hadits ini dan sanadnya shahih sesuai kriteria Muslim. Lihat al-Bidayah wa an-Nihayah: 3/35).

Dalam tulisan ini akan dijelaskan keterangan dari kitab-kitab umat terdahulu seperti Taurat, Injil, Zabur serta kitab-kitab para nabi alaihimussalam -yang masih ada sampai sekarang, meskipun sudah mengalami perubahan- tentang adanya ‘Bisyarah’ (kabar gembira) diutusnya Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Dan setiap berita Israiliyat tersebut, akan disertai konfirmasi atau pembenar dari al-Quran dan as-Sunnah. Insyaa Allah.

Akhirnya semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin dan orang-orang yang membacanya dan Allah ta’ala berkenan menjadikannya sebagai timbangan amal shalih dan sebab mendapat syafaat dari Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Aamiin.

Modo Lamongan, 8 Rajab 1444 atau 30 Januari 2023

Dr. M. Faiq Sulaifi

Baca selengkapnya…

Transaksi dan Muamalah Jaman Now

Transaksi dan Muamalah Jaman Now
Studi Literatur atas Berbagai Macam Muamalah Kontemporer  
sulaifi@gmail.commaktabah thibbul qulub nguwok  


Daftar Isi

Daftar Isi 1

Pendahuluan. 3

Wajib Berilmu. 4

Ijtihad dalam Perkara Kekinian. 6

Halalnya Jual Beli 6

Barang-barang Ribawi 7

Riba Jual Beli 9

Riba Hutang Piutang. 10

Prinsip Bagi Hasil 12

Uang Kertas dan Uang Elektronik. 16

Bank Konvensional dan Bank Syariah. 20

Jual Beli Emas Antam.. 24

Jual Beli Online atau Via Internet. 29

Bisnis Money Changer dan Trading Forex. 33

Arisan Pegawai 38

Undian Berhadiah vs Kuis Berhadiah. 39

Koperasi Konvensional vs Koperasi Syariah. 42

KPR atau Kredit Kepemilikan Rumah. 45

Pegadaian Konvensional vs Pegadaian Syariah. 50

Cek, Kambiyalah dan Suftajah. 54

Menjadi Dropshipper dan Reseller. 58

Jual Beli dengan Cara COD (Cash on Delivery). 61

Multi Level Marketing (MLM). 64

MLM Syariah, Adakah?. 68

Pasar Modal Konvensional dan Pasar Modal Syariah. 70

Surat Utang dan Obligasi 75

Sukuk atau Obligasi Syariah. 77

Beberapa Musykilat tentang Adanya Sukuk. 81

Saham dan Saham Syariah. 85

Reksadana dan Reksadana Syariah. 89

Cleansing dalam Investasi Syariah. 93

Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah. 98

Zakat Surat Berharga. 103

Sedekah sebagai Kaffarah. 105

Penutup. 105

Pendahuluan

الحمد لله الذي أحلَّ لنا البيع، وحرَّم الربا، وأباح لنا المكاسب الطيِّبة، وحرَّم علينا خبيثَها، وأشهدُ ألا إله إلا الله وحدَه لا شريك له، وأشهدُ أنَّ محمدًا عبده ورسوله أزكى الخليقة معاملة، وأتقاها، صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه المهتدين بهديه في عباداتهم، ومعاملاتهم، والمنقادين لأوامره وتوجيهاته، وسلَّم تسليمًا كثيرًا. أمَّا بعدُ

Sesungguhnya agama al-Islam ini telah lengkap dan paripurna di dalam menjelaskan segala hal yang dibutuhkan oleh umat manusia di jaman ini. Ini adalah nikmat Allah ta’ala yang sangat besar atas umat Islam. Abud Darda’ radhiyallahu anhu berkata:

لَقَدْ تَرَكَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا فِي السَّمَاءِ طَيْرٌ ‌يَطِيرُ بِجَنَاحِهِ إِلَّا ذَكَّرَنَا مِنْهُ ‌عِلْمًا

“Sungguh, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah meninggalkan kita dalam keadaan tidaklah seekor burung pun di langit kecuali beliau telah menceritakan ilmunya kepada kita.” (HR. Abu Ya’la dalam Musnadnya: 5109 (9/46), Abu Dawud ath-Thayalisi dalam Musnadnya: 481 (1/385). Al-Hafizh berkata bahwa perawinya orang-orang tsiqat hanya saja sanadnya terputus. Lihat al-Mathalib al-Aliyah: 3846 (15/630)).

Allah ta’ala juga berfirman:

الْيَوْمَ ‌أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلامَ دِيناً

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagi kalian.” (QS. Al-Maidah: 3).

Di antara perkara-perkara yang telah beliau jelaskan adalah urusan mu’amalah seperti jual beli, hutang piutang dan sebagainya. Termasuk di dalamnya adalah muamalah kontemporer atau masa kini seperti uang elektronik, jual beli online, pasar modal, saham dan sebagainya.

Al-Allamah al-Faqih Ibnu Utsaimin (wafat tahun 1421 H) rahimahullah juga berkomentar:

فالشرع كامل من جميع الوجوه، قال تعالى: {الْيَوْمَ ‌أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ} ، [المائدة: من الآية3] . وكيف يقال: إن ‌المعاملات لا تعلق لها بالشرع وأطول آية في القرآن نزلت في ‌المعاملات، ولولا نظام الشرع في ‌المعاملات لفسد الناس؟!

“Syariat ini sudah sempurna dari berbagai segi. Allah ta’ala berfirman: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian,” (QS. Al-Maidah: 3). Dan bagaimana dikatakan bahwa urusan muamalah itu tidak ada kaitannya dengan syariat? Padahal ayat yang paling panjang dalam al-Quran menjelaskan tentang muamalah. Seandainya tidak ada aturan syariat di dalam muamalah, maka rusaklah umat manusia.” (Al-Qaulul Mufid ala Kitab at-Tauhid: 2/161).

Jika melihat kelengkapan fiqih muamalah Islam, kita meyakini bahwa solusi dari semua permasalahan di masa kini adalah Islam. Mengapa tidak, Islam yang memiliki tuntunan yang begitu luas dan menyeluruh pasti akan sangat tepat jika kita aplikasikan dan implementasikan. Kita yakin Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin, sehingga kita yakin jika Islam akan menyelamatkan umat dalam menjalani hidup dan kehidupan.

Dan perlu diketahui bahwa kita ini hidup di akhir jaman. Di antara tanda hari kiamat adalah semakin banyak dan semakin kompleksnya sistem Muamalah atau ‘Tijarah’ atau sistem perdagangan.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

أَنَّ بَيْنَ يَدَيِ ‌السَّاعَةِ تَسْلِيمَ الْخَاصَّةِ، وَفُشُوَّ ‌التِّجَارَةِ، حَتَّى تُعِينَ الْمَرْأَةُ زَوْجَهَا عَلَى ‌التِّجَارَةِ، وَقَطْعَ الْأَرْحَامِ، وَشَهَادَةَ الزُّورِ، وَكِتْمَانَ شَهَادَةِ الْحَقِّ، وَظُهُورَ الْقَلَمِ

“Sesunggguhnya sebelum hari kiamat (akan terjadi): pemberian salam hanya kepada orang tertentu, tersebarnya perdagangan sampai seorang istri membantu suaminya di dalam berdagang, terputusnya silaturahmi (hubungan kekeluargaan), persaksian yang dusta, disembunyikannya persaksian yang benar, dan munculnya pena.” (HR. Ahmad: 3870 dan al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad: 1049 (586-7) dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu. Di-shahih-kan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak: 7043 (4/110) dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Di-shahih-kan pula oleh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah hadits: 647).

Di dalam Tulisan ini akan dijelaskan beberapa muamalah di masa kini atau masa milenial disertai dengan dalil dan fikihnya. Semoga tulisan ini menjadi tambahan ilmu bagi pembaca dan tambahan amal shalih bagi Penulis. Aamiin.

Modo Lamongan, 19 Rabi’ul Awwal 1444 H/15 Oktober 2022

dr. M. Faiq Sulaifi

Baca lebih lanjut: Transaksi dan Muamalah Jaman Now

Wajib Berilmu

Seseorang yang akan melakukan transaksi atau muamalah, baik itu muamalah klasik atapun kontemporer, wajib untuk mengetahui ilmunya.

Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu berkata:

لَا ‌يَبِعْ فِي ‌سُوقِنَا إِلَّا مَنْ قَدْ تَفَقَّهَ فِي الدِّينِ

“Janganlah berdagang di pasar kita kecuali orang yang telah memiliki bekal ilmu agama.” (HR. At-Tirmidzi: 487 dan ia berkata hadits hasan. Isnadnya di-shahih-kan oleh Ibnu Katsir dalam Musnad al-Faruq: 2/24).

Al-Hafizh Abul Faraj Ibnu Rajab al-Hanbali (wafat tahun 795 H) rahimahullah berkata:

ويروى بإسناد فيه ضعف عن علي رضي الله عنه قال: “الفِقْهُ قَبْلَ التِّجَارَةِ، إِنَّهُ مَنْ اتَّجَرَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ ارْتَطَمَ فِي الرِّبَا ثُمَّ ارْتَطَمَ

“Diriwayatkan dengan sanad yang dhaif (lemah) dari Ali radhiyallahu anhu. Beliau berkata: “Belajarlah ilmu fikih sebelum berdagang. Sesungguhnya barangsiapa berdagang sebelum belajar fikih, maka ia akan terjatuh ke dalam riba, kemudian terjatuh lagi dan terus terjatuh lagi.” (Waratsah al-Anbiya’ fi Syarh Hadits Abi ad-Darda’: 23).

Landasan dari wajibnya mencari ilmu sebelum berdagang adalah hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam:

‌طَلَبُ ‌الْعِلْمِ ‌فَرِيضَةٌ ‌عَلَى ‌كُلِّ ‌مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah: 224, Abu Ya’la dalam Musnadnya: 2837 (5/223), al-Bazzar dalam Musnadnya: 6746 (13/240), ath-Thabrani dalam al-Ausath: 9 (1/7) dan al-Baihaqi dalam Syuabul Iman: 1545 (3/195) dari Anas radhiyallahu anhu. Al-Ajluni menukilkan ucapan al-Mizzi bahwa keseluruhan hadits sampai pada derajat hasan. Lihat Kasyful Khafa’: 2/49).

Al-Allamah Syihabuddin al-Qarafi al-Maliki (wafat tahun 684 H) rahimahullah berkomentar:

وَكَذَا قَوْلُهُ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – «طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ» يُعْلَمُ أَنَّ طَلَبَ الْعِلْمِ وَاجِبٌ عَيْنًا فِي كُلِّ حَالَةٍ يُقْدِمُ عَلَيْهَا الْإِنْسَانُ ‌فَمَنْ ‌بَاعَ ‌يَجِبُ ‌عَلَيْهِ ‌أَنْ ‌يَتَعَلَّمَ ‌مَا ‌عَيَّنَهُ ‌اللَّهُ وَشَرَعَهُ فِي الْبَيْعِ، وَمَنْ آجَرَ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَتَعَلَّمَ حُكْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِي الْإِجَارَةِ، وَمَنْ قَارَضَ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَتَعَلَّمَ حُكْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِي الْقِرَاضِ وَمَنْ صَلَّى يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَتَعَلَّمَ حُكْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِي تِلْكَ الصَّلَاةِ

“Demikian pula sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam “Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim.” Dapat diketahui dari bahwa mencari ilmu itu wajib ain dalam setiap keadaan yang akan dijalani oleh manusia. Barangsiapa akan berjualan, maka wajib baginya mempelajari ilmu yang diwajibkan dan disyariatkan oleh Allah dalam jual beli. Barangsiapa akan melakukan sewa-menyewa (Ijarah), maka wajib baginya mempelajari hukum-hukum Allah ta’ala tentang masalah al-Ijarah. Barangsiapa akan melakukan akad Mudharabah atau Qiradh, maka wajib baginya mempelajari hukum-hukum Allah ta’ala dalam Bab Qiradh atau Mudharabah. Barangsiapa akan melakukan shalat, maka wajib baginya mempelajari hukum Allah ta’ala dalam shalat tersebut..dst.” (Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq: 2/162).

Dengan demikian ketika seseorang melakukan transaksi apapun dalam bidang perdagangan, maka ia harus mengetahui ilmu-ilmunya.

Ijtihad dalam Perkara Kekinian

Sering sekali, persoalan-persoalan muamalah yang timbul di tengah kaum muslimin tidak dapat ditemukan jawabannya secara tersurat di dalam al-Qur`an, al-Hadits, maupun Ijma`. Maka, untuk mencari jawabannya, para ulama fikih melakukan ijtihad.

Al-Imam Ibnu Abdil Barr al-Andalusi al-Maliki (wafat tahun 463 H)rahimahullah berkata:

‌‌بَابُ اجْتِهَادِ الرَّأْيِ عَلَى الْأُصُولِ عِنْدَ عَدَمِ النُّصُوصِ فِي حِينِ نُزُولِ النَّازِلَةِ

“Bab: Pentingnya berijtihad dengan Ra’yu atas pokok-pokok kaidah syariat pada saat tidak ada nash (al-Quran ataupun al-Hadits) ketika munculnya kejadian baru.” (Jami’ Bayan al-Ilmi wa Fadhlih: 2/844).

Dan di antara isi surat yang dikirimkan oleh Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu kepada Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu anhu:

اعْرِفْ الْأَشْبَاهَ وَالْأَمْثَالَ، ثُمَّ قِسْ الْأُمُورَ عِنْدَ ذَلِكَ، فَاعْمِدْ إلَى أَحَبِّهَا إلَى اللَّهِ، وَأَشْبَهِهَا بِالْحَقِّ، فِيمَا تَرَى

“Kenalilah perkara-perkara yang mempunyai kemiripan illat dan sifat, kemudian lakukan qiyas dalam perkara-perkara tersebut, lalu perhatikan pada perkara yang paling dicintai oleh Allah dan yang paling dekat dengan kebenaran, menurut apa yang kamu lihat!” (Atsar riwayat ad-Darquthni dalam Sunannya: 15 (4/206)).

Halalnya Jual Beli

Hukum asal dari segala macam jual beli adalah halal sampai terdapat dalil yang mengharamkannya.

Allah ta’ala berfirman:

‌وَأَحَلَّ ‌اللَّهُ ‌الْبَيْعَ وَحَرَّمَ ‌الرِّبا

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275).

Al-Allamah Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf an-Nahwi al-Andalusi (wafat tahun 745 H) rahimahullah berkomentar:

وَالظَّاهِرُ: عُمُومُ الْبَيْعِ وَالرِّبَا فِي كُلِّ بَيْعٍ، وَفِي كُلٍّ رِبًا، إِلَّا مَا خَصَّهُ الدَّلِيلُ مِنْ تَحْرِيمِ بَعْضِ الْبُيُوعِ وَإِحْلَالِ بَعْضِ ‌الرِّبَا

“Secara zhahir, ayat ini menunjukkan keumuman jual beli dan riba. Bahwa setiap jual beli itu halal dan setiap riba itu haram, kecuali perkara yang dikhususkan oleh dalil atas haramnya sebagian jual beli, dan halalnya sebagian riba.” (Al-Bahrul Muhith fi at-Tafsir: 2/708).

Oleh karena itu al-Allamah al-Faqih Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan:

‌أن ‌الأصل ‌في ‌المعاملات الحل والصحة ما لم يوجد دليل على التحريم والفساد

“Bahwa hukum asal dari urusan ‘Muamalah’ adalah halal dan sah, selagi tidak ditemukan dalil yang menunjukkan keharaman dan rusaknya muamalah tersebut.” (Asy-Syarh al-Mumti’ ala Zaad al-Mustaqni’: 9/120).

Barang-barang Ribawi

Terdapat beberapa barang yang berlaku hukum riba padanya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

‌الذَّهَبُ ‌بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ، ‌وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، ‌مِثْلًا بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، ‌يَدًا بِيَدٍ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ، فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ، إِذَا كَانَ ‌يَدًا بِيَدٍ

“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Jika jenis barang tadi berbeda, maka silakan engkau membarterkannya sesukamu, namun harus dilakukan secara kontan (tunai).” (HR. Muslim: 1587 dan at-Tirmidzi: 1240 dari Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu anhu).

Hadits di atas menjelaskan bahwa hukum riba berlaku pada keenam barang yang telah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yaitu emas, perak, kurma, gandum burr, gandum syair dan garam. Pertanyaannya adalah apakah hukum riba hanya terbatas pada keenam barang di atas atau juga barang lainnya?

Al-Allamah al-Husain bin Mahmud al-Muzh-hiri al-Hanafi (wafat tahun 727 H) rahimahullah menjelaskan:

اعلم أن مالَ الرِّبا المذكور في هذا الحديث ستةٌ، ولكن ليس مالُ الرِّبا مخصوصًا بهذه الستة، وإنما ذكر هذه الستة ليُقاسَ عليها غيرُها

“Ketahuilah bahwa barang komoditas ribawi yang disebutkan dalam hadits ini adalah enam. Akan tetapi harta ribawi tidaklah terbatas pada enam barang tadi. Penyebutan enam barang adalah sebagai contoh agar diqiyaskan (baca: dianalogikan) dengan barang-barang lainnya.” (Al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih: 3/410-411).

Beliau juga menjelaskan:

وقال الشافعي ومالك: علَّة الرِّبا في الذهب والفضة: النقدية، ومعنى النقدية: أنه يُباع ويُشترَى بالذهب والفضة، وعلَّة الرِّبا عندهما في المأكول والمشروب: الطعم

“Asy-Syafi’i dan Malik berkata bahwa illat (alasan) riba pada emas dan perak adalah sebagai alat tukar (atau uang). Makna alat tukar adalah bahwa menjual dan membeli dengan emas dan perak sebagai alat tukar. Sedangkan illat riba menurut keduanya pada keempat bahan lainnya adalah sebagai bahan makanan.” (Al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih: 3/411).

Penjelasan di atas sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

الطَّعَامُ ‌بِالطَّعَامِ ‌مِثْلًا ‌بِمِثْلٍ

“Makanan dibarter makanan, haruslah sama (takaran atau timbangannya).” (HR. Muslim: 1592 dari Ma’mar bin Abdullah radhiyallahu anhu).

Sehingga menurut penjelasan di atas emas dan perak dalam dapat dianalogikan dengan uang Rupiah, Ringgit, Dolar dan lainnya dengan illat sebagai alat tukar atau uang. Jika Rupiah ditukar dengan Rupiah, maka haruslah berjumlah sama dan kontan. Dan jika Rupiah ditukar dengan emas atau Dolar, maka jumlahnya tidak harus sama, tetapi harus kontan.

Sedangkan kurma dapat dianalogikan dengan anggur kering atau kismis. Gandum dapat dianalogikan dengan beras, jagung dan lainnya. Garam dapat dianalogikan dengan gula. Semua barang tersebut mempunyai illat yang sama, yaitu bahan makanan. Jika beras ditukar dengan beras, maka beratnya harus sama dan kontan. Dan jika beras ditukar dengan gandum, maka beratnya tidak harus sama, tetapi harus kontan.

Sedangkan jika Rupiah ditukar dengan beras, maka jumlahnya tidak harus sama dan juga tidak harus kontan, karena berbeda illatnya.

Riba Jual Beli

Di antara riba yang berlaku pada jual beli barang-barang ribawi adalah Riba Fadhel. Contoh riba Fadhel adalah emas batangan 1 kg dibarter dengan emas koin 1,5 kg, 1 sha’ kurma barni dibarter dengan 2 sha’ kurma Tunis dan sebagainya.

Al-Qadhi Taqiyuddin Abu Bakar al-Hishni al-Husaini asy-Syafi’i (wafat tahun 829 H) rahimahullah berkata:

فَلَو بَاعَ درهما بدرهم ودانق حرم وَيُسمى هَذَا رَبًّا ‌الْفضل قَالَ رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم (لَا تَبِيعُوا ‌الذَّهَب ‌بِالذَّهَب وَلَا الْوَرق بالورق إِلَّا سَوَاء بِسَوَاء) وَالْعلَّة كَونهمَا قيم الْأَشْيَاء غَالِبا وَكَذَا المطعوم فَلَا يجوز بيع مد قَمح وحفنة لقَوْله عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام (الطَّعَام بِالطَّعَامِ ‌مثلا ‌بِمثل) وَالْعلَّة فِي ذَلِك الطّعْم

“Jika seseorang menjual 1 Dirham dengan uang 1 Dirham dan 1 Daniq, maka hukumnya haram, dan disebut sebagai Riba Fadhel. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Janganlah menjual emas dengan emas, perak dengan perak, kecuali sama dengan sama (jumlah dan timbangannya).” Illat dari emas dan perak adalah sebagai alat untuk mengukur harga barang. Demikian pula tidak boleh menjual 1 Mud gandum dengan 1 gayung gandum, karena sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Makanan dengan makanan adalah sama dengan sama (jumlah, takaran atau timbangannya, pen).” Illat dari gandum adalah bahan makanan.” (Kifayatul Akhyar fi Hilli Ghayah al-Ikhtishar: 241).

Selain itu juga ada Riba Nasi’ah, yaitu jual beli barang-barang ribawi yang satu illat dengan tempo atau tidak tunai.

Al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (wafat tahun 204 H) rahimahullah berkata:

وَفِي السُّنَّةِ خَبَرٌ نَصًّا وَدَلَالَةً بِالْقِيَاسِ عَلَيْهَا أَنَّهُ إذَا اخْتَلَفَ الصِّنْفَانِ فَلَا بَأْسَ بِالْفَضْلِ فِي بَعْضِهِ عَلَى بَعْضٍ يَدًا بِيَدٍ ‌وَلَا ‌خَيْرَ ‌فِيهِ ‌نَسِيئَةً وَذَلِكَ فِي حَدِيثِ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ بَيِّنٌ، وَمَا سِوَاهُ قِيَاسٌ عَلَيْهِ فِي مِثْلِ مَعْنَاهُ

“Di dalam as-Sunnah terdapat khabar secara nash dan pendalilan secara qiyas atas nash, bahwa jika kedua barang yang berbeda jenis itu dibarter (seperti emas dibarter dengan perak atau kurma ditukar dengan gandum, pen), maka tidak apa-apa jika salah satunya dilebihkan jumlahnya atas lainnya (yakni: tidak berlaku riba Fadhel, pen), secara tunai atau kontan dan tidak ada kebaikan di dalam riba Nasi’ah. Yang demikian sangatlah jelas dalam hadits Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu anhu. Sedangkan barang-barang selain yang tersebut dalam hadits, maka diqiyaskan dengan yang semakna.” (Al-Umm: 3/24).

Al-Qadhi Taqiyuddin Abu Bakar al-Hishni al-Husaini asy-Syafi’i (wafat tahun 829 H) rahimahullah berkata:

وَإِن اخْتلف الْجِنْس وَلَكِن اتّحدت عِلّة الرِّبَا كالذهب وَالْفِضَّة وَالْحِنْطَة وَالشعِير جَازَ التَّفَاضُل وَاشْترط الْحُلُول والتقايض لقَوْله عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام (إِذا اخْتلفت هَذِه الْأَصْنَاف فبيعوا كَيفَ شِئْتُم إِذا كَانَ يدا بيد) وَإِن اخْتلف الْجِنْس وَالْعلَّة كالفضة وَالْبر فَلَا حجر فِي شَيْء وَلَا يشْتَرط شَيْء من هَذِه الْأُمُور

“Jika barang yang dibarter itu berbeda jenisnya, tetapi masih bersatu atau sama illat ribanya, seperti emas ditukar dengan perak, dan gandum halus ditukar dengan gandum kasar, maka boleh berbeda jumlahnya (yakni: tidak berlaku riba Fadhel, pen) dan tetap dipersyaratkan kontan dan tunai (yakni: tetap berlaku riba Nasi’ah, pen) karena sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam “Jika jenis barang tadi berbeda, maka silahkan engkau membarterkannya sesukamu, namun harus dilakukan secara kontan (tunai).” Jika barang yang akan ditukarkan itu berbeda jenis dan illatnya, maka tidak dipersyaratkan ketentuan di atas (yakni: tidak berlaku riba Fadhel dan riba Nasi’ah, pen).” (Kifayatul Akhyar fi Hilli Ghayah al-Ikhtishar: 241).

Sehingga barter uang rupiah pecahan dengan uang rupiah utuh, berlaku riba Fadhel dan riba Nasi’ah. Barter antara uang Dolar dan uang Rupiah hanya berlaku riba Nasi’ah, tidak berlaku riba Fadhel. Barter antara kurma Tunis dengan kurma Ajwah, berlaku riba Fadhel dan riba Nasi’ah. Dan barter antara gandum dan beras, hanya berlaku riba Nasi’ah, tidak berlaku riba Fadhel. Sedangkan barter antara alat tukar seperti emas dan uang rupiah dengan bahan makanan seperti gandum dan beras, maka tidak berlaku riba Fadhel juga riba Nasia’ah.

Wallahu a’lam.

Riba Hutang Piutang

Di antara riba yang berlaku pada akad utang piutang adalah Riba Jahiliyah. Contoh Riba Jahiliyah adalah jika seseorang memberikan hutang satu juta rupiah kepada orang lain. Dan ketika jatuh tempo pengembalian, si pemberi pinjaman berkata: “Kamu membayar hutangmu tepat waktu, atau kalau tidak, maka kamu membayar pokok hutang dan bunganya.”

Al-Imam Malik (wafat tahun 179 H) rahimahullah meriwayatkan dari Zaid bin Aslam (ulama tabi’in, wafat tahun 136 H) rahimahullah bahwa beliau berkata:

‌كَانَ ‌الرِّبَا ‌فِي ‌الْجَاهِلِيَّةِ، أَنْ يَكُونَ لِلرَّجُلِ عَلَى الرَّجُلِ الْحَقُّ إِلَى أَجَلٍ، فَإِذَا حَلَّ الْأَجَلُ، قَالَ: أَتَقْضِي أَمْ تُرْبِي؟ فَإِنْ قَضَى أَخَذَ، وَإِلَّا زَادَهُ فِي حَقِّهِ، وَأَخَّرَ عَنْهُ فِي الْأَجَلِ

“Adalah riba di kalangan Jahiliyah adalah jika seseorang (debitur) mempunyai hutang dan telah jatuh tempo pembayarannya, maka si pemberi hutang (kreditur) berkata: “Kamu membayar hutang sekarang ataukah kalau tidak, maka kamu membayar hutang dengan bunganya?” maka jika si debitur membayar tepat waktu, maka si kreditur mengambil uangnya (tanpa bunga, pen) dan jika tidak tunai, maka si debitur menambah bunganya dan menunda pembayaran hutangnya.” (Atsar riwayat Malik dalam al-Muwaththa’: 82 (2/672).

Riba jahiliyah juga dapat terjadi pada jual beli yang tidak tunai seperti jual beli kredit atau akad Salam (pemesanan barang). Jika si pembeli terlambat membayar cicilannya maka akan membayar uang pokok beserta denda atau bunganya. Demikian juga jika pesanannya terlambat, maka pemesan memberi denda kepada penjualnya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani (wafat tahun 852 H) rahimahullah berkata:

وَرَوَى الطَّبَرِيُّ مِنْ طَرِيقِ عَطَاءٍ وَمِنْ طَرِيقِ مُجَاهِدٍ نَحْوَهُ وَمِنْ طَرِيقِ قَتَادَةَ إِنَّ رِبَا أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَبِيعُ الرَّجُلُ الْبَيْعَ إِلَى أَجَلٍ مُسَمَّى فَإِذَا حَلَّ الْأَجَلُ وَلَمْ يَكُنْ عِنْدَ صَاحِبِهِ قَضَاءٌ زَادَ وَأَخَّرَ عَنْهُ

“Ath-Thabari meriwayatkan dari jalan Atha’ dan dari jalan Mujahid seperti penjelasan Zaid bin Aslam. Sedangkan dari jalan Qatadah, beliau menjelaskan: “Sesungguhnya Riba kaum Jahiliyah adalah seseorang melakukan jual beli tempo (seperti jual beli kredit atau jual beli pesanan, pen). Jika tiba masa pembayaran sedangkan pemilik kewajiban belum mempunyai uang cicilan atau barang pesanan, maka ditambah (bunga atau denda, pen) atas keterlambatan.” (Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari: 4/313).

Selain Riba Jahiliyah, di dalam hutang piutang juga berlaku Riba al-Qardh. Riba al-Qardh adalah seseorang (kreditur) memberikan pinjaman dengan syarat mendapatkan manfaat dari orang yang meminjam (debitur).

Al-Allamah Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i (wafat tahun 974 H) rahimahullah berkata:

وَمِنْهُ ‌رِبَا ‌الْقَرْضِ بِأَنْ يَشْرِطَ فِيهِ مَا فِيهِ نَفْعٌ لِلْمُقْرِضِ

“Termasuk jenis riba adalah riba al-Qardh, yaitu seseorang mempersyaratkan adanya manfaat bagi pemberi hutang dalam pemberian hutang.” (Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj: 4/272).

Al-Imam Muwaffaquddin Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali (wafat tahun 620 H) rahimahullah berkata:

وقد رُوِىَ عن أُبَىِّ بن كَعْبٍ، وابنِ عَبّاسٍ، وابنِ مَسْعُودٍ، أنَّهم نَهَوْا عن ‌قَرْضٍ ‌جَرَّ مَنْفعَةً. ولأنَّه عَقْدُ إِرْفَاقٍ وقُرْبَةٍ، فإذا شَرَطَ فيه الزِّيَادَةَ أخْرَجهُ عن مَوْضُوعِهِ

“Dan diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud bahwa mereka melarang akad al-Qardh (pemberian pinjaman, pen) yang menarik manfaat. Ini karena al-Qardh adalah akad bantuan dan taqarrub. Maka jika seseorang mempersyaratkan tambahan (manfaat) dalam akad tersebut, maka akan keluar dari tujuan semula.” (Al-Mughni fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani: 6/436).

Termasuk dalam Bab Hutang-Piutang adalah jual beli yang tidak tunai seperti pemesanan dan jual beli kredit. Maka jika si pemesan barang mempersyaratkan agar mendapatkan bonus atau hadiah dari si penjual pesanan, maka itu termasuk ‘riba al-Qardh’.

Al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah berkata:

قال ابنُ المُنْذِرِ أجْمَعُوا على أنَّ المُسْلِفَ إذا شَرَط على المُسْتَسْلِفِ زِيادَةً أو هَدِيَّةً، فأسْلَفَ على ذلك، أنَّ أخْذَ الزِّيادَةِ على ذلك رِبًا

“Ibnul Mundzir berkata: “Para ulama bersepakat (ijma’ atau konsensus, pen) bahwa jika seseorang memesan suatu barang kepada penjual pesanan, kemudian si pemesan memberikan syarat agar diberi bonus atau hadiah oleh si penjual pesanan. Maka mengambil bonus atau hadiah adalah ‘riba.” (Al-Mughni fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani: 12/343).

Prinsip Bagi Hasil

Salah satu hal yang membedakan ekonomi al-Islam dan konvensional adalah sistem bagi hasil atau profit sharing. Dalam ekonomi konvensional tidak ditemukan sistem bagi hasil, melainkan sistem bunga. Perbedaan sistem bunga dan bagi hasil terdapat pada value of time dan value of money. (https://www.portalinvestasi.com/sistem-bagi-hasil-dalam-ekonomi-islam/).

Bagi hasil menurut istilah adalah suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dan pengelola dana. Sedang menurut terminologi asing (Inggris) bagi hasil dikenal dengan profit sharing. Profit sharing dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Secara definitif profit sharing diartikan: “Distribusi beberapa bagian dari laba (profit) pada para pegawai dari suatu perusahaan”. Lebih lanjut dikatakan, bahwa hal itu dapat berbentuk suatu bonus uang tunai tahunan yang didasarkan pada laba yang diperoleh pada tahun-tahun sebelumnya, atau dapat berbentuk pembayaran mingguan atau bulanan.

Bentuk-bentuk pembagian laba yang tidak langsung mencakup alokasi saham-saham (penyertaan) perusahaan pada para pegawai, dibayar melalui laba perusahaan, dan memberikan para pegawai opsi untuk membeli saham-saham sampai pada jumlah tertentu dimana yang akan datang pada tingkat harga sekarang, sehingga memungkinkan para pegawai memperoleh keuntungan baik dari pembagian deviden maupun setiap pertumbuhan dalam nilai saham yang dihasilkan dari peningkatan dalam kemampuan memperoleh  laba. (https://sumbar.kemenag.go.id/v2/post/23923/konsep-bagi-hasil-dalam-islam.html).

Pembahasan:

Dalam bahasa Fikih, loss and profit sharing disebut dengan ‘Syirkah’. Di sini ada 2 (dua) jenis syirkah yang diperbolehkan secara ijma’ (konsensus).

Pertama: syirkah mudharabah. Pada syirkah ini ada pemodal (investor) dan ada juga pebisnis (amil). Al-Imam Ibnu Qutaibah ad-Dainuri asy-Syafi’i (wafat tahun 276 H) rahimahullah menerangkan:

فَأَما شركَة الْمُضَاربَة فَهُوَ أَن يدْفع رجل إِلَى رجل مَالا يتجر بِهِ وَيكون الرِّبْح مِنْهُمَا على مَا يتفقان عَلَيْهِ وَتَكون الوضيعة على رَأس المَال

“Adapun syirkah Mudharabah, maka pengertiannya adalah bahwa seseorang menyerahkan sejumlah uang kepada orang lain untuk diperdagangkan. Keuntungan dibagi berdua sesuai kesepakatan dan kerugiannya berdasarkan modalnya.” (Gharib al-Hadits: 1/199).

Syirkah Mudharabah merupakan anjuran dalam al-Islam dan juga merupakan kesepakatan atau ijma’ para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam. Al-Allamah Fakhruddin Utsman bin Ali az-Zaila’i al-Hanafi (wafat tahun 743 H) rahimahullah berkata:

وَهِيَ مَشْرُوعَةٌ لِشِدَّةِ الْحَاجَةِ إلَيْهَا مِنْ الْجَانِبَيْنِ فَإِنَّ مِنْ النَّاسِ مَنْ هُوَ صَاحِبُ مَالٍ وَلَا يَهْتَدِي إلَى التَّصَرُّفِ وَمِنْهُمْ مَنْ هُوَ بِالْعَكْسِ فَشُرِعَتْ لِتَنْتَظِمَ مَصَالِحُهُمْ فَإِنَّهُ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – بُعِثَ ‌وَالنَّاسُ ‌يَتَعَامَلُونَهَا ‌فَتَرَكَهُمْ ‌عَلَيْهَا وَتَعَامَلَهَا الصَّحَابَةُ

“Mudharabah itu disyariatkan karena sangat dibutuhkan dari kedua sisi, yaitu shahibul maal (investor atau pemodal) dan amil (pengusaha). Ini karena di antara manusia ada orang yang mempunyai harta, tetapi tidak mempunyai kecakapan di dalam berbisnis. Dan di antara mereka ada yang sebaliknya. Maka akad mudharabah disyariatkan untuk mengatur kemaslahatan mereka. Karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus dalam keadaan manusia bermuamalah dengan sistem mudharabah dan beliau pun meninggalkan mereka dalam keadaan tersebut. Para sahabat pun bermuamalah dengan sistem mudharabah.” (Tabyin al-Haqaiq Syarh Kanz Daqaiq: 5/52).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga membisniskan uang Khadijah radhiyallahu anha dengan akad mudharabah ketika masih di Makkah. Al-Imam Abul Mahasin ar-Rauyani asy-Syafi’i (wafat tahun 502 H) rahimahullah berkata:

وأما السنة فما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم ضارب ‌خديجة رضي الله عنها بأموالها إلى الشام وأنفذت معه لخدمته عبدًا لها يقال له مَيسرة.

“Adapun dalil dari as-Sunnah, maka diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam melakukan akaq mudharabah dengan Khadijah radhiyallahu anha untuk membisniskan hartanya menuju Syam. Khadijah menyertakan bersama beliau seorang budaknya yang bernama Maisarah untuk melayani beliau.” (Bahr al-Madzhab fi al-Furu’: 7/73).

Kedua: syirkah Inan. Pada syirkah ini masing-masing orang mengeluarkan modal dan juga menjadi pebisnis. Jadi masing-masing orang berperan sebagai investor dan juga amil. Al-Imam Abu Manshur Muhammad bin Ahmad al-Azhari (wafat tahun 370 H) rahimahullah berkata:

فأمّا ‌شِركة ‌العِنَان فَهُوَ أَن يُحضر كلُّ واحدٍ من الشَّرِيكَيْنِ دَنَانِير أَو دَرَاهِم مثل مَا يُخرج الآخر وَيخلطانها وَيَأْذَن كلُّ واحدٍ مِنْهُمَا لصَاحبه بأنْ يتّجر فِيهِ، وَلم يخْتَلف الْفُقَهَاء فِي جَوَاز هَذِه الشّركَة وأنهما إنْ ربحا فِيمَا تجَرا فِيه فَالرِّبْح بَينهمَا، وَإِن وُضِعا فعلى رُؤُوس أموالهما

“Adapun syirkah Inan, maka pengertiannya adalah bahwa masing-masing dari kedua orang yang berserikat mengeluarkan Dinar atau Dirham dengan jumlah yang sama seperti yang dikeluarkan oleh teman serikatnya. Masing-masing memberikan ijin kepada anggota lainnya untuk membisniskan uang tersebut. Para ulama tidak berbeda pendapat (baca: bersepakat, pen) atas bolehnya syirkah ini. Dan jika keduanya mendapatkan laba, maka laba dibagi diantara keduanya. Dan jika mengalami kerugian, maka diambil dari modal keduanya.” (Tahdzib al-Lughah: 1/82).

Di antara dalil yang memperbolehkannya adalah hadits as-Sa’ib bin Abi as-Sa’ib radhiyallahu anhu:

أَنَّهُ كَانَ يُشَارِكُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ الْإِسْلَامِ فِي التِّجَارَةِ، فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ الْفَتْحِ جَاءَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” ‌مَرْحَبًا ‌بِأَخِي، ‌وَشَرِيكِي كَانَ لَا يُدَارِي، وَلَا يُمَارِي، يَا سَائِبُ قَدْ كُنْتَ تَعْمَلُ أَعْمَالًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ، لَا تُقْبَلُ مِنْكَ، وَهِيَ الْيَوْمَ تُقْبَلُ مِنْكَ “، وَكَانَ ذَا سَلَفٍ وَصِلَةٍ

“Bahwa ia menjadi sekutu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam perdagangan sebelum Islam. Ketika hari Fathu Makkah, ia mendatangi beliau. Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Selamat datang wahai Saudaraku dan Sekutuku (dalam dagang, pen).” Dan beliau bukanlah berbasa-basi. “Wahai Sa’ib! Kamu melakukan banyak amal pada waktu Jahiliyah. Sedangkan semua amalmu tidak diterima. Tapi sekarang (ketika menjadi Islam, pen), semua amalmu akan diterima.” Ia (Sa’ib) mempunyai banyak kebaikan dan suka memberi hutang.” (HR. Ahmad: 15505, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya: 36948 (7/409) dan ath-Thabrani dalam al-Kabir: 6618 (7/139). Perawinya di-tsiqat-kan oleh al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid: 336 (1/94). Hadits ini di-shahih-kan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak: 2357 (2/69) dan disepakati oleh adz-Dzahabi).

Al-Allamah Muhammad bin Ismail ash-Shan’ani (wafat tahun 1182 H) rahimahullah berkomentar:

وَالْحَدِيثُ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الشَّرِكَةَ كَانَتْ ثَابِتَةً قَبْلَ الْإِسْلَامِ ثُمَّ قَرَّرَهَا الشَّارِعُ عَلَى مَا كَانَتْ

“Hadits ini menunjukkan bahwa ‘Syirkah’ itu telah ada sebelum al-Islam kemudian ditetapkan keabsahannya oleh syariat.” (Subul as-Salam Syarh Bulugh al-Maram: 2/91).

Ketiga: Syirkah Mufawadhah. Al-Imam Ibnu Qutaibah ad-Dainuri asy-Syafi’i (wafat tahun 276 H) rahimahullah berkata:

‌‌وَأما الْمُفَاوضَة فِي الشّركَة فَهُوَ أَن يشتركا فِي جَمِيع مَا يستفيدان فَلَا يُصِيب وَاحِد مِنْهُمَا شَيْئا إِلَّا كَانَ فِيهِ للْآخر شركَة

“Adapun syirkah mufawadhah, maka pengertiannya adalah bahwa kedua orang berserikat di dalam semua faedah yang diambil. Tidaklah salah satunya mendapatkan keuntungan, kecuali yang kedua juga ikut berserikat dalam keuntungan tersebut.” (Gharib al-Hadits: 1/200).

Syirkah Mufawadhah ini diperselisihkan hukumnya oleh para ulama. Al-Imam Abu Bakar Ibnul Mundzir asy-Syafi’i (wafat tahun 319 H) rahimahullah berkata:

واختلفوا في ‌شركة ‌المفاوضة. فكان الشافعي، وأحمد، وإسحاق، وأبو ثور يقولون: ذلك باطل . قال أبو بكر: وبه نقول. وأجاز ذلك سفيان الثوري، والأوزاعي، وابن أبي ليلى، وأصحاب الرأي.

“Para ulama berbeda pendapat tentang ‘Syirkah Mufawadhah’. Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq dan Abu Tsaur menyatakan batal (tidak sah, pen). Kata Abu Bakar (yakni: Ibnul Mundzir, pen): “Demikianlah pendapat kami.” Sedangkan Sufyan ats-Tsauri, al-Auza’i, Ibnu Abi Laila dan Ahlur Ra’yi membolehkannya.” (Al-Isyraf ala Madzahib al-Ulama al-Asyraf: 6/174).

Keempat: Syirkah Abdan. Batasannya dijelaskan oleh al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali (wafat tahun 620 H) rahimahullah. Beliau menerangkan:

مَعْنَى ‌شَركَةِ ‌الأَبْدَانِ، أن يَشْتَرِكَ اثْنَانِ أو أكْثَرُ فيما يَكْتَسِبُونَه بأَيْدِيهِم، كالصُّنَّاعِ يَشْتَرِكُونَ على أن يَعْمَلُوا في صِناعَتِهم ، فما رَزَقَ اللهُ تَعَالَى فهُو بينهم. وإن اشْتَرَكُوا فيما يَكْتَسِبُونَ من المُبَاحِ، كالحَطَبِ، والحَشِيشِ، والثِّمارِ المأْخُوذَةِ من الجِبَالِ، والمَعَادِنِ، والتَّلَصُّصِ على دَارِ الحَرْبِ، فهذا جَائِزٌ

“Pengertian ‘Syirkah Abdan’ adalah jika dua orang atau lebih berserikat di dalam usaha tangan mereka, seperti para tukang yang bersekutu di dalam pekerjaan mereka. Maka hasil rejeki dari Allah ta’ala dibagi di antara mereka. Jika mereka bersekutu di dalam pekerjaan mubah, seperti mencari kayu bakar, mencari rumput atau buah-buahan dari gunung, atau pertambangan, atau mencari rampasan di negeri musuh, maka hukumnya boleh.” (Al-Mughni fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani: 7/111).

Di antara dalil yang memperbolehkan ‘Syirkah Abdan’ adalah hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu. Ia berkata:

‌اشْتَرَكْتُ ‌أَنَا ‌وَعَمَّارٌ، وَسَعْدٌ، فِيمَا نُصِيبُ يَوْمَ بَدْرٍ قَالَ: فَجَاءَ سَعْدٌ بِأَسِيرَيْنِ وَلَمْ أَجِئْ أَنَا وَعَمَّارٌ بِشَيْءٍ

“Aku berserikat dengan Ammar dan Sa’ad di dalam rampasan yang akan kami dapatkan pada perang Badar.” Maka Sa’ad datang dengan membawa dua orang tawanan sedangkan aku dan Ammar tidak mendapatkannya.” (HR. Abu Dawud: 3388 dan Ibnu Majah: 2288. Di-dhaif-kan oleh al-Albani dalam al-Irwa’: 1474 (5/295)).

Bentuk syirkah ini diperselisihkan keabsahannya oleh para ulama. Al-Imam Abu Bakar Ibnul Mundzir asy-Syafi’i (wafat tahun 319 H) rahimahullah berkata:

ولا تجوز في قول الشافعي، وأبي ثور ‌شركة ‌الأبدان، وأجاز أحمد، وأصحاب الرأي ‌شركة ‌الأبدان

“Syirkah Abdan tidak diperbolehkan menurut pendapat asy-Syafi’i dan Abu Tsaur. Sedangkan Ahmad dan Ahlu ar-Ra’yi memperbolehkannya.” (Al-Isyraf fi Madzahib al-Ulama al-Asyraf: 6/175).

Uang Kertas dan Uang Elektronik

Kemajuan tekonologi tentu memberikan pengaruh pada perekonomian Indonesia. Apalagi dengan munculnya uang elektronik sebagai pengganti uang tunai, yaitu sebagai alat pembayaran yang sah. Uang elektronik memiliki dampak positif maupun dampak negatif.

Itu lah mengapa terus dilakukan kajian tentang uang elektronik. Bank Indonesia juga telah mengeluarkan peraturan yang jelas, yaitu Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik.

Uang elektronik, atau biasa disebut dengan e-money, memudahkan produsen dan konsumen dalam bertransaksi secara elektronik maupun dengan internet. Untuk menggunakan e-money hal pertama yang harus dilakukan ialah harus menyetorkan (menyimpan) sejumlah uang terlebih dahulu, kemudian nominal yang sudah disetorkan akan diubah dalam bentuk saldo e-money. (https://yoursay.suara.com/lifestyle/2019/12/10/095513/dampak-uang-elektronik-terhadap-perekonomian-indonesia).

Pembahasan:

Uang adalah segala sesuatu yang telah disepakati oleh sebuah masyarakat atau negara sebagai alat transaksi atau alat tukar, walaupun berupa kulit, batu, uang kertas ataupun uang elektronik (e-money). Di sini ada beberapa point pembahasan:

Pertama: uang dalam bahasa fikih disebut ‘an-Naqdu’ sebagai bentuk tunggal, dan ‘an-Nuqud’ sebagi bentuk jamak. Disebutkan dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah:

أَنَّهُ اسْمٌ لِكُل مَا يُسْتَعْمَل وَسِيطًا لِلتَّبَادُل سَوَاءٌ كَانَ مِنْ ذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ أَوْ نُحَاسٍ أَوْ جُلُودٍ أَوْ وَرَقٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ إِذَا كَانَ يَلْقَى قَبُولاً عَامًّا

“An-Naqdu (uang) adalah nama untuk segala perkara yang dipergunakan sebagai alat tukar, baik itu berupa emas, atau perak, tembaga, atau kulit, atau daun, dan lain sebagainya, jika diterima sebagai alat tukar secara umum.” (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah: 41/173).

Kedua: pemakaiannya sebagai alat tukar sudah disepakati oleh penduduk suatu negara. Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata:

إذَا كَانَ شَيْئًا اصْطَلَحُوا عَلَيْهِ مِثْلَ الْفُلُوسِ ، اصْطَلَحُوا عَلَيْهَا ، فَأَرْجُو أَلَّا يَكُونَ بِهَا بَأْسٌ

“Jika uang itu berupa sesuatu yang mereka menamainya sebagai alat tukar seperti Fulus (uang dari tembaga, pen), mereka menjadikan Fulus sebagai uang, maka saya berharap untuk diperbolehkan dalam transaksi jual beli.” (Al-Mughni fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani: 8/80).

Al-Imam Abu Zakariya an-Nawawi asy-Syafi’i (wafat tahun 676) rahimahullah juga menjelaskan:

فَإِنْ كَانَ فِي الْبَلَدِ نَقْدٌ وَاحِدٌ، أَوْ نُقُودٌ يَغْلِبُ التَّعَامُلُ بِوَاحِدٍ مِنْهَا، انْصَرَفَ الْعَقْدُ ‌إِلَى ‌الْمَعْهُودِ ‌وَإِنْ ‌كَانَ ‌فُلُوسًا

“Jika di dalam negara ada satu macam mata uang, atau beberapa mata uang tetapi yang banyak digunakan hanya satu macam mata uang saja, maka aqad jual beli dikembalikan pada uang yang berlaku, walaupun berupa Fulus (uang tembaga, pen).” (Raudhah ath-Thalibin wa Umdah al-Muftin: 3/365).

Bahkan di masa kekhalifahan Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu sudah ada wacana penggunaan uang dari kulit unta. Al-Allamah Ahmad bin Yahya al-Baladzuri (wafat tahun 279 H) rahimahullah berkata:

ولقد كان عُمَر بْن الخطاب قَالَ: ‌هممت ‌أن ‌أجعل ‌الدراهم ‌من ‌جلود ‌الإبل فقيل له إذا لا بعير فأمسك

“Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu pernah berkata: “Aku bercita-cita untuk menjadikan uang Dirham dari kulit unta.” Maka dikatakan: “Kalau begitu unta-unta akan habis.” Maka beliau pun tidak jadi mewujudkannya.” (Futuhul Buldan: 452).

Jadi selain emas dan perak, uang itu bisa berupa logam, batu, kayu, kertas yang disepakati oleh kaum muslimin. Termasuk dalam definisi ini adalah uang elektronik.

Ketiga: hukum riba, baik riba Nasi’ah ataupun riba Fadhel bisa berlaku pada uang kertas dan uang elektronik.

Al-Imam Malik (wafat tahun 179 H) rahimahullah berkata:

وَلَوْ أَنَّ النَّاسَ ‌أَجَازُوا بَيْنَهُمْ ‌الْجُلُودَ حَتَّى تَكُونَ لَهَا سِكَّةٌ وَعَيْنٌ لَكَرِهْتُهَا أَنْ تُبَاعَ بِالذَّهَبِ وَالْوَرِقِ نَظِرَةً

“Seandainya manusia memberlakukan kulit sebagai mata uang dan alat tukar di antara mereka, maka aku membenci jika uang kulit tersebut dibarter dengan emas dan perak secara tempo atau tidak tunai.” (Al-Mudawwanah: 3/5).

Al-Allamah al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi al-Maliki (wafat tahun 543 H) rahimahullah berkata:

أن مالكًا قال زائدًا على الشافعي إذا أجرى الناس الفلوس من النحاس والرصاص بينهم أثمانًا بدلًا من النقدين جرى الربا في ذلك عنده على أحد القولين

“Malik menambahkan ucapan asy-Syafi’i bahwa jika manusia memberlakukan uang Fulus yang terbuat dari tembaga dan timah sebagai alat tukar menggantikan emas dan perak, maka hukum riba berlaku pada Fulus menurut beliau dalam salah satu dari dua pendapat.” (Al-Qabas fi Syarh Muwaththa’ Malik bin Anas: 823).

Keempat: uang kertas dan uang elektronik yang berlaku haruslah diterbitkan dan dicetak oleh pemerintah kaum muslimin atau lembaga yang mewakilinya.

Al-Allamah Syamsuddin Ibnu Muflih al-Hanbali (wafat tahun 763 H) rahimahullah berkata:

وَقَالَ فِي رِوَايَةِ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ : لَا يَصْلُحُ ضَرْبُ الدَّرَاهِمِ إلَّا فِي دَارِ الضَّرْبِ بِإِذْنِ السُّلْطَانِ ؛ لِأَنَّ النَّاسَ إنْ رُخِّصَ لَهُمْ رَكِبُوا الْعَظَائِمَ ، قَالَ الْقَاضِي فِي الْأَحْكَامِ السُّلْطَانِيَّةِ : فَقَدْ مُنِعَ مِنْ الضَّرْبِ بِغَيْرِ إذْنِ السُّلْطَانِ لِمَا فِيهِ مِنْ الِافْتِيَاتِ عَلَيْهِ .

“Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah –dalam riwayat Ja’far bin Muhammad- berkata: “Tidak pantas mencetak mata uang Dirham kecuali di Percetakan Uang (milik negara, pen) dengan seijin Sultan. Karena jika manusia diberi kebebasan mencetak sendiri-sendiri, maka mereka akan melakukan perkara-perkara besar.” Al-Qadhi Abu Ya’la rahimahullah berkata dalam al-Ahkamus Sulthaniyah: “Dan dilarang mencetak (Dirham) tanpa seijin Sultan karena di dalamnya terdapat unsur pemberontakan kepadanya.” (Al-Furu’ li Ibni Muflih: 4/92).

Al-Imam Abu Zakariya an-Nawawi rahimahullah juga berkata:

قَالَ أَصْحَابُنَا وَيُكْرَهُ أَيْضًا لِغَيْرِ الْإِمَامِ ضَرْبُ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ وإن كَانَتْ خَالِصَةً لِأَنَّهُ مِنْ شَأْنِ الْإِمَامِ وَلِأَنَّهُ لا يؤمن فيه الغش وَالْإِفْسَادُ

“Sahabat kami (ulama Syafi’iyyah, pen) berkata: “Dan dibenci juga bagi selain imam (penguasa, pen) untuk mencetak dirham-dirham dan dinar-dinar, meskipun murni. Karena yang demikian itu termasuk tugas imam (penguasa, pen). Dan juga karena tidak aman penipuan dan perusakan (dalam pencetakannya, pen).” (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab: 6/11).

Kelima: mengubah uang kertas menjadi uang elektronik seharusnya tidak dikenai biaya admin, karena ini termasuk riba Fadhel. Akan tetapi yang terjadi, semisal uang kertas Rp. 1 juta dipindah ke Rp. 1 juta uang elektronik akan dipungut biaya admin Rp. 2.000,-. Maka apa yang terjadi adalah uang kertas 1.002.000,- menjadi uang elektronik 1.000.000,-. Dan ini termasuk riba Fadhel.

Sedangkan menurut Dewan Syariah Nasional MUI, biaya admin Rp. 2.000,- bukanlah riba Fadhel, tetapi termasuk akad ijarah (upah) yang diperbolehkan. (https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/hukum-e-money).

Pendapat MUI di atas mengikuti ulama Hanabilah. Al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali (wafat tahun 682 H) rahimahullah berkata:

فأما إنْ قال لصائِغٍ: اصْنَعْ لي خَاتَمًا وَزْنُه دِرْهَمٌ، وأعْطِيكَ مثلَ زِنَتِه، وأُجْرَتَك دِرْهَمًا. فليس ذلك بَيعَ دِرْهَمٍ بدِرْهَمَينِ. وقال أصْحابُنا: للصائِغِ أخْذُ الدِّرْهَمَينِ؛ أحَدِهما في مُقابَلَةِ الخاتَمِ، والثَّاني ‌أُجْرَةً له

“Adapun jika seseorang berkata kepada tukang pembuat perhiasan: “Buatkan untukku sebuah cincin perak seberat 1 Dirham perak. Kamu saya beri upah atas pembuatannya sebesar 1 Dirham.” Maka itu tidak termasuk barter 1 Dirham dengan 2 Dirham. Sahabat kami (yakni: ulama Hanabilah, pen) berkata: “Tukang pembuat perhiasan boleh menerima 2 Dirham. 1 Dirham untuk dijadikan cincin perak dan 1 Dirham untuk ongkos pembuatan cincin.” (Al-Mughni fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani: 6/61).

Akan tetapi pendapat Hanabilah di atas menyelisihi pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Al-Qadhi Abdul Wahhab al-Baghdadi al-Maliki (wafat tahun 422 H) rahimahullah berkata:

المصوغ من الذهب والفضة لا يجوز بيعه بشيء من جنسه إلا مثلاً بمثل، وزناً بوزن. خلافاً لمن أجاز المفاضلة بينهما قدر قيمة الصنعة

“Emas dan perak yang tercetak sebagai perhiasan, tidak boleh dijual dengan sejenisnya (yakni: emas dan perak batangan, pen) kecuali sama dengan sama, baik jmulah dan beratnya. Ini menyelisihi orang yang membolehkannya (yakni: Hanabilah, pen) dengan kelebihan senilai biaya pembuatan perhiasan.” (Al-Isyraf fi Nukat Masail al-Khilaf: 2/527).

Pendapat Hanabilah di atas juga menyelisihi atsar Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu. Dari Abi Rafi’ bahwa ia berkata:

قُلْتُ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنِّي ‌أَصُوغُ ‌الذَّهَبَ فَأَبِيعُهُ بِالذَّهَبِ بِوَزْنِهِ، وَآخُذُ لِعَمَلِهِ أَجْرًا، فَقَالَ: لَا تَبِعِ الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا وَزْنًا بِوَزْنٍ، وَالْفِضَّةَ بِالْفِضَّةِ، إِلَّا وَزْنًا بِوَزْنٍ، وَلَا تَأْخُذْ فَضْلًا

“Aku bertanya kepada Umar bin al-Khaththab: “Wahai Amirul Mukminin? Aku membuat perhiasan emas. Kemudian aku menjualnya dengan harga emas seberat perhiasan tersebut dan juga menarik upah atas jasa pembuatannya?” Beliau menajwab: “Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama dengan sama dalam beratnya, juga perak dengan perak kecuali sama dengan sama dalam beratnya. Janganlah kamu mengambil kelebihannya.” (Atsar riwayat Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf: 14575 (8/125) dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra: 10549 (5/477). Isnadnya di-hasan-kan dalam al-Atiq: 24/498).

Bank Konvensional dan Bank Syariah

Bank Konvensional adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional yang dalam kegiatannya memberikan layanan dalam lalu lintas pembayaran secara umum berdasarkan prosedur dan peraturan yang ditetapkan oleh negara. (https://edmodo.id/bank-konvensional/).

Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. (UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Bab I, Pasal 1).

Karakteristik sistem perbankan syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat dinimati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. (https://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/Pages/Perbankan-Syariah.aspx).

Pada Bank Syariah, seseorang bisa meminjam dana usaha dari Bank apabila jenis usaha yang dijalankannya halal dari sudut pandang Islam. Beberapa usaha tersebut diantaranya, perdagangan, peternakan, pertanian, dan lain sebagainya.

Sedangkan pada Bank Konvensional, seseorang diperbolehkan meminjam dana dari bank untuk jenis usaha yang diijinkan atas hukum positif yang berlaku di Indonesia. Usaha yang dianggap tidak halal tapi bila diakui hukum positif di Indonesia tetap bisa meminjam dana dari Bank Konvensional. (https://www.maxmanroe.com/perbedaan-bank-syariah-dan-bank-konvensional.html).

Pembahasan:

Pertama: bermuamalah dengan bank-bank konvensional termasuk perkara yang dilarang karena termasuk dalam ta’awun (tolong-menolong) dalam dosa dan kezhaliman. Sebagai alternatifnya adalah bermuamalah dengan bank-bank syariah.

Al-Allamah Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata:

لا شك أيها الأخ السائل أن ‌البنوك الربوية يحرم التعامل معها، ويحرم مساعدتها، ‌البنوك التي تتعامل بالربا لا يجوز الاشتراك فيها، ولا التعامل معها؛ لأن ذلك داخل في قوله سبحانه {وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ}، فلا يُشترى منها سهام ولا تُعان بشيء؛ لأنها تعان على الإثم بهذا، أما ‌البنوك الإسلامية التي لا تتعامل بالربا لا بأس بالاشتراك فيها والتعاون معها؛ لأنه تعاون على البر والتقوى

“Tidak diragukan lagi -wahai Saudara Penanya- bahwa bank-bank riba (konvensional) itu haram bagi kita untuk bermuamalah dengannya dan juga haram membantunya. Kita tidak boleh bergabung dan bermuamalah dengan bank yang bermuamalah dengan riba, karena yang demikian termasuk dalam firman Allah ta’ala: “Dan janganlah saling menolong dalam dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Maidah: 2). Maka tidak boleh membeli saham bank tersebut dan juga membantunya, karena termasuk memberikan pertolongan atas dosa dengan cara ini. Adapun bank-bank Islamiyah (yakni: syariah, pen) yang tidak bermuamalah dengan riba, maka kita boleh bergabung dan bekerja sama dengannya, karena termasuk tolong-menolong atas kebaikan dan takwa.” (Fatawa Nur ala ad-Darb: 19/133).

Kedua: jika tidak dijumpai bank syariah, maka boleh bermuamalah dengan bank konvensional dalam keadaan darurat seperti menyimpan (menabung) uang, transfer uang dan menukar uang. Ini karena transfer dan menyimpan uang melalui bank merupakan kedaruratan masa kini. Al-Allamah Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata:

إذا دعت ‌الضرورة إلى الحفظ عن طريق ‌البنوك ‌الربوية فلا حرج في ذلك إن شاء الله؛ لقوله سبحانه: {وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ}  ولا شك أن التحويل عن طريقها من الضرورات العامة في هذا العصر، وهكذا الإيداع فيها للضرورة بدون اشتراط الفائدة، فإن دفعت إليه الفائدة من دون شرط ولا اتفاق، فلا بأس بأخذه لصرفها في المشاريع الخيرية كمساعدة الفقراء والغرماء ونحو ذلك لا ليمتلكها، أو ينتفع بها

“Jika memang ada dharurat untuk menyimpan uang melalui bank-bank konvensional (ribawi), maka tidak ada dosa atasnya insyaa Allah, karena firman-Nya ta’ala: “Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (QS. Al-An’am: 119). Dan tidak diragukan lagi bahwa transfer melalui bank merupakan kedaruratan umum di masa ini. Demikian pula menyimpan uang di bank karena darurat, tanpa mempersyaratkan bunga. Jika ia diberi bunga tanpa syarat dan tanpa kesepakatan oleh bank, maka tidak ada dosa jika mengambil bunga tersebut untuk ditasharufkan di jalan kebaikan seperti membantu orang-orang fakir, orang-orang yang menanggung hutang dan sebagainya, bukan untuk dimiliki atau dimanfaatkan secara pribadi…dst.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalah Mutanawwi’ah: 19/194-5).

Ketiga: tidak diperbolehkan bekerja di bank-bank konvensional, karena termasuk tolong-menolong dalam dosa dan riba.

Al-Allamah Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah menyatakan:

العمل في ‌البنوك الربوية لا يجوز؛ لما ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم في «لعن ‌آكل ‌الربا وموكله وكاتبه وشاهديه، وقال: هم سواء  » ، أخرجه مسلم في صحيحه، ولما في ذلك من ‌التعاون على الإثم والعدوان،

“Bekerja di bank-bank ribawi (konvensional) tidak diperbolehkan, karena telah shahih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau melaknat orang yang memakan riba (pemilik bank), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim: 1598 dari Jabir radhiyallahu anhu). Dan juga karena di dalamnya ada unsur saling menolong di dalam dosa dan permusuhan.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalah Mutanawwi’ah: 19/385).

Keempat: bank-bank syariah sebagai alternatif bagi kaum muslimin akan memberikan manfaat dan keberkahan yang banyak bagi mereka.

Al-Allamah Hamud bin Abdillah at-Tuwaijiri (wafat tahun 1413 H) rahimahullah menyatakan:

إن البنوك الإسلامية التي لا يتعامل أهلها بالربا قد وجدت في بعض البلاد الإسلامية وهي أكثر أرباحًا من البنوك التي يتعامل أهلها بالربا، فمنها (بنك فيصل الإسلامي) ومقره في القاهرة، وله فروع كثيرة في بعض البلاد الإسلامية، وهذا البنك لا يتعامل أهله بالربا، وإنما يأخذون الأموال من أهلها على وجه المضاربة فيعملون فيها بالأعمال المباحة من بيع وشراء واستئجار وتأجير وأخذ مقاولات وغير ذلك من الأمور التي لا بأس بها، وإذا حصل لهم ربح قسموه على قدر ما يستحقه كل واحد من أهل الأموال. فهذا البنك يحصل فيه ربح كثير لأهل الأموال مع سلامتهم من أخذ الربا وإعطائه، وقد حصلت فيه أرباح كثيرة جدًا في عامي 1406هـ و1407هـ وهي مذكورة في صحيفة الجزيرة الصادرة في مدينة الرياض في يوم الأربعاء 11 ربيع الثاني عام 1408هـ عدد 5543 فليراجع المفتونون بالمعاملات الربوية في البنوك غير الإسلامية هذا العدد من صحيفة الجزيرة ليعلموا أنهم قد حرموا من أرباح كثيرة…الخ.

“Sesungguhnya bank-bank syariah yang tidak bermuamalah dengan riba telah banyak ditemukan di sebagian negara kaum muslimin. Bank-bank ini mempunyai banyak keuntungan daripada bank-bank konvensional. Di antaranya adalah Bank Faishal al-Islami yang berkedudukan di kota Kairo (Mesir) dan mempunyai banyak cabang di sebagian negara kaum muslimin. Bank ini tidak bermuamalah dengan cara riba, tetapi mengambil uang nasabah dengan cara Mudharabah lalu dipergunakan untuk investasi dalam usaha yang mubah (halal), yang berupa jual beli, sewa dan upah, kontrak proyek dan lain sebagainya dari akad-akad yang mubah. Jika terjadi adanya keuntungan (laba), maka mereka membaginya menurut kadar hak yang disepakati antara pihak bank dan nasabah. Maka bank ini menghasilkan keuntungan yang banyak bagi pemilik uang (nasabah, pen) dengan selamatnya mereka dari memungut dan memberikan riba. Dan bank ini membukukan keuntungan yang sangat banyak di tahun 1406 dan 1407 Hijriyah. Berita ini disebutkan dalam koran al-Jazeerah yang terbit di kota Riyadh pada hari Rabu, tanggal 11 Rabi’uts Tsani 1408 edisi 5543. Maka orang-orang yang terfitnah dengan bermuamalah dengan bank-bank konvensinal hendaknya merujuk pada koran tersebut, agar mereka mengetahui bahwa mereka terhalang dari banyak keuntungan..dst.” (Ash-Sharim al-Battar li al-Ijhaaz ala Man Khalafa al-Kitab wa as-Sunnah wa al-Ijma’ wa al-Atsar: 61-62).

Jual Beli Emas Antam

Di antara bunyi fatwa DSN MUI adalah: “Jual beli emas secara tidak tunai, baik melalui jual beli biasa atau jual beli murabahah, hukumnya boleh (mubah, ja’iz) selama emas tidak menjadi alat tukar yang resmi (uang).” (Fatwa DSN No: 77/DSN-MUI/VI/2010, tentang JUAL-BELI EMAS SECARA TIDAK TUNAI).

Jawaban:

Pendapat yang diambil oleh DSN-MUI di atas kurang tepat dengan alasan berikut ini:

Pertama: emas dan perak adalah alat tukar secara mutlak (absolut) meskipun tidak diakui sebagai alat tukar di masa kini. Adapun uang Fulus, uang kertas dan uang elektronik, maka bukan alat tukar mutlak. Sehingga ketika sudah kedaluarsa, Fulus dan uang kertas bukanlah alat tukar lagi. Al-Allamah Badruddin al-Aini al-Hanafi (wafat tahun 855 H) rahimahullah menjelaskan:

وقال الأترازي: المراد بالأثمان ‌المطلقة الدراهم والدنانير؛ لأنهما أثمان بكل حال؛ لأن الله تعالى خلق الذهب والفضة ثمنا للأشياء، والمعنى بالثمينة كونه بحال يقدر به مالية الأشياء، ويتوصل به إليها ومما بهذه الصفة قبل الصياغة وبعدها

“Al-Atrazi berkata: “Yang dimaksud alat tukar secara mutlak (absolut) adalah Dirham (perak) dan Dinar (emas), karena keduanya merupakan alat tukar untuk setiap keadaan. Yang demikian karena Allah ta’ala menciptakan emas dan perak sebagai alat pengukur harga segala sesuatu. Makna alat tukar atau pengukur harga adalah bahwa keadaan emas dan perak bisa mengukur nilai harga barang-barang dan dapat digunakan sebagai alat untuk mendapatkan barang-barang tersebut (melalui jual beli, pen) dan juga tetap bersifat mutlak (absolut) baik sebelum dicetak menjadi perhiasan ataupun setelahnya.” (Al-Binayah Syarh al-Hidayah: 8/15).

Al-Allamah Nizhamuddin al-Hasan bin Muhammad an-Naisaburi asy-Syafi’i (wafat tahun 850 h) rahimahullah berkomentar:

وإنما كان ‌الذهب ‌والفضة ‌محبوبين لأنهما جعلا ثمن جميع الأشياء فمالكهما كالمالك لجميع الأشياء

“Hanyalah emas dan perak yang dicintai karena keduanya dijadikan sebagai alat ukur harga segala sesuatu. Maka pemiliknya seperti pemilik segala sesuatu.” (Gharaib al-Quran wa Raghaib al-Furqan: 2/123).

Al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali (wafat tahun 620 H) rahimahullah berkata:

والأثمان؛ ‌وهي ‌الذهب ‌والفضة

“(Yang dimaksud dengan) alat ukur harga barang adalah emas dan perak.” (Al-Mughni fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani: 2/467).

Kedua: Riba itu berlaku pada jual beli emas dan perak secara mutlak (absolut) apapun bentuknya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ

“Janganlah menjual emas dengan emas kecuali sama dengan sama, dan janganlah melebihkan sebagian emas dengan sebagian lainnya! Dan janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama dengan sama dan janganlah melebihkan sebagian perak dengan sebagian lainnya! Dan janganlah menjual darinya (emas dan perak, pen) yang tidak ada dengan yang ada (tidak tunai, pen)!” (HR. Al-Bukhari: 2031, Muslim: 2964, At-Tirmidzi: 1162, An-Nasai: 4494 dan Abu Dawud: 2910 dari Abu Sa’id al-Khudzri radhiyallahu anhu).

Berlakunya Riba pada emas dalam bentuk apapun, baik berbentuk Dinar, batangan ataupun perhisan, merupakan ijma’ atau kesepakatan para ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkomentar:

وَيَدْخُلُ فِي الذَّهَبِ جَمِيعُ أَصْنَافِهِ مِنْ ‌مَضْرُوبٍ وَمَنْقُوشٍ وَجَيِّدٍ وَرَدِيءٍ وَصَحِيحٍ وَمُكَسَّرٍ وَحُلِيٍّ وَتِبْرٍ وَخَالِصٍ وَمَغْشُوشٍ وَنَقَلَ النَّوَوِيُّ تَبَعًا لِغَيْرِهِ فِي ذَلِكَ الْإِجْمَاعَ

“Termasuk dalam kategori emas adalah segala jenis emas, baik itu emas yang tercetak, atau emas yang dipahat, emas yang bagus atau yang jelek, emas masih utuh atau emas yang sudah rusak, emas perhiasan atau emas batangan, emas murni atau emas campuran. An-Nawawi menukilkan adanya ijma’ (konsensus) dalam masalah ini sebagaimana penukilan ulama lainnya.” (Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari: 4/380).

Ketiga: di jaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, perhiasan emas juga dianggap sebagai alat tukar, sehingga berlaku hukum riba padanya. Fadhalah bin Ubaid Al-Anshari radliyallahu anhu berkata:

اشْتَرَيْتُ يَوْمَ خَيْبَرَ قِلَادَةً بِاثْنَيْ عَشَرَ دِينَارًا فِيهَا ذَهَبٌ وَخَرَزٌ فَفَصَّلْتُهَا فَوَجَدْتُ فِيهَا أَكْثَرَ مِنْ اثْنَيْ عَشَرَ دِينَارًا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَا تُبَاعُ حَتَّى تُفَصَّلَ

“Aku membeli kalung pada waktu perang Khaibar seharga 12 Dinar. Di dalam kalung tersebut terdapat emas dan permata. Kemudian aku memisah-pisah kalung itu (antara emas dan permatanya, pen) dan ternyata emasnya lebih berat dari uang 12 Dinar. Maka aku menceritakan perkara itu kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam. Beliau berkata: “Kalung emas tersebut tidak boleh dijual kecuali telah dipisah-pisah terlebih dahulu.” (HR. Muslim: 2979, At-Tirmidzi: 1176, An-Nasai: 4497).

Hadits di atas menunjukkan bahwa kalung emas itu berfungsi sebagai alat tukar bukan sebagai barang komoditas (sil’ah) sebagaimana pendapat ulama yang diikuti oleh MUI, sama saja dengan emas batangan atau emas koin. Sehingga hukum riba berlaku pada kalung emas tersebut.

Al-Allamah al-Mulla Ali al-Qari al-Hanafi (wafat tahun 1014 H) rahimahullah berkomentar:

وَفِيهِ أَنَّ عِلَّةَ النَّهْيِ إِنَّمَا هِيَ كَوْنُ مُقَابَلَةِ الذَّهَبِ بِالذَّهَبِ وَزِيَادَةِ الْفَضْلِ الْمُوجِبَةِ لِحُصُولِ الرِّبَا

“Di dalam hadits ini terdapat pelajaran bahwa illat (alasan) dilarangnya adalah karena adanya transaksi emas dengan emas, dan tambahan kelebihan (emas) menyebabkan terjadinya riba.” (Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih: 5/1921).

Keempat: pendapat yang dipegang oleh DSN MUI di atas merupakan pendapat yang syadz yang menyelisihi jumhur (mayoritas) ulama.

Al-Allamah Ibnu Rusyd al-Hafid al-Maliki (wafat tahun 595 H) rahimahullah menyatakan:

‌وأجمع الجمهور على أن مسكوكه، وتبره، ومصوغه سواء في منع بيع بعضه ببعض متفاضلا لعموم الأحاديث المتقدمة في ذلك، إلا معاوية فإنه كان يجيز التفاضل بين التبر، والمصوغ لمكان زيادة الصياغة

“Mayoritas ulama bersepakat bahwa emas yang berupa koin, emas batangan atau yang dicetak perhiasan, adalah sama di dalam larangan jual beli sesamanya secara tidak sama timbangannya karena keumuman hadits terdahulu tentang itu, kecuali Muawiyah. Maka beliau memperbolehkan jual beli antara emas batangan dan emas perhiasan dengan timbangan yang tidak sama, sebagai tambahan ongkos pembuatan perhiasan.” (Bidayah al-Mujtahid: 3/212).

Kelima: menjelang hari kiamat, emas dan perak juga tetap berlaku sebagai alat tukar. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ ‌زَمَانٌ يَطُوفُ الرَّجُلُ فِيهِ، ‌بِالصَّدَقَةِ مِنَ ‌الذَّهَبِ، ثُمَّ لَا يَجِدُ أَحَدًا يَأْخُذُهَا مِنْهُ، وَيُرَى الرَّجُلُ الوَاحِدُ يَتْبَعُهُ أَرْبَعُونَ امْرَأَةً يَلُذْنَ بِهِ، مِنْ قِلَّةِ الرِّجَالِ وَكَثْرَةِ النِّسَاءِ

“Pasti akan datang pada manusia suatu zaman yang ketika seseorang berkeliling membawa shadaqah emas, lalu ia tidak mendapati seseorang yang mau menerimanya lagi. Lalu akan terlihat satu orang laki-laki akan diikuti oleh empat puluh orang wanita, yang mereka mencari kepuasan dengannya karena sedikitnya jumlah laki-laki dan banyaknya wanita.” (HR. Al-Bukhari: 1414 dan Muslim: 1012 dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu anhu).

Hadits di atas menunjukkan kemakmuran pada masa sebelum hari kiamat. Dan ini diukur dengan melimpahnya emas sebagai alat ukur kemakmuran.

Al-Allamah Badruddin al-Aini al-Hanafi (wafat tahun 855 H) rahimahullah berkata:

قَوْله: (من ‌الذَّهَب) ، خص بِالذكر مُبَالغَة فِي عدم من يقبل الصَّدَقَة لِأَن ‌الذَّهَب أعز المعدنيات وأشرف الْأَمْوَال فَإِذا لم يُوجد من يَأْخُذ هَذَا فَفِي غَيره بِالطَّرِيقِ الأولى

“Sabda beliau “shadaqah emas,” dikhususkan penyebutannya sebagai bentuk penyangatan di dalam tidak adanya orang yang menerima sedekah. Ini karena emas adalah logam yang paling mulia dan harta yang paling berharga. Jika tidak ditemukan orang yang mau menerima sedekah emas, maka sedekah barang lain lebih utama untuk ditolak.” (Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari: 8/274).

Keenam: solusi Murabahah Logam Mulia Antam yang riba dapat diganti Murabahah emas dengan bahan makanan pokok semisal beras atau kurma dan sebagainya.

Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu anhu berkata:

جَاءَ بِلَالٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِتَمْرٍ بَرْنِيٍّ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَيْنَ هَذَا قَالَ بِلَالٌ كَانَ عِنْدَنَا تَمْرٌ رَدِيٌّ فَبِعْتُ مِنْهُ صَاعَيْنِ بِصَاعٍ لِنُطْعِمَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ أَوَّهْ أَوَّهْ عَيْنُ الرِّبَا عَيْنُ الرِّبَا لَا تَفْعَلْ وَلَكِنْ إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَشْتَرِيَ فَبِعْ التَّمْرَ بِبَيْعٍ آخَرَ ثُمَّ اشْتَرِهِ

“Bilal mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan membawa kurma Barni (kurma kualitas baik). Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bertanya: “Dari mana ini, wahai Bilal?” Bilal berkata: “Kami menukar 2 sha’ kurma kualitas jelek dengan 1 sha’ kurma Barni.” Beliau berkata: “Inilah hakekat riba maka jangan kamu lakukan! Tetapi jika kamu ingin membeli kurma Barni maka juallah kurma jelek tersebut dengan barang lain (spt gandum atau dirham, pen), kemudian barang tersebut kamu belikan kurma Barni.” (HR. Al-Bukhari: 2145, Muslim: 2985).

Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberikan solusi:

لَا تَفْعَلْ، ‌بِعْ ‌الجَمْعَ ‌بِالدَّرَاهِمِ، ثُمَّ ابْتَعْ بِالدَّرَاهِمِ جَنِيبًا

“Jangan seperti itu kamu lakukan, namun juallah semua dahulu dengan beberapa dirham, kemudian uangnya kau belikan kurma Janib.” (HR. Al-Bukhari: 2201 dan Muslim: 1593).

Hadits di atas menunjukkan solusi agar kita tidak terjatuh dalam Riba di dalam bertransaksi dengan barang-barang ribawi seperti emas, Dirham dan kurma.

Al-Imam al-Wazir Abul Muzhaffar Ibnu Hubairah al-Hanbali (wafat tahun 560 H) rahimahullah berkata:

في هذا الحديث تعليم النبي – صلى الله عليه وسلم – كيفية الخروج من الربا، بأن يباع الشيء بالدراهم، ويشترى بالدراهم ذلك الشيء

“Di dalam hadits ini terdapat pengajaran (baca: solusi) dari Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang tatacara keluar dari Riba, dengan cara menjual barang ribawi (yang bukan alat tukar, pen) dengan Dirham (yakni: alat tukar, pen), kemudian Dirham tersebut digunakan untuk membeli barang ribawi yang sejenis.” (Al-Ifshah fi Ma’ani ash-Shahhah: 6/156).

Jual Beli Online atau Via Internet

Di era sekarang dengan berkembangnya zaman semuanya telah serba canggih, terutama dalam hal jual beli. Kini jual beli dilakukan dengan secara online tanpa perlu adanya tatap muka secara langsung. Melainkan transaksi dalam jarak jauh pun sekarang bisa. Karena dengan kemudahanya berbelanja online adalah sebagai alternatif bagi orang-orang di era sekarang cukup dengan internet semua orang dapat melakukannya. Namun dalam transaksi jual beli perlu diperhatikan dalam fiqih muamalahnya. (https://www.kompasiana.com/khoirulaffandi3335/60b71ec88ede482e152024e2/transaksi-jual-beli-online-dalam-fiqih-muamalah).

Pembahasan:

Pertama: jual beli via Online hukumnya boleh. Ijab dan Qabul tidak harus diucapkan, tetapi dikembalikan kepada kebiasaan yang berlaku pada masyarakat.

Al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali (wafat tahun 620 H) rahimahullah berkata:

ومَذهبُ الشَّافِعِيِّ، رَحِمَهُ اللَّه، أنَّ البَيْعَ لا يصِحُّ إلَّا بالإِيجابِ، والقَبُولِ. وذَهَبَ بعضُ أصْحابِه إلى مِثْلِ قَوْلِنا. ولَنا، أنَّ اللَّه أَحَلَّ البَيْعَ، ولم يُبَيِّنْ كَيْفِيَّتَهُ، فَوَجَبَ الرُّجُوعُ فيه إلى العُرْفِ، كما رُجِعَ إليه فى القَبْضِ والإِحْرَازِ والتَّفَرُّقِ، والمُسْلِمُونَ فى أسْوَاقِهِمْ وبِيَاعَاتِهِمْ على ذلك، ولأنَّ البَيْعَ كان مَوْجُودًا بَيْنَهُمْ، مَعْلُومًا عِنْدَهُمْ، وإنما عَلَّقَ الشَّرْعُ عليه أحْكامًا، وأبْقَاهُ على ما كان، فلا يَجُوزُ تَغْيِيرُه بِالرَّأْىِ والتَّحَكُّمِ، ولم يُنْقَلْ عن النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-، ولا عن أصْحَابِه، مع كَثْرَةِ وُقُوعِ البَيْعِ بَيْنَهُمْ، اسْتِعْمَالُ الإيجَابِ والقَبُولِ، ولو اسْتَعْمَلُوا ذلك فى بِيَاعَاتِهمْ لَنُقِلَ نَقْلًا شَائِعًا، ولو كان ذلك شَرْطًا، لَوَجَبَ نَقْلُه

“Madzhab asy-Syafi’i rahimahullah adalah bahwa jual beli tidak sah tanpa adanya ijab dan qabul. Sedangkan sebagian pengikut beliau ada yang berpendapat seperti pendapat kami (Hanabilah, pen). Kami (Hanabilah, pen) mempunyai dalil bahwa Allah menghalalkan jual beli dan tidak menyebutkan tata caranya. Maka tata caranya wajib dikembalikan kepada al-Urf (kebiasaan yang berlaku di masyarakat, pen), sebagaimana merujuknya istilah ‘serah terima’, penjagaan dan berpisah kepada al-Urf. Kaum muslimin di pasar-pasar mereka, dalam jual beli mereka juga atas demikian. Dan juga karena jual beli telah ada di kalangan mereka dan syariat menghubungkan hukum-hukum terhadap jual beli dan membiarkan proses transaksi yang ada (baik sebelum ataupun setelah datangnya al-Islam, pen). Maka tidak boleh mengubahnya dengan semata rasio ataupun kekuasaan. Dan belum pernah dinukil dari Nabi shallallahu alaihi wasallam dan juga dari para sahabat beliau pemakaian ‘ijab dan qabul’, padahal banyak transaksi jual beli di kalangan mereka. Seandainya mereka memakai ‘ijab dan qabul’ dalam jual beli mereka, tentunya riwayat tersebut akan dinukilkan kepada kita dengan penukilan yang terkenal. Dan seandainya ‘ijab dan qabul’ itu merupakan persyaratan, maka wajib dinukilkan periwayatannya.” (Al-Mughni fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani: 6/8).

Sehingga kebiasaan atau al-Urf pada jual beli via online, cukup meng-klik tombol ‘beli’, tombol ‘jumlah’, tombol bayar dan seterusnya.

Kedua: ijab dan qabul pada perdagangan bukan urusan ‘Ta’abbudi’  (ritual, pen), tetapi hanya menunjukkan saling rela antara penjual dan pembeli.

ولو كان الإِيجابُ والقَبُولُ شَرْطًا فى هذه العُقُودِ لَشَقَّ ذلك، ولَكانتْ أكْثَرُ عُقُودِ المُسْلِمِينَ فَاسِدَةً، وأكثرُ أمْوَالِهم مُحَرَّمَةً. ولِأنَّ الإيجابَ والقَبُولَ إنما يُرَادَانِ لِلدَّلَالَةِ على التَّرَاضِى، فإذا وُجِدَ ما يَدُلُّ عَلَيْه، مِنَ المُسَاوَمَةِ والتَّعَاطِى، قَامَ مقَامَهما، وأجْزَأَ عنهما؛ لِعَدَمِ التَّعَبُدِ فيه

“Seandainya ijab dan qabul itu menjadi persyaratan dalam akad-akad ini (yakni: jual beli, hibah dan sedekah, pen), maka itu akan menyulitkan. Dan tentulah kebanyakan akad-akad kaum muslimin menjadi rusak dan tentulah kebanyakan harta mereka adalah harta yang haram. Ijab dan qabul merupakan petunjuk atas adanya saling rela antara penjual dan pembeli. Sehingga jika ditemukan hal-hal yang menunjukkan sikap saling rela, seperti deal dalam tawar menawar dan saling serah terima antara barang dan uang, maka itu sudah menggantikan ijab dan qabul dan itu juga telah mencukupi, karena tidak adanya perintah ‘Ta’abbud’ atas hal tersebut.” (Al-Mughni fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani: 6/9).

Allah ta’ala tidak mempersyaratkan adanya ijab dan qabul, tapi hanya kerelaan antara penjual dan pembeli dalam firman-Nya:

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوالَكُمْ بَيْنَكُمْ ‌بِالْباطِلِ إِلَاّ أَنْ تَكُونَ تِجارَةً ‌عَنْ ‌تَراضٍ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kalian.” (QS. An-Nisa’: 29).

Ketiga: jual beli dianggap jadi ketika penjual dan pembeli sudah berpisah dari majelis akad. Menurut al-Urf dalam jual beli via Online, berpisah dari majelis akad ditandai dengan mengklik ‘Checkout’ atau mengklik ‘bayar’.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

البَيِّعَانِ ‌بِالخِيَارِ ‌مَا ‌لَمْ ‌يَتَفَرَّقَا

“Kedua orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah.” (HR. Al-Bukhari: 2079, Muslim: 1532 dan at-Tirmidzi: 1246 dari Hakim bin Hizam radhiyallahu anhu).

Al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali rahimahullah berkata:

والمَرْجِعُ فى التَّفَرُّقِ إلى عُرْفِ النّاسِ وعَادَتِهم، فيما يَعُدُّونَهُ تَفَرُّقًا؛ لأنَّ الشَّارِعَ عَلَّقَ عليه حُكْمًا، ولم يُبَيِّنْهُ، فَدَلَّ ذلك على أنَّه أرَادَ ما يَعْرِفُه النّاسُ

“Rujukan dalam pengertian ‘berpisah’ dikembalikan kepada ‘al-Urf’ dan kebiasaan masyarakat tentang apa yang mereka anggap dengan ‘berpisah’. Ini karena syariat menghubungkan atasnya beberapa hukum dan tidak menjelaskannya. Maka itu menunjukkan bahwa ‘berpisah’ itu menurut apa yang dikenal dalam kebiasaan masyarakat.” (Al-Mughni fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani: 6/12).

Dalam jual beli online, kita dianggap berpisah ketika sudah mengklik tombol ‘bayar’ atau ‘checkout’.

Keempat: begitu juga dengan batasan serah terima atau ‘al-Qabdh’. Batasan al-Qabdh dikembalikan kepada al-Urf atau kebiasaan manusia di masanya.

Al-Imam Najmuddin Ibnu ar-Rif’ah asy-Syafi’i (wafat tahun 710 H) rahimahullah menyatakan:

والدليل على ذلك: أن الشرع أطلق ‌القبض في ‌البيع، وأناط به أحكاماً ولم يبينه، ولا له حد في اللغة يرجع إليه؛ فكان المرجع فيه إلى ‌العرف كالحرز في السرقة والإحياء، والعرف قاض باعتبار ما ذكرناه

“Dalil atas demikian adalah bahwa syariat memutlakkan (baca: membicarakan, pen) al-Qabdh (serah terima) di dalam jual beli. Syariat juga menghubungkan ‘serah terima’ dengan beberapa hukum dan tidak ada batasan al-Qabdhu (serah terima) dalam bahasa. Maka batasan ‘serah terima’ dikembalikan kepada al-Urf (kebiasan pada masyarakat, pen) seperti batasan penjagaan dalam pencurian, batasan mengidupkan bumi mati. Maka al-Urf (kebiasaan yang berlaku di masyarakat, pen) menjadi batasan dalam hal-hal tersebut.” (Kifayah an-Nabih fi Syarh at-Tanbih: 8/439).

Kelima: serah terima dalam jual beli di pasar-pasar tradisonal dilakukan secara fisik, atau ‘al-Qabdh’ al-Hissi’. Ada barang yang diserahterimakan dengan ditimbang, ada yang dengan ditakar, ada yang dipindah dan sebagainya, tergantung pada kebiasaan manusia di suatu tempat ataupun masa.

Al-Imam Muwaffaquddin Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali (wafat tahun 620 H) rahimahullah berkata:

وقبض كل شيء بحسبه، المكيل المبيع مكايلة قبضه كيله، لما روى أبو هريرة أن رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قال: «من اشترى طعاماً فلا يبعه حتى يكتاله» رواه مسلم.

“Serah terima (al-Qabdhu) dari segala sesuatu itu menurut jenis dan macam barang tersebut. Makanan yang dijual dengan cara ditakar (seperti beras, pen), maka ‘serah terima’nya adalah dengan ditakar, karena ada riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa membeli makanan, maka janganlah menjualnya sampai ia menakarnya.” (HR. Muslim: 1528).” (Al-Kafi fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal: 2/18).

Keenam: pada jual beli online berlaku ‘al-Qabdh’ (serah terima) secara hukmiyah, jika tidak memungkinkan serah terima secara fisik. Serah terima secara hukmiyah seperti terjadi perpindahan hak milik barang dari penjual ke pembeli, masuknya uang pembeli ke dalam rekening penjual dan sebagainya.

Al-Allamah Ala’uddin Abu Bakar al-Kasani al-Hanafi (wafat tahun  587 H) rahimahullah berkata:

أن ‌التخلي بدون النقل والتحويل قبض في العرف والشرع، أما العرف: فإن ‌القبض يرد على ما لا يحتمل النقل والتحويل من الدار والعقار، يقال: هذه الأرض أو هذه القرية أو هذه الولاية في يد فلان فلا يفهم منه إلا ‌التخلي وهو التمكن من التصرف وأما الشرع: فإن ‌التخلي في باب البيع قبض بالإجماع من غير نقل وتحويل دل أن ‌التخلي بدون النقل والتحويل قبض حقيقة وشريعة فيكتفى به

“Bahwa penerimaan hak milik tanpa memindah dan mengubah barang dagangan disebut ‘al-Qabdh’ (serah terima) secara urfi (kebiasaan masyarakat) dan syar’i. Adapun secara Urfi, ‘al-Qabdh’ terjadi pada barang yang tidak bisa dipindah dan diubah, seperti rumah dan pekarangan. Dikatakan: “Tanah ini atau desa ini atau wilayah ini ada di tangan Fulan.” Maka tidaklah dipahami dari ungkapan ini kecuali kepemilikan, yaitu kemampuan untuk menguasai dan mengelola. Adapun syariat, penerimaan kepemilikan dalam jual beli termasuk ‘al-Qabdh’ (serah terima) secara ijma’ (konsensus), tanpa adanya pemindahan dan perubahan barang. Ini menunjukkan bahwa penerimaan kepemilikan tanpa pemindahan dan perubahan barang termasuk ‘al-Qabdh’ (serah terima) secara hakiki dan syar’i, maka itu mencukupkan.” (Bada’i ash-Shana’i: 6/141).

Ketujuh: khusus untuk jual beli emas dan perak secara online maka harus diserahterimakan secara fisik. Jika tidak, maka akan jatuh kepada Riba Nasi’ah. Lihat Bab Jual Beli Emas ANTAM yang telah berlalu.

Kedelapan: barang yang dijualbelikan secara online disebut ‘al-A’yan al-Ghaibah’. Ini diperbolehkan jika dijelaskan sifat-sifat barangnya dan berlaku ‘Khiyar Rukyat’ padanya. Penjelasan lengkapnya di Bab Jual Beli COD. Insyaa Allah.

Bisnis Money Changer dan Trading Forex

Usaha tukar-menukar uang asing dengan uang lokal atau istilahnya Money Changer merupakan sebuah bisnis bagus yang banyak dijumpai di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Batam, dan Denpasar. Membangun sebuah tempat penukaran uang asing memang dikategorikan sebagai bisnis kelas kakap, karena modal yang dibutuhkan cukup besar, sehingga banyak money changer dimiliki secara patungan (saham). Menurut Surat Edaran BI No. 14/15/DPM, diwajibkan jumlah modal awal yang harus disediakan minimal sekitar 250 juta rupiah untuk daerah-daerah yang disebutkan tadi.

Sebuah money changer akan mempunyai daftar harga tukar (kurs) dari berbagai mata uang asing, misalnya dollar, euro, yen, pesso dan lainnya terhadap rupiah. Kurs jual dan kurs beli adalah berbeda. Jika seseorang yang ingin menukarkan uang dollar dengan rupiah, maka Money Changer akan membeli dengan harga lebih rendah daripada harga jual kurs tersebut. Selisih nominal tersebutlah yang menjadi keuntungan pihak money changer. (https://www.kerjausaha.com/2013/01/mengintip-bisnis-money-changer.html).

Kini, bentuk perdagangan valuta asing dikembangkan secara lebih modern dengan menggunakan forex. Forex adalah akronim Foreign Exchange yang artinya pertukaran mata uang asing. Forex tidak jauh berbeda dengan money changer konvensional. Perbedaannya terletak pada media yang digunakan untuk berbisnis. Forex tidak mewajibkan Anda berpanas-panas ria atau kehujanan untuk sampai di tempat penukaran mata uang asing namun dengan menggunakan aplikasi komputer yang lebih mudah dan fleksibel. Hampir bisa dikatakan bahwa Forex merupakan bisnis perdagangan valuta asing yang hampir tidak membutuhkan modal berupa dana cair. Transaksi di Forex hanya memerlukan program aplikasi khusus yang terhubung dengan koneksi internet. Anda tinggal menekan ‘Sell’ untuk menjual dan ‘Buy’ untuk membeli dan transaksi Anda akan berjalan dengan lebih mudah. (https://www.cermati.com/artikel/tukar-uang-di-money-changer-apa-bedanya-dengan-forex).

Pembahasan:

Di sini terdapat beberapa pembahasan;

Pertama: bisnis Money Changer dalam istilah Fikih disebut dengan ‘ash-Sharf. Al-Allamah Manshur bin Yunus al-Buhuti al-Hanbali (wafat tahun 1051 H) rahimahullah menerangkan:

‌والصرفُ: بيعُ نقدٍ بنقدٍ، قيل: سُمِّي به لصَرِيفهما، وهو تصويتُهما في الميزانِ، وقيل: لانصرافهما عن مقتضَى البِياعاتِ، مِن عدمِ جوازِ التَّفرُّقِ قبلَ القبضِ ونحوِه

“Sharf adalah jual beli mata uang dengan mata uang lain. Dinamakan ‘ash-Sharf’ karena bersuaranya mata uang ketika ditimbang. Ada yang berpendapat bahwa disebut ‘ash-Sharf’ karena sifatnya yang berbeda dari jual beli biasa, yaitu tidak bolehnya berpisah sebelum serah terima antar mata uang, dan sebagainya.” (Ar-Raudh al-Murbi’ bi Syarh Zaad al-Mustaqni’: 2/254).

Kedua: ash-Sharf haruslah memenuhi unsur tunai atau kontan atau ‘taqabudh’. Abul Minhal berkata:

سَأَلْتُ البَرَاءَ بْنَ عَازِبٍ، وَزَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ عَنِ الصَّرْفِ، فَقَالَا: ‌كُنَّا ‌تَاجِرَيْنِ ‌عَلَى ‌عَهْدِ ‌رَسُولِ ‌اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصَّرْفِ، فَقَالَ: «إِنْ كَانَ يَدًا بِيَدٍ فَلَا بَأْسَ، وَإِنْ كَانَ نَسَاءً فَلَا يَصْلُحُ

“Aku bertanya kepada al-Bara’ bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam tentang ‘ash-Sharf’ (bisnis pertukaran uang, pen), maka dia berkata: “Kami dahulu adalah para pedagang di jaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kami pernah pula bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang pertukaran uang (Money Changer), maka Beliau bersabda: “Jika transaksi langsung (tunai atau cash) tidak mengapa namun bila tunda (penangguhan di belakang) maka tidak boleh.” (HR. Al-Bukhari: 2060).

Dalam riwayat Muslim, beliau bersabda:

‌مَا ‌كَانَ ‌يَدًا ‌بِيَدٍ ‌فَلَا ‌بَأْسَ ‌بِهِ، وَمَا كَانَ نَسِيئَةً فَهُوَ رِبًا

“Transaksi yang berlangsung kontan atau langsung, maka tidak apa-apa. Sedangkan transaksi yang tertunda, maka itu Riba.” (HR. Muslim: 1589).

Al-Allamah Syihabuddin Ibnu Ruslan asy-Syafi’i (wafat tahun 844 H) rahimahullah berkomentar:

واستدل به على اشتراط ‌التقابض في المجلس وهو قول أبي حنيفة والشافعي

“Hadits di atas dijadikan dalil atas persyaratan ‘taqabudh’ (serah terima, pen) di dalam majelis ‘ash-Sharf’.” (Syarh Sunan Abi Dawud li Ibni Ruslan: 14/600).

Ketiga: batasan taqabudh atau serah terima kontan dikembalikan kepada ‘Urf’ (kebiasaan masyarakat).

Keempat: untuk jual beli valas atau forex yang bersifat online, maka ‘serah terima’ atau ‘al-Qabdhu’ bersifat hukmiyah, bukan hissiyah (secara fisik). ‘Al-Qabdhu al-Hukmiyah’ pada jual beli Dollar-Rupiah terjadi, jika Dollar yang dijual sudah masuk ke rekening pembeli dan Rupiah yang dibeli sudah masuk ke rekening penjual.

Di antara keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islami di Jeddah no: 6/4/55 adalah:

من صور القبض الحكمي: إذا أودع في حساب العميل مبلغا من المال مباشرة أو بحوالة مصرفية،

“Termasuk contoh ‘serah terima’ secara hukmiyah adalah jika seseorang meletakkan sejumlah uang ke dalam rekening pebisnis baik secara langsung ataupun melalui cek..dst.” (Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islami: 6/592).

Kelima: transaksi Forex yang diperbolehkan adalah transaksi SPOT. Sedangkan yang lainnya seperti Forward dan sebagainya tidak boleh.

Spot adalah transaksi jual beli valas yang penyerahannya 2 hari kerja setelah tanggal transaksi. Jadi dalam tranksasi spot terdapat 2 tanggal yaitu tanggal transaksi (deal date) dan tanggal penyerahan/ penerimaan (value date).

Forward mirip dengan spot, perbedaan yang mendasar adalah di jangka waktu, jika dalam spot 2 hari kerja, forward lebih dari 2 hari kerja, biasanya satu minggu, satu bulan, 3 bulan, 6 bulan dan jika kondisi ekonomi dan politik di negara tersebut sedang stabil bisa 1 tahun.

Sedangkan swap adalah gabungan antara transaksi spot dan forward, artinya transaksi jual beli valas dimana pembelian dilakukan secara spot dan penjualan secara forward, pada bank yang sama dan dalam waktu yang bersamaan. Atau sebaliknya penjualan tunai dengan pembelian kembali secara berjangka. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kepastian kurs (kurs bersifat tetap selama kontrak), sehingga dapat menghindari kerugian selisih kurs. (https://retizen.republika.co.id/posts/43076/memahami-cara-kerja-trading-forex-apakah-haram#).

Transaksi spot merupakan cara tercepat untuk menukar mata uang. Dalam transaksi spot, mata uang dipertukarkan selama periode dua hari, yang berarti tidak ada kontrak yang ditandatangani antar negara. Nilai tukar di mana mata uang dipertukarkan disebut nilai tukar Spot. (https://belajartrading.co.id/stage-4-kapan-trading-forex/read/pasar-forex-dan-jenis-transaksi-berdasarkan-kesepakatan-waktu).

Ibnu Umar radhiyallahu anhuma bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أَبِيعُ الْإِبِلَ بِالْبَقِيعِ فَأَبِيعُ بِالدَّنَانِيرِ وَآخُذُ الدَّرَاهِمَ وَأَبِيعُ بِالدَّرَاهِمِ وَآخُذُ الدَّنَانِيرَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا بَأْسَ أَنْ تَأْخُذَهَا ‌بِسِعْرِ ‌يَوْمِهَا، مَا لَمْ تَتَفَرَّقَا وَبَيْنَكُمَا شَيْءٌ

“Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku berjualan unta di Baqi’. Maka aku menjual unta dengan beberapa Dinar kemudian aku mengambil beberapa Dirham. Dan aku menjual unta dengan beberapa Dirham kemudian aku mengambil beberapa Dinar. Aku mengambil ini dari ini dan memberikan ini kepada ini.” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Tidak apa-apa kamu mengambilnya dengan harga hari itu, selagi kalian berdua belum berpisah. Sedangkan di antara kalian berdua ada sesuatu.” (HR. Abu Dawud: 2911, An-Nasai: 4506, At-Tirmidzi: 1163, Ibnu Majah: 2253, Ahmad: 5959. Hadits ini di-shahih-kan oleh Al-Hakim dalam Mustadraknya: 2285 (2/50) dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Sedangkan Al-Allamah Al-Albani men-dhaif-kan yang marfu’ dan meng-hasan-kan yang mauquf atas ucapan Ibnu Umar. Lihat Irwa’ul Ghalil: 5/173-175).

Hadits di atas menunjukkan bolehnya Transaksi SPOT dalam Forex trading. Dalam hadits di atas, batasan penyelesaian transaksi ‘Tunai’ maksimal satu hari. Sedangkan dalam transaksi SPOT memakan waktu dua hari karena rumitnya transaksi.

Al-Allamah Ibnul Malak al-Hanafi (wafat tahun 854 H) rahimahullah menyatakan:

‌بسعر ‌يومها: أي بلا ربح

“Maksud ucapan “dengan harga hari itu” adalah tanpa mengambil keuntungan dengan selisihnya waktu.” (Syarh al-Mashabih li Ibn al-Malak: 3/433).

Keenam: Transaksi SPOT masih dianggap sebagai transaksi tunai dan ‘Taqabudh’ meskipun waktu penyelesaiannya dua hari, karena waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional. (Fatwa DSN MUI Nomor: 28/DSN-MUI/III/2002).

Al-Imam Abu Sulaiman al-Khaththabi asy-Syafi’i (wafat tahun 388 H) rahimahullah berkata:

لأنه إنما يُراد به ‌التقابض، والتقابض منْ حيث لا يشقّ، ولا ‌يتعذّر، دون التصارف، والترابح

“Ini karena yang dimaksud dari hadits di atas adalah adanya unsur ‘Taqabudh’ (transaksi tunai tidak tertunda, pen). Dan ‘Taqabudh’ itu terjadi ketika tidak ada keberatan dan kesulitan, tanpa pertukaran uang dan saling mengambil keuntungan.” (Ma’alim as-Sunan: 3/74).

Sedangkan pada pasar SPOT, para pedagang tidak mengambil keuntungan dari perbedaan kurs mata uang dengan selisihnya hari, karena harga saat deal sama dengan harga saat respon sistem. Dalam transaksi spot biasanya penyerahan valas ditetapkan 2 hari kerja berikutnya. Misalnya kontrak jual beli valas ditutup tanggal 10 (harga deal) maka penyerahannya dilakukan tanggal 12 (harga saat respon), namun apabila tanggal 12 hari minggu atau hari libur negara asal (home countries), maka penyerahan dapat dilakukan pada hari berikutnya (eligible date) tanggal penyerahan seperti ini disebut value date. (https://www.ensikloblogia.com/2016/05/jenis-jenis-transaksi-valuta-asing-valas.html).

Ketujuh: Adapun Transaksi FORWARD dan SWAP, maka tidak boleh karena termasuk ‘Jual Beli Gharar’ (transaksi yang tidak jelas, pen).

Al-Allamah Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata:

وذلك بشرط قبض عوضه قبل التفرق. لقوله صلى الله عليه وسلم: «لا بأس أن تأخذها ‌بسعر ‌يومها ما لم تتفرقا وبينكما شيء» رواه الخمسة. وإن كان على غيره لا يصح. لأنه من ‌الغرر

“Transaksi valuta dipersyaratkan serah terima sebelum berpisah, karena sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Tidak apa-apa kamu mengambilnya dengan harga hari itu, selagi kalian berdua belum berpisah. Sedangkan di antara kalian berdua ada sesuatu.” (HR. Imam Lima). Jika selain hari itu, maka transaksinya tidak sah, karena termasuk jual beli Gharar.” (Minhaj as-Salikin wa Taudhih al-Fiqh fi ad-Dien: 122).

Yang demikian karena transaksi SWAP, FUTURE dan OPTION termasuk ‘Transaksi Ijon’. Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى تُزْهِيَ، فَقِيلَ لَهُ: وَمَا تُزْهِي؟ قَالَ: حَتَّى تَحْمَرَّ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَرَأَيْتَ إِذَا مَنَعَ اللَّهُ الثَّمَرَةَ، بِمَ يَأْخُذُ أَحَدُكُمْ مَالَ أَخِيهِ

“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang menjual buah-buahan hingga sempurna. Ada yang bertanya: “Apa tanda sempurnanya?” Beliau menjawab: “Ia menjadi merah.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Coba kamu renungkan, bagaimana sekiranya Allah mencegah kurma menjadi masak hanya karena salah seorang diantara kalian mengambil harta saudaranya!” (HR. Al-Bukhari: 2198).

Al-Allamah Najmuddin Ibnur Rif’ah asy-Syafi’i (wafat tahun 710 H) rahimahullah berkomentar:

فمنع من المطالبة بالثمن لتلف الثمرة قبل القبض، ونبه به على [كل] مبيع تلف قبل القبض

“Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang menuntut uang atau harga karena rusaknya buah sebelum diserahterimakan (dalam transaksi ijon, pen). Dan beliau memperingatkan dengan hadits ini atas setiap barang jualan yang rusak (seperti jatuhnya harga valas, pen) sebelum diserahterimakan (seperti dalam transaksi Future dan Swap, pen).” (Kifayah an-Nabih fi Syarh at-Tanbih: 8/427).

Arisan Pegawai

Arisan adalah kegiatan mengumpulkan uang atau barang yang bernilai sama oleh beberapa orang kemudian diundi di antara mereka untuk menentukan siapa yang memperolehnya, undian dilaksanakan dalam sebuah pertemuan secara berkala sampai semua anggota memperolehnya. (https://kbbi.web.id/arisan).

Dalam arisan tidak ada aturan tertentu. Para peserta hanya membayar per bulan sesuai dengan kesepakatan. Dengan kesepakatan orang yang menerima arisan berdasarkan hasil undian. Tabungan bagi anggota arisan tersebut tidak bersifat wajib. Semua anggota dapat meminjam tabungan arisan apabila memerlukan dana dengan cara berutang. Uang yang digunakan untuk berutang adalah sisa dari pembelian barang yang diberikan kepada peserta arisan dan merupakan uang dari kas. (https://id.wikipedia.org/wiki/Arisan).

Jawaban:

Dalam bahasa Arab, arisan disebut dengan ‘Jum’iyyah al-Muwazhzhafiin’. Sedangkan  pada abad 9 Hijriyah disebut dengan ‘al-Jumat’.

Hukum arisan ini diperbolehkan karena di dalamnya terdapat unsur tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. Dalam fikih mu’amalah, Arisan dimasukkan dalam akad ‘al-Qardh at-Ta’awuni’.

Al-Allamah Syihabuddin Ahmad bin Salamah al-Qalyubi asy-Syafi’i (wafat tahun 1069 H) rahimahullah berkata:

‌الْجُمُعَةُ ‌الْمَشْهُورَةُ بَيْنَ النِّسَاءِ بِأَنْ تَأْخُذَ امْرَأَةٌ مِنْ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْ جَمَاعَةٍ مِنْهُنَّ قَدْرًا مُعَيَّنًا فِي كُلِّ جُمُعَةٍ أَوْ شَهْرٍ وَتَدْفَعُهُ لِوَاحِدَةٍ بَعْدَ وَاحِدَةٍ، إلَى آخِرِهِنَّ جَائِزَةٌ كَمَا قَالَهُ الْوَلِيُّ الْعِرَاقِيُّ

“(Arisan yang dikenal dengan istilah) ‘Jumat’ yang masyhur di kalangan wanita, dengan gambaran bahwa tiap wanita dalam perkumpulan itu menyerahkan sejumlah uang tertentu setiap Jumat atau setiap bulan, kemudian uang yang terkumpul diberikan kepada wanita anggota tersebut satu per satu tiap Jumat secara bergiliran sampai pada giliran terakhir, maka hukumnya adalah Jaiz (diperbolehkan), sebagaimana pendapat Waliyuddin al-Iraqi.” (Hasyiyata al-Qalyubi wa Umairah: 2/321).

Al-Allamah Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah juga pernah ditanya tentang hukum ‘Jum’iyyah al-Muwazhzhafin’ atau ‘arisan’ dan beliau menjawab:

‌ليس ‌في ‌ذلك ‌بأس، ‌وهو ‌قرض ‌ليس ‌فيه ‌اشتراط ‌نفع ‌زائد ‌لأحد، وقد نظر في ذلك مجلس هيئة كبار العلماء فقرر بالأكثرية جواز ذلك؛ لما فيه من المصلحة للجميع بدون مضرة، والله ولي التوفيق

“Tidak apa-apa yang demikian. Itu termasuk aqad Qardh dengan tanpa syarat pemberian manfaat tambahan bagi siapapun. Majelis Ulama Kibar menetapkan berdasarkan keputusan mayoritas anggota tentang bolehnya akad tersebut, karena adanya kemaslahatan bagi seluruh anggota arisan tanpa memberikan bahaya. Wallahu waliyyut taufiq.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah: 19/308).

Adanya ‘undian’ di dalam penentuan orang-orang yang memperoleh ‘arisan’ bukanlah jual-beli ‘Gharar’ atau tidak jelas, karena ‘arisan’ adalah aqad ‘al-Qardh’ (hutang-piutang) yang bersifat membantu kaum muslimin, bukan akad ‘al-Mu’awadhat’ (jual-beli). Di dalam aqad Qiradh lebih banyak kelonggaran daripada akad Mu’awadhat’.

Al-Allamah Jamaluddin Abdurrahim al-Isnawi asy-Syafi’i (wafat tahun 772 H) rahimahullah berkata:

والفرق: أن الاحتياط فى عقود ‌المعاوضات أكثر من الاحتياط فى ‌التبرعات

“Perbedaannya adalah bahwa sikap berhati-hati di dalam akad-akad jual beli (muawadhat) itu lebih banyak daripada sikap berhati-hati dalam akad pemberian bantuan (semisal akad al-Qardh, pen).” (Mathali’ ad-Daqa’iq fi Tahrir al-Jawami’ wa al-Fawariq: 2/205).

Undian Berhadiah vs Kuis Berhadiah

Dalam dunia perdagangan dewasa ini banyak pula jual beli barang dengan sistem kupon berhadiah untuk kepentingan promosi barang dagangannya. Dengan maksud agar konsumen tertarik dengan barang yang ditawarkan oleh pelaki usaha atau produsen.

Adapun aktivitas dalam undian berhadiah melibatkan penyelenggara. Biasanya pemerintah atau lembaga swasta yang legal mendapatkan izin dari pemerintah. Selain itu ada juga unsur para penyumbang. Yakni orang-orang yang membeli kupon dengan mengharapkan hadiah.

Sedangkan kegiatan pihak penyelenggara undian kupon berhadiah adalah mengedarkan kupon. Salah satu fungsi pengedaran kupon adalah dapat di hitung dana yang diperoleh dari para penyumbang. (https://dalamislam.com/hukum-islam/ekonomi/hukum-undian-dalam-islam).

Pembahasan:

Pertama: melakukan undian tanpa adanya taruhan, diperbolehkan ketika ada beberapa orang yang memperebutkan hak yang sama.

Al-Allamah Sulthan al-Ulama al-Izz bin Abdis Salam asy-Syafi’i (wafat tahun 660 H) rahimahullah berkata:

وَإِنَّمَا شُرِعَتْ ‌الْقُرْعَةُ عِنْدَ ‌تَسَاوِي الْحُقُوقِ دَفْعًا لِلضَّغَائِنِ وَالْأَحْقَادِ، وَلِلرِّضَاءِ بِمَا جَرَتْ بِهِ الْأَقْدَارُ، وَقَضَاهُ الْمَلِكُ الْجَبَّارُ، فَمِنْ ذَلِكَ الْإِقْرَاعُ بَيْنَ الْخُلَفَاءِ عِنْدَ تَسَاوِيهِمْ فِي مَقَاصِدِ الْخِلَافَةِ، وَمِنْ ذَلِكَ الْإِقْرَاعُ بَيْنَ الْأَئِمَّةِ عِنْدَ تَسَاوِيهِمْ فِي مَقَاصِدِ الْإِمَامَةِ، وَمِنْ ذَلِكَ تَقَارُعُهُمْ عَلَى الْأَذَانِ عِنْدَ ‌تَسَاوِي الْمُؤَذِّنِينَ، وَمِنْ ذَلِكَ الْإِقْرَاعُ فِي الصَّفِّ الْأَوَّلِ عِنْدَ تَزَاحُمِ الْمُتَسَابِقِينَ

“Undian disyariatkan ketika terjadi kesamaan kepemilikan hak dalam rangka menolak sikap dengki dan iri hati, dan dalam rangka menjalani takdir dan ketentuan Allah Yang Maha Raja lagi Maha Perkasa. Di antaranya adalah undian untuk menentukan khalifah ketika mereka mempunyai kemampuan yang sama dalam kepemimpinan. Di antaranya adalah undian untuk menentukan imam shalat ketika mereka mempunyai kemampuan yang sama untuk menjadi imam. Di antaranya adalah undian untuk menentukan siapa yang adzan ketika para muadzin mempunyai kemampuan yang sama. Di antaranya adalah mengundi siapa yang berhak mendapatkan shaf pertama ketika banyak orang yang berebut shaf awal.” (Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam: 1/90).

Allah ta’ala juga menceritakan bahwa Nabi Zakariya alaihissalam adalah pemenang undian untuk mengasuh Maryam bintu Imran, dalam firman-Nya:

ذلِكَ مِنْ أَنْباءِ الْغَيْبِ نُوحِيهِ إِلَيْكَ وَما كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ ‌يُلْقُونَ ‌أَقْلامَهُمْ أَيُّهُمْ يَكْفُلُ مَرْيَمَ وَما كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يَخْتَصِمُونَ

“Yang demikian itu adalah sebagian dari berita-berita ghaib yang Kami wahyukan kepada kamu (ya Muhammad); padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan anak-anak panah mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan kamu tidak hadir di sisi mereka ketika mereka bersengketa.” (QS. Ali Imran: 44).

Kedua: kuis dan sayembara tanpa adanya taruhan, juga diperbolehkan. Dalam bahasa Fikih, sayembara disebut dengan ‘al-Ju’alah’.

Al-Allamah Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Khathib asy-Syirbini asy-Syafi’i (wafat tahun 977 H) rahimahullah berkata:

‌‌فصل فِي ‌الْجعَالَة وجيمها مُثَلّثَة كَمَا قَالَه ابْن مَالك وَهِي لُغَة اسْم لما يَجْعَل للْإنْسَان على فعل شَيْء وَشرعا الْتِزَام عوض مَعْلُوم على عمل معِين مَعْلُوم أَو مَجْهُول عسر علمه

“Pasal tentang ‘al-Ju’alah’, secara bahasa adalah nama untuk sesuatu yang dijadikan bagi manusia atas perbuatan sesuatu. Sedangkan secara syar’i adalah menetapkan ganti (baca: upah atau hadiah, pen) yang diketahui atas perbuatan tertentu yang telah diketahui atau tidak diketahui tetapi sulit dilakukan.” (Al-Iqna’ fi Hilli Alfazh Abi Syuja’: 2/353).

Al-Allamah Baha’uddin Abdurrahman al-Maqdisi al-Hanbali (wafat tahun 624 H) rahimahullah berkata:

‌‌باب ‌الجعالة وهي أن يقول: من رد لقطتي أو ضالتي أو بنى لي هذا الحائط فله كذا

“Bab ‘al-Ju’alah’, yaitu seseorang menyatakan: “Barangsiapa berhasil mengembalikan barangku yang hilang, atau berhasil membangun tembok ini untukku, maka ia akan mendapatkan sekian dan sekian (Dirham, pen)..dst.” (Al-Uddah Syarh al-Umdah: 287).

Diantara dalil bolehnya ‘al-Ju’alah’ adalah ayat:

قالُوا نَفْقِدُ صُواعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ ‌حِمْلُ ‌بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ

“Penyeru-penyeru itu berkata: “Kami kehilangan piala raja, dan barangsiapa yang dapat mengembalikannya, maka akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.” (QS. Yusuf: 72).

Di antara dalilnya adalah hadits tentang ‘Ruqyah’. Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu anhu berkata:

فَقَالَ بَعْضُهُمْ: نَعَمْ، وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرْقِي، وَلَكِنْ وَاللَّهِ لَقَدِ اسْتَضَفْنَاكُمْ فَلَمْ تُضَيِّفُونَا، فَمَا أَنَا بِرَاقٍ لَكُمْ حَتَّى ‌تَجْعَلُوا ‌لَنَا ‌جُعْلًا، فَصَالَحُوهُمْ عَلَى قَطِيعٍ مِنَ الغَنَمِ، فَانْطَلَقَ يَتْفِلُ عَلَيْهِ، وَيَقْرَأُ: الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ فَكَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ فَانْطَلَقَ يَمْشِي وَمَا بِهِ قَلَبَةٌ، قَالَ: فَأَوْفَوْهُمْ جُعْلَهُمُ الَّذِي صَالَحُوهُمْ عَلَيْهِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: اقْسِمُوا، فَقَالَ الَّذِي رَقَى: لَا تَفْعَلُوا حَتَّى نَأْتِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَذْكُرَ لَهُ الَّذِي كَانَ، فَنَنْظُرَ مَا يَأْمُرُنَا، فَقَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرُوا لَهُ، فَقَالَ: «وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ»، ثُمَّ قَالَ: «قَدْ أَصَبْتُمْ، اقْسِمُوا، وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ سَهْمًا» فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Maka seorang dari rombongan berkata: “Ya, demi Allah aku akan mengobati namun demi Allah kemarin kami meminta untuk menjadi tamu kalian namun kalian tidak berkenan maka aku tidak akan menjadi orang yang mengobati kecuali bila kalian memberi upah. Akhirnya mereka sepakat dengan imbalan puluhan ekor kambing. Maka dia berangkat dan membaca Alhamdulillah rabbil ‘alamiin (QS. Al-Fatihah) seakan penyakit lepas dari ikatan tali padahal dia pergi tidak membawa obat apapun. Dia berkata: “Maka mereka membayar upah yang telah mereka sepakati kepadanya. Seorang dari mereka berkata: “Bagilah kambing-kambing itu!” Maka orang yang mengobati berkata: “Jangan kalian bagikan hingga kita temui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu kita ceritakan kejadian tersebut kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan kita tunggu apa yang akan Beliau perintahkan kepada kita”. Akhirnya rombongan menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu mereka menceritakan peristiwa tersebut. Beliau berkata: “Kamu tahu dari mana kalau Al Fatihah itu bisa sebagai ruqyah (obat)?” Kemudian Beliau melanjutkan: “Kalian telah melakukan perbuatan yang benar, maka bagilah upah kambing-kambing tersebut dan masukkanlah aku dalam sebagai orang yangmenerima upah tersebut”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertawa.” (HR. Al-Bukhari: 2276 dan at-Tirmidzi: 2064).

Ketiga: jika undian dan sayembara disertai ‘taruhan’, maka hukumnya menjadi perjudian. Taruhan dalam bahasa syariat disebut ‘al-Qimar’. Disebut taruhan, karena masing-masing peserta undian berhadiah atau kuis, menyetor uang untuk ikut undian.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat tahun 728 H) rahimahullah menyatakan:

إذْ ‌الْقِمَارُ مَعْنَاهُ أَنْ يُؤْخَذَ مَالُ الْإِنْسَانِ وَهُوَ عَلَى مُخَاطَرَةٍ هَلْ يَحْصُلُ لَهُ عِوَضُهُ أَوْ لَا يَحْصُلُ

“Qimar (taruhan) maknanya adalah diambilnya uang manusia (peserta undian, pen) sedangkan ia di atas risiko, apakah ia berhasil mendapatkan ganti hadiah ataukah gagal.” (Majmu’ al-Fatawa: 19/283).

Al-Allamah al-Mulla Ali al-Qari al-Hanafi (wafat rahimahullah juga menjelaskan:

وَالْقِمَارُ فِي عُرْفِ زَمَانِنَا ‌كُلُّ ‌لَعِبٍ ‌يُشْتَرَطُ ‌فِيهِ غَالِبًا أَنْ يَأْخُذَ الْغَالِبُ مِنَ الْمُلَاعِبِينَ شَيْئًا مِنَ الْمَغْلُوبِ

“Qimar menurut pengertian jaman kita adalah setiap permainan yang secara umum, mempersyaratkan bahwa pemenang mengambil sesuatu bagian dari pihak yang kalah.” (Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih: 6/2389).

Di antara dalil yang melarang ‘undian’ adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

مَنْ حَلَفَ فَقَالَ فِي حَلِفِهِ: وَاللَّاتِ وَالعُزَّى، فَلْيَقُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَمَنْ قَالَ لِصَاحِبِهِ: ‌تَعَالَ ‌أُقَامِرْكَ، فَلْيَتَصَدَّقْ

“Barang siapa yang bersumpah dan berkata; “Demi Laata dan Uzza maka hendaknya ia mengatakan; Laa Ilaaha Illallaah. Dan barang siapa yang berkata kepada sahabatnya kemarilah saya bertaruh denganmu, maka hendaknya ia bersedekah.” (HR. Al-Bukhari: 4860, Muslim: 1647, Abu Dawud: 3247 dan at-Tirmidzi: 1545 dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu).

Uang untuk taruhan bisa berupa pembelian kupon di supermarket, bisa berupa atau include pembelian makanan dan minuman yang dalam bungkusnya terdapat undian berhadiah dan sebagainya.

Koperasi Konvensional vs Koperasi Syariah

Secara umum, koperasi merupakan sebuah organisasi ekonomi atau badan usaha yang dimiliki dan dioperasikan oleh para anggotanya untuk memenuhi kepentingan ekonomi bersama. Biasanya organisasi ini dibangun atas asas kekeluargaan. Berdasarkan fungsinya, koperasi dapat dibagi menjadi koperasi produksi, koperasi konsumsi, koperasi jasa, koperasi simpan pinjam, dan koperasi usaha. Setiap koperasi ini memiliki prinsip dasar yang sama. Namun, saat ini Indonesia juga mengenal koperasi syariah. Koperasi syariah ini merupakan sebuah badan usaha serupa dengan koperasi konvensional namun memiliki prinsip, tujuan, dan kegiatan usaha yang berbeda. (https://www.kanjabung.com/koperasi-konvensional-vs-koperasi-syariah/).

Koperasi syariah merupakan koperasi yang berdasarkan pada prinsip syariah atau prinsip agama islam. Pada prinsip ini melarang adanya system bunga (riba) yang memberatkan nasabah, maka koperasi syariah berdiri berdasarkan kemitraan pada semua aktivitas atas dasar kesetaraan dan keadilan.

Pada aspek pembiayaan, Koperasi konvensional memberikan bunga pada setiap nasabah sebagai keuntungan koperasi. Sedangkan pada koperasi syariah, bagi hasil adalah cara yang diambil untuk melayani para nasabahnya.

Aspek pengawasan yang diterapkan pada koperasi konvensional adalah pengawasan kinerja pengurus dalam mengelola koperasi. Berbeda dengan koperasi syariah, selain diawasi pada pengawasan kinerjanya, tetapi juga pengawasan syariah. Prinsip-prinsip syariah sangat dijunjung tinggi, maka dari itu kejujuran para intern koperasi sangat diperhatikan pada pengawasan ini, bukan hanya pengurus, tetapi aliran dana serta pembagian hasil tidak luput dari pengawasan. (https://initu.id/perbedaan-koperasi-syariah-dan-koperasi-konvensional/).

Untuk aspek penyaluran produk, pada koperasi konvensional terdapat sistem kredit atau peminjaman barang pada produknya. Hal ini memungkinkan peminjam atau nasabah untuk meminjam dana dan kemudian mengembalikannya beserta dengan bunga pinjaman. Koperasi konvensional tidak memiliki urusan untuk mengetahui apakah uang atau barang yang digunakan tersebut mendatangkan kerugian atau keuntungan. Tanpa kecuali, para nasabah harus mengembalikan uang sebesar yang dipinjam ditambah bunga yang telah ditetapkan pada ART.

Pada koperasi syariah, aktivitas ini sedikit berbeda. Koperasi ini tidak mengkreditkan barang-barangnya, melainkan menjual secara tunai. Transaksi jual beli ini juga dikenal dengan nama murabahah. Kemudian uang atau barang yang dipinjamkan kepada para nasabah pun tidak dikenakan bunga, melainkan bagi hasil, artinya jika nasabah mengalami kerugian, koperasi akan turut serta mendapatkan pengurangan pengembalian uang, dan sebaliknya. Ini merupakan salah satu bagi hasil yang diterapkan pada koperasi syariah.

Koperasi konvensional tidak menjadikan usahanya sebagai penerima dan penyalur zakat, sedangkan koperasi syariah, zakat dianjurkan bagi para nasabahnya, karena koperasi ini juga berfungsi sebagai institusi Ziswaf. (https://www.finansialku.com/koperasi-konvensional-vs-syariah/).

Pembahasan:

Pertama: dari segi akad antar anggota koperasi Syariah. Akad antar anggota koperasi berupa Akad Syirkah Inan.

Al-Allamah Mar’i bin Yusuf al-Karami al-Maqdisi al-Hanbali (wafat tahun 1033 H) rahimahullah berkata:

‌شركة ‌العنان وهي: أن يشترك اثنان فأكثر في مال يتجران فيه ويكون الربح بينهما بحسب ما يتفقان

“Syirkah Inan, yaitu dua orang atau lebih yang bersekutu dalam sebuah harta, yang mana mereka membuat usaha dagang dengan harta tersebut. Dan keuntungannya dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan.” (Dalil ath-Thalib li Nail al-Mathalib: 155).

Al-Allamah Manshur bin Yunus al-Buhuti al-Hanbali (wafat tahun 1051 H) rahimahullah berkata:

‌سُمِّيت ‌بذلك؛ ‌لتساوي ‌الشَّريكين ‌في ‌المالِ ‌والتَّصرفِ، كالفارسَيْن إذا استويَا بين فرسَيْهِما وتساويَا في السَّيْرِ

“Disebut ‘Syirkah Inan’ karena masing-masing anggota syirkah mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam harta dan pengelolaan, seperti dua ekor kuda yang sama kekuatan dan perjalanannya.” (Ar-Raudh al-Murbi’ bi Syarh Zaad al-Mustaqni’: 2/364).

Modal harta pada koperasi berupa simpanan wajib dan simpanan pokok anggota. Sedangkan keuntungannya dibagi tiap tahun dengan bentuk SHU (Sisa Hasil Usaha).

Kedua: dari segi usaha koperasi syariah. Usaha koperasi syariah adalah semua jenis perdagangan yang dihalalkan oleh Allah ta’ala, serta menjauhi Riba seperti memberikan pinjaman berbunga.

Allah ta’ala berfirman:

‌وَأَحَلَّ ‌اللَّهُ ‌الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275).

Al-Imam Ibnu Jarir ath-Thabari (wafat tahun 310 H) rahimahullah berkata:

يعني جل ثناؤه: وأحلّ الله الأرباح في ‌التجارة والشراء والبيع وحرّم الربا، يعني الزيادةَ التي يزاد رب المال بسبب زيادته غريمه في الأجل، وتأخيره دَيْنه عليه

“Maksudnya adalah bahwa Allah menghalalkan keuntungan dalam perdagangan, penjualan dan pemebelian. Maksud ‘Allah mengharamkan riba’ adalah tambahan yang dipungut oleh pemilik harta karena orang yang berhutang terlambat membayar hutang.” (Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Ayi al-Quran: 6/13).

Jenis perdagangan halal yang diusahakan oleh koperasi syariah meliputi ‘al-Bai’, Mudharabah, Murabahah, Ijarah dan sebagainya. Akad-akad tersebut digunakan pada obyek bisnis yang tidak bertentangan dengan syariah seperti perjudian, usaha miras, karaoke dan sebagainya. Selain itu, koperasi syariah juga tidak memberikan pinjaman berbunga.

Ketiga: sebagai pengganti akad al-Qardh ar-Ribawi (pinjaman berbunga) pada koperasi konvensional, terdapat alternatif ‘Bai’ al-Murabahah’ (jual beli saling mengambil laba) dalam koperasi syariah.

Al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali (wafat tahun 620 H) rahimahullah menerangkan:

معنى بَيْعِ ‌المُرَابَحَةِ، هو البَيْعُ بِرَأْسِ المالِ ورِبْحٍ مَعْلُومٍ، ويُشْتَرَطُ عِلْمُهُما بِرَأْسِ المالِ، فيقول: رأسُ مالِي فيه، أو هو عَلَيَّ بمائةٍ بِعْتُكَ بها، ورِبْحُ عشرةٍ، فهذا جائِزٌ لا خِلَافَ في صِحَّتِه، ولا نَعْلَمُ فيه عندَ أحَدٍ كَرَاهةً

“Pengertian Jual Beli ‘Murabahah’ adalah jual beli dengan modal (harga pokok barang, pen) dan laba (margin) yang sudah diketahui. Disyaratkan masing-masing pihak (penjual dan pembeli, pen) mengetahui jumlah modal (harga pokok barang, pen). Maka penjual berkata: “Modalku adalah 100 (Dirham) yang akan aku jual kepadamu. Dan aku minta laba 10 (Dirham).” Maka ini hukumnya boleh, dan tidak ada perselisihan ulama di dalamnya. Kami belum mengetahui ada ulama yang membencinya.” (Al-Mughni fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani: 6/266).

Sebagai contoh akad Murabahah adalah bahwa seorang penjahit membutuhkan mesin jahit tipe A seharga Rp. 2 juta. Lalu ia datang ke koperasi Syariah untuk mengadakan akad Murabahah. Maka koperasi tersebut membelikan mesin jahit tipe A seharga Rp. 2 juta. Kemudian koperasi tersebut menjual mesin jahit kepada si penjahit dengan harga Rp. 2,2 juta dengan diangsur lima kali.

Sedangkan pada koperasi konvensional, si penjahit diberi pinjaman uang Rp. 2 juta untuk membeli mesin jahit tipe A. Lalu si penjahit harus membayar pinjaman tersebut sebesar Rp. 2,2 juta dengan diangsur lima. Ini adalah akad al-Qardh ar-Ribawi.

KPR atau Kredit Kepemilikan Rumah

KPR yang ditawarkan di bank konvensional, bukan bank syariah, kompensasinya adalah bunga dengan mekanisme di mana bank akan memberikan pinjaman kepada nasabah untuk membeli rumah dan nasabah akan mengangsur pinjaman tersebut sesuai dengan tenor yang disepakati. Adapun sertifikat tanah dan bangunan di atasnya, akan dijadikan agunan dari pinjaman tersebut. Tenor yang ditawarkan memang bermacam-macam, namun untuk pembelian/pengadaan rumah, tenor hutang bisa sampai 10 atau 15 tahun. (https://www.hukumonline.com/klinik/a/kredit-pemilikan-rumah–apakah-termasuk-riba-lt5edf788624216).

Sedangkan KPR Syariah adalah pembiayaan jangka pendek, menengah, atau panjang untuk pembelian rumah tinggal, baik baru atau bekas dengan menerapkan prinsip/akad (murabahah) atau dengan akad lainnya.

Pembiayaan rumah dengan metode syariah kian digemari karena memberikan solusi pinjaman dana untuk membeli atau melakukan renovasi rumah dengan mengikuti syariat Islam sehingga menjadikannya bebas riba. Salah satu keunggulannya adalah tidak ada pengenaan bunga sehingga cicilannya tetap sampai dengan berakhirnya masa angsuran KPR. Nah dalam proses pengajuannya, KPR Syariah bisa didapatkan melalui bank syariah atau langsung melalui pengembang. (https://lifepal.co.id/media/kpr-syariah/0).

Pembahasan:

Pertama: akad KPR adalah akad ‘Bai’ al-Murabahah li al-Amir bi asy-Syira’ atau akad jual beli Murabahah berdasarkan pesanan dari calon pembeli. Disebutkan dalam ‘Situs al-Islam Su’al wa Jawab’:

المقصود بــ (بيع المرابحة للآمر بالشراء): هو أن يرغب شخصٌ في سلعة معينة -كسيارة أو عقار أو جهاز معين-؛ فيذهب إلى شخص أو مؤسسة أو مصرف، فيحدد له السلعة المطلوبة، ويَعِدُهُ أن يشتريها منه بعد شرائه لها بربح يتفقان عليه

“Yang dimaksud dengan ‘Bai’ al-Murabahah li al-Amir bi asy-Syira’ adalah jika seseorang ingin mempunyai suatu barang (semisal: mobil, atau rumah dan tanah, atau peralatan tertentu), kemudian ia datang ke seseorang atau suatu lembaga keuangan atau bank, lalu ia memerintahkan kepada lembaga tersebut agar membeli barang (baca: rumah) yang ia kehendaki, dan ia berjanji kepada lembaga tersebut untuk membeli barang atau rumah setelah dibeli oleh lembaga tersebut dari pemilik semula, dengan keuntungan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.” (https://islamqa.info/ar/researches/2/).

Kedua: di antara dalil bolehnya ‘Bai’ al-Murabahahsecara umum adalah hadits Aisyah radhiyallahu anha yang menceritakan bahwa Abu Bakar radhiyallahu anhu membelikan unta untuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam agar dinaiki ketika hijrah ke Madinah. Aisyah berkata:

قَالَ أَبُو بَكْرٍ: فَخُذْ بِأَبِي أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَى رَاحِلَتَىَّ هَاتَيْنِ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: ‌بِالثَّمَنِ، قَالَتْ عَائِشَةُ: ‌فَجَهَّزْنَاهُمَا أَحَثَّ الْجَهَازِ

“Abu Bakar berkata: “Silakan diambil salah satu dari kedua untaku ini, wahai Rasulullah.” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab: “Dengan harga.” Asiyah berkata: “Maka kami persiapkan kedua unta tersebut dengan cepat-cepat.” (HR. Al-Bukhari: 3905 dan Ahmad: 25626).

Al-Allamah Syihabuddin al-Qasthalani asy-Syafi’i (wafat tahun 923 H) rahimahullah berkomentar:

بالثمن أي لا آخذ إلا ‌بالثمن، وعند الواقدي أن الثمن كان ثمانمائة

“Maksud ucapan beliau “dengan harga” adalah bahwa aku tidak mengambil unta ini kecuali dengan harga. Dan menurut al-Waqidi harganya adalah 800 Dirham.” (Irsyad as-Sari li Syarh Shahih al-Bukhari: 6/217).

Bahkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri juga pernah melakukan jual beli ‘Murabahah’. Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata:

‌قَدِمَتْ ‌عِيرٌ ‌الْمَدِينَةَ، فَاشْتَرَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا ( مَتَاعًا فَبَاعَهُ ) فَرَبِحَ أَوَاقِيَّ، فَقَسَمَهَا فِي أَرَامِلِ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، وَقَالَ: ” لَا أَشْتَرِي شَيْئًا لَيْسَ عِنْدِي ثَمَنُهُ

“Rombongan kafilah dagang datang ke Madinah. Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam membeli barang-barang dari mereka lalu menjualnya kembali dengan untung beberapa Uqiyah perak. Kemudian beliau membagibagikan uang tersebut kepada janda-janda Bani Abdul Muthalib. Beliau bersabda: “Aku tidak akan membeli sesuatu yang mana aku belum mempunyai uangnya.” (HR. Ahmad: 2093 dan ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani al-Atsar: 2955 (2/3). Perawinya di-tsiqat-kan oleh al-Haitsami dalam al-Majma’: 6535 (4/110). Isnadnya di-shahih-kan oleh al-Aini dalam Nukhbah al-Afkar: 7/480 dan juga Ahmad Syakir dalam Tahqiq Musnad. Tetapi hadits ini di-dhaif-kan oleh al-Albani dalam Silsilah adh-Dhaifah wal Maudhuah: 4766 (10/309)).

Hadits-hadits di atas menunjukkan bolehnya ‘Bai’ al-Murabahah’ secara umum. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menyatakan;

وَقَالَ الْجُمْهُورُ لِلْبَائِعِ أَنْ يَحْسِبَ فِي الْمُرَابَحَة جَمِيع مَا صَرَفَهُ وَيَقُولُ قَامَ عَلَيَّ بِكَذَا

“Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa boleh bagi penjual dengan akad ‘Murabahah’ untuk memperhitungkan biaya yang ia keluarkan dalam proses tersebut (seperti: biaya makelar, biaya kendaraan, biaya admin, dsb) dan ia berkata: “Aku habis ongkos sekian.” (Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari: 4/407).

Ketiga: adapun akad ‘Bai’ al-Murabahah li al-Amir bi asy-Syira’ seperti pada KPR, maka terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama as-Salaf.

Al-Imam Abu Bakar Ibnul Mundzir an-Naisaburi (wafat tahun 319 H) rahimahullah bertkata:

واختلفوا في الرجل يقول ‌للرجل: ‌اشتر ‌سلعة ‌كذا ‌وكذا، حتى أربحك فيها كذا وكذا. فكره ذلك قوم، ونهوا عنه، كره ذلك ابن عمر، وابن المسيب، وابن سيرين، والحسن، والنخعي، وقتادة، وعبيد الله بن الحسن، وأحمد، وإسحاق. وكان القاسم بن محمد، وحميد الطويل لا يريان بذلك بأساً. وكان الشافعي يجيز هذا البيع، إذا كان العقد صحيحاً، لا شرط فيه. وكان مالك يكره ذلك ولا يفسخ البيع

“Para ulama berbeda pendapat tentang seseorang yang memerintahkan orang lain: “Belilah barang itu. Lalu aku membeli barang tersebut darimu dengan laba sekian Dirham. Sebagian ulama membenci akad seperti itu dan melarangnya. Di antara mereka yang membencinya Ibnu Umar, Ibnul Musasyyib, Ibnu Sirin, al-Hasan al-Bashri, an-Nakhai, Qatadah, Ubaidullah bin Hasan, Ahmad dan Ishaq. Sedangkan al-Qasim bin Muhammad dan Hamid ath-Thawil membolehkannya. Adapun asy-Syafi’i, maka beliau memperbolehkannya jika akadnya sah dan tidak ada syarat (kewajiban) untuk dibeli. Sedangkan Malik membenci akad tersebut tetapi tidak menganggap batalnya jual beli.” (Al-Isyraf ala Madzhahib al-Ulama al-Asyraf: 6/134).

Keempat: solusi dari poin ketiga di atas adalah tidak boleh ada ‘keharusan membeli dari orang yang memerintahkan lembaga yang telah membeli rumah’. Yang boleh hanyalah ‘janji untuk dibeli’. Al-Allamah Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata:

‌الوعد ‌بالشراء ‌ليس ‌شراء، ‌ولكنه ‌وعد ‌بذلك فإذا أراد إنسان شراء حاجة، وطلب من أخيه أن يشتريها ثم يبيعها عليه فلا حرج في ذلك، إذا تم الشراء وحصل القبض ثم باعها بعد ذلك على الراغب في شرائها، لما جاء في الحديث الصحيح عن حكيم بن حزام رضي الله عنه أنه قال: يا رسول الله يأتيني الرجل يريد السلعة، وليس عندي أفأبيعها عليه، ثم أذهب فأشتريها. فقال النبي صلى الله عليه وسلم: «لا تبع ما ليس عندك  »

“Berjanji untuk membeli bukanlah termasuk akad jual beli. Akan tetapi hanya sekedar janji saja. Jika seseorang ingin membeli suatu barang karena ada kebutuhan, dan ia meminta saudaranya untuk membeli barang tersebut, lalu menjual barang tersebut kepada dirinya, maka tidak apa-apa jika akad jual beli (yang pertama) telah sempurna dan telah terjadi proses ‘al-Qabdh’ (serah terima). Kemudian ia menjualnya lagi kepada orang yang ingin membelinya, karena terdapat hadits shahih dari Hakim bin Hizam radhiyallahu anhu bahwa ia berkata: “Wahai Rasulullah, seseorang datang kepadaku dan ingin sesuatu barang. Dan aku masih belum mempunyai barang. Bolehkah aku menjual barang tersebut kepadanya kemudian aku pergi (ke pasar) untuk membeli barang tersebut?” maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Janganlah menjual apa yang belum jadi milikmu.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalah Mutanawwiah: 19/68).

Proses al-Qabdhu atau serah terima pada jual beli yang pertama adalah penandatanganan akta jual beli rumah antara bank syariah dan pihak pengembang di hadapan notaris. Sedangkan jual beli yang kedua adalah penjualan rumah yang telah dibeli oleh bank syariah, secara kredit kepada nasabah.

Al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali (wafat tahun 620 H) rahimahullah berkata:

‌وقَبْضُ كلِّ شيْءٍ ‌بِحَسَبِهِ…. وإن كان ممَّا لا يُنْقَلُ ويُحَوَّلُ، فقَبْضُهُ التَّخْلِيَةُ بينه وبين مُشْتَرِيه لا حائِلَ دونَه

“Proses al-Qabdhu atau serah terima segala sesuatu itu menurut sifat dan bentuk barang tersebut… jika berupa barang yang tidak bisa dipindah atau diubah (seperti rumah dan tanah, pen), maka proses serah terimanya adalah dengan melepas kepemilikan dari dia (pihak pengembang, pen) kepada pembelinya (yakni: bank syariah, pen), tanpa ada penghalang di antaranya.” (Al-Mughni fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani: 6/186-188).

Kelima: pada akad KPR diharuskan membayar uang muka sesuai dengan aturan pemerintah.

Ketentuan mengenai besaran uang muka KPR telah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/16/PBI/2016. Besaran uang muka yang harus disiapkan untuk rumah pertama sebesar 15%, untuk rumah kedua sebesar 20% dan untuk rumah ketiga sebesar 30%. Sedangkan berdasarkan peraturan terbaru dari Bank Indonesia (BI) besaran uang muka yang dibutuhkan adalah minimal 30% dari harga rumah. (https://www.akseleran.co.id/blog/ini-biaya-biaya-yang-muncul-saat-mengajukan-kpr/).

Uang muka seperti contoh di atas termasuk ‘Urbun’ (persekot yang diperbolehkan). Al-Allamah Muhammad Ibnu Arafah at-Tunisi al-Maliki (wafat tahun 803 H) rahimahullah berkata:

الباجي عن ابن حبيب: العربان الجائز أن يبتاع شيئًا بالخيار فيدفع بعض الثمن مختومًا عليه إن كان لا يعرف بعينه على إن رضي جعله من الثمن وإلا رجع إليه

“Al-Baji dari Ibnu Habib bahwa jual beli ‘Urbun’ (dengan penyertaan uang muka, pen) yang diperbolehkan adalah jika seseorang membeli sesuatu barang dengan khiyar. Maka pembeli menyerahkan sebagian harga barang (sebagai uang muka, pen), jika ia belum mengetahui barang tersebut dengan syarat jika ia ridha atau suka dengan barang tersebut, maka uang tersebut dihitung sebagai bagian dari harga total barang, tetapi jika ia tidak suka, maka uang muka dikembalikan (kepada nasabah).” (Al-Mukhtashar al-Fiqhi li Ibni Arafah: 5/327).

Adapun jika pihak Bank Syariah tidak mau mengembalikan uang muka atau DP kepada nasabah ketika tidak jadi mengambil KPR, maka itu juga tetap diperbolehkan.

Al-Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari (wafat tahun 256 H) rahimahullah berkata:

‌وَاشْتَرَى ‌نَافِعُ ‌بْنُ ‌عَبْدِ ‌الحَارِثِ ‌دَارًا ‌لِلسِّجْنِ بِمَكَّةَ مِنْ صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ عَلَى أَنَّ عُمَرَ إِنْ رَضِيَ فَالْبَيْعُ بَيْعُهُ وَإِنْ لَمْ يَرْضَ عُمَرُ فَلِصَفْوَانَ أَرْبَعُ مِائَةِ دِينَارٍ

“Nafi’ bin Abdul Harits membeli rumah untuk penjara kepada Shafwan bin Umayyah, dengan syarat jika Umar setuju, maka Umar akan membelinya. Dan jika Umar tidak setuju maka Shafwan akan mendapatkan uang 400 Dinar.” (HR. Al-Bukhari secara mu’allaq dengan shighat jazm dalam Shahihnya: 3/123).

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkomentar:

وَكَأَنَّهُ وَقَفَ مَعَ ظَاهِرِ اللَّفْظِ الْمُعَلَّقِ وَلَمْ يَرَ سِيَاقَهُ تَامًّا فَظَنَّ أَنَّ الْأَرْبَعَمِائَةَ هِيَ الثَّمَنُ الَّذِي اشْتَرَى بِهِ نَافِعٌ وَلَيْسَ كَذَلِكَ وَإِنَّمَا كَانَ الثَّمَنُ أَرْبَعَةَ آلَافٍ وَكَانَ نَافِعٌ عَامِلًا لِعُمَرَ عَلَى مَكَّةَ

“Seolah-olah Ibnul Munir berhenti pada dhahir dari teks al-Bukhari yang mu’allaq ini dan tidak mau membawakannya secara lengkap. Maka ia menyangka bahwa 400 Dinar itu adalah harga rumah yang dibeli oleh Nafi’. Padahal tidak seperti itu. Harga rumahnya adalah 4.000 Dinar (sedangkan 400 Dinar adalah persekotnya, pen). Sedangkan Nafi’ ketika itu menjadi gubernur bawahan Umar di Makkah.” (Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari: 5/76).

Pegadaian Konvensional vs Pegadaian Syariah

Tak hanya perbankan, jasa gadai dengan prinsip syariah juga tumbuh subur bak jamur di musim hujan, dari mulai jasa gadai pinggir jalan, koperasi simpan pinjam, maupun gadai yang ditawarkan BUMN PT Pegadaian (Persero).

Secara garis besar, perbedaan gadai syariah dan konvensional terletak pada konsepnya. yaitu profit oriented, sedangkan syariah konsepnya tolong-menolong. Pada jenis barangnya, pada konvensional hanya untuk barang bergerak sedangkan pada syariah bisa saja barang yang tidak bergerak. Berdasarkan beban yang ditanggung, pada konvensional beban yang perlu ditanggung yaitu bunga dan administrasi sedangkan syariah hanya administrasi saja. Pada syariah, gadai hanya dapat diberikan oleh lembaga sedangkan konvensional tidak hanya lembaga, perseorangan juga bisa.

Yang terakhir yaitu perlakuan jika telah berakhir masa akadnya tetapi hutang belum terbayarkan, pada konvensional barang akan dilelang, sedangkan pada sistem syariah, barang akan dijual dan apabila ada selisih antara hutang dengan hasil penjualan maka uang harus dikembalikan.

(https://www.kompasiana.com/deaadetia9992/5b35c867caf7db53c8453c02/perbedaan-gadai-konvensional-dan-gadai-syariah).

Pada dasarnya, gadai merupakan kegiatan utang-piutang yang murni berfungsi sosial. Namun, hal ini hanya berlaku pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Kini, kenyataannya banyak dari pegadaian sudah bersifat komersiil.Artinya, pegadaian harus memperoleh pendapatan guna menggantikan biaya-biaya yang telah dikeluarkan, sehingga pegadaian mewajibkan menambahkan sejumlah uang tertentu kepada nasabah sebagai imbalan jasa. Gadai yang ada saat ini, dalam praktiknya menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang memberatkan dan mengarahkan kepada suatu persoalan Riba, yang dilarang oleh syara’.

Di Indonesia segala sesuatu yang bersifat syariah belumlah seratus persen (100 persen) murni syariah. Pegadaian syariah di Indonesia masih menggantung jadi ibarat masih menggunakan sistem konvensional walau jumlahnya atau keterlibatan sistem ini sangat sedikit walau demikian setidaknya kita telah mengikuti syariat islam dengan menggunakan pegadaian syariah dan terhindar dari riba. (https://metrojambi.com/read/2018/11/20/37336/pelajari-hukum-gadai-secara-islam-agar-terhindar-dari-riba).

Pembahasan:

Pertama: kata ‘gadai’ dalam bahasa Arab disebut ‘ar-Rahn’. Al-Allamah Taqiyuddin Abu Bakar al-Hishni al-Husaini asy-Syafi’i (wafat tahun 829 H) rahimahullah menjelaskan:

‌الرَّهْن فِي اللُّغَة الثُّبُوت وَقيل الاحتباس وَمِنْه {كُلُّ نَفْسٍ بِمَا ‌كَسَبَتْ ‌رَهِينَةٌ} وَفِي الشَّرْع جعل المَال وَثِيقَة بدين وَالْأَصْل فِيهِ الْكتاب وَالسّنة قَالَ الله تَعَالَى {فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ} وَفِي السّنة مَا ورد أَنه عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام (رهن درعاً عِنْد يَهُودِيّ على شعير لأَهله) ثمَّ الْمَقْصُود من الرَّهْن بيع الْعين الْمَرْهُونَة عِنْد الِاسْتِحْقَاق وَاسْتِيفَاء الْحق مِنْهَا

“Kata ‘ar-Rahn’ secara bahasa artinya tetap atau tertahan. Di antaranya ada ayat: “Setiap jiwa tertahan dengan sebab perbuatannya.” (QS. Al-Muddatstsir: 38). Dan secara syar’i artinya menjadikan harta sebagai alat kepercayaan (tanggungan) dengan sebab adanya hutang. Asal dari gadai adalah al-Kitab dan as-Sunnah. Allah ta’ala berfirman: “Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah: 283). Dan di dalam as-Sunnah bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam telah menggadaikan baju besi Beliau kepada seorang Yahudi untuk mendapatkan makanan di Madinah lalu dengan itu Beliau mendapatkan gandum untuk keluarga Beliau. (HR. Al-Bukhari: 2069 dan Ahmad: 12360 dari Anas radhiyallahu anhu). Kemudian tujuan dari gadai adalah bisa menjual barang yang digadaikan ketika orang yang berpiutang menagih hutang dan menarik haknya.” (Kifayah al-Akhyar fi Hill Ghayah al-Ikhtishar: 254).

Kedua: semua barang, baik barang bergerak seperti emas, sepeda, ataupun barang yang tidak bergerak boleh digadaikan. Yang penting barang tersebut dapat diperjualbelikan dan tidak haram.

Al-Allamah Badruddin az-Zarkasyi asy-Syafi’i (wafat tahun 794 H) rahimahullah menyatakan:

مَا ‌جَازَ ‌بَيْعُهُ جَازَ ‌رَهْنُهُ وَمَا لَا فَلَا إلَّا فِي صُوَرٍ فَمِنْ الْأَوَّلِ: الْمَنَافِعُ تُبَاعُ بِالْإِجَارَةِ وَيَمْتَنِعُ رَهْنُهَا لِعَدَمِ تَصَوُّرِ الْقَبْضِ فِيهَا وَالدَّيْنُ يُبَاعُ وَلَا يُرْهَنُ وَكَذَا ” الْمُشَاعُ. وَمِنْ الثَّانِي: رَهْنُ الْمُصْحَفِ وَالْعَبْدِ الْمُسْلِمِ مِنْ الْكَافِرِ يَصِحُّ وَيُوضَعُ عِنْدَ عَدْلٍ بِخِلَافِ الْبَيْعِ، وَكَذَا رَهْنُ السِّلَاحِ مِنْ الْحَرْبِيِّ وَنَظَائِرِهِ

“Apa-apa yang boleh diperjualbelikan, maka boleh digadaikan. Dan jika tidak boleh dijualbelikan, maka tidak boleh digadaikan. Kecuali beberapa contoh. Pertama: kemanfaatan yang dijual dengan akad Ijarah tidak boleh dijadikan barang gadai karena tidak bisa digambarkan serah terimanya (al-Qabdhu) jika digadaikan, begitu pula hutang meskipun boleh dijual, tetapi tidak bisa digadaikan. Contoh kedua: menggadaikan mushaf, budak muslim kepada orang kafir itu sah dan diletakkan dengan keadilan. Ini berbeda dengan jual beli. Begitu pula menggadaikan pedang kepada orang kafir (tetapi dilarang menjualnya kepada si kafir, pen) dan contoh semisalnya.” (Al-Mantsur min al-Qawaid al-Fiqhiyah: 3/139).

Ketiga: barang yang digadaikan harus diserahterimakan kepada orang yang berpiutang (yang memberi pinjaman).

Al-Allamah Bahauddin Abdurrahman al-Maqdisi al-Hanbali (wafat tahun 624 H) rahimahullah menyatakan:

ولا يصح إلا بالقبض لقوله سبحانه: {‌فَرِهَانٌ ‌مَقْبُوضَةٌ} [البقرة: 283] ، ولأنه عقد إرفاق فافتقر إلى القبض كالقرض

“Dan gadai tidak sah kecuali dengan serah terima barang yang digadaikan, karena firman Allah ta’ala: “Maka hendaknya ada barang gadai yang diserahterimakan.” (QS. Al-Baqarah: 283). Dan juga karena gadai merupakan akad pemberian bantuan, maka membutuhkan ‘al-Qabdhu’ (serah terima), seperti akad al-Qardh (akad hutang piutang).” (Al-Uddah Syarh al-Umdah: 273).

Keempat: tidak diperkenankan mengenakan biaya jasa titipan barang gadai atau jasa administrasi jasa gadai, karena barang gadai (marhun) merupakan wadiah yang wajib dijaga oleh pihak yang berpiutang (murtahin). Perbuatan ini dapat dikatergorikan dengan mengambil manfaat atas barang gadai.

Al-Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi (wafat tahun 294 H) rahimahullah menyatakan:

وأجمعوا فِي الرهن أَنَّهُ لَيْسَ للمرتهن أن ينتفع فيما سِوَى الحيوان

“Para ulama bersepakat bahwa pihak pemberi hutang (murtahin atau pegadaian syariah) tidak boleh mengambil manfaat atas barang gadai (marhun) selain binatang ternak.” (Ikhtilaf al-Ulama: 569).

Alasan larangannya karena termasuk Riba al-Qardh. Al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali (wafat tahun 620 H) rahimahullah berkata:

فَإِنْ أَذِنَ الرَّاهِنُ لِلْمُرْتَهِنِ فِي الِانْتِفَاعِ بِغَيْرِ عِوَضٍ ، وَكَانَ دَيْنُ الرَّهْنِ مِنْ قَرْضٍ ، لَمْ يَجُزْ ؛ لِأَنَّهُ يُحَصِّلُ قَرْضًا يَجُرُّ مَنْفَعَةً، وَذَلِكَ حَرَامٌ

“Jika rahin (penggadai) memberikan ijin kepada murtahin (pegadaian syariah) untuk mengambil manfaat dari barang gadai tanpa ganti, sedangkan bentuk hutang gadai tersebut adalah al-Qardh (hutang-piutang, pen), maka tidak diperbolehkan. Karena perkara tersebut menghasilkan pinjaman yang membawa manfaat. Dan itu haram.” (Al-Mughni fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani: 6/509).

Kelima: jika barang gadai (marhun) itu berupa binatang ternak, maka boleh dimanfaatkan oleh murtahin (pihak yang berpiutang) sebagai ganti biaya memberi makan binatang tersebut.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ

“Binatang yang digadaikan boleh ditunggangi dengan nafkahnya jika statusnya sebagai barang gadai. Dan susu binatang yang digadaikan boleh diminum jika statusnya sebagai barang gadai. Dan wajib atas al-Murtahin yang menunggangi dan meminum susu binatang gadai untuk menafkahi binatang tersebut.” (HR. Al-Bukhari: 2329, at-Tirmidzi: 1175, Abu Dawud: 3059 dan Ibnu Majah: 2431 dari Abu Hurairah radliyallahu anhu).

Pemanfaatan barang gadai hanya khusus pada binatang yang disebutkan dalam hadits di atas. Al-Allamah al-Husain bin Muhammad al-Maghribi (wafat tahun 1119 H) rahimahullah berkomentar:

وقد ذهب أحمد وإسحاق إلى العمل بظاهر الحديث، وخصوا ذلك بالركوب والدَّرِّ، فقالوا: ينتفع بهما بقدر قيمة النفقة ولا يقاس غيرهما

“Ahmad dan Ishaq berpendapat dengan mengamalkan dhahir hadits ini. Mereka mengkhususkan pada binatang yang dinaiki (seperti kuda, pen) dan binatang yang diperah susunya (seperti kambing dan sapi, pen). Mereka menyatakan bahwa barang gadai seperti ini boleh dimanfaatkan dengan sebesar ongkos nafkah pemberian makanan ternak. Dan tidak boleh diqiyaskan dengan selain keduanya.” (Al-Badr at-Tamam Syarh Bulugh al-Maram: 6/233).

Keenam: sebagai solusi agar pihak pegadaian syariah mendapatkan keuntungan dan manfaat dari barang gadai adalah tidak menggunakan Akad al-Qardh (hutang-piutang), tetapi menggunakan akad-akad yang lainnya, seperti akad Mudharabah dengan jaminan barang gadai, atau akad Ijarah barang gadai.

Al-Allamah Syarafuddin Musa bin Ahmad al-Hijawi al-Hanbali (wafat tahun 968 H) rahimahullah menyatakan:

وللمرتهن أن ينتفع بالرهن بإذن راهن مجانا ولو بمحاباة: ما لم يكن الدين قرضا

“Murtahin (pihak pemberi hutang atau pegadaian) boleh memanfaatkan barang gadai (seperti dengan pembebanan ongkos titipan dsb, pen) dengan seijin penggadai, secara cuma-cuma meskipun dengan sukarela dari pemilik barang gadai, selagi bentuk hutangnya bukan al-Qardh (hutang-piutang).” (Al-Iqna’ fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal: 2/171).

Cek, Kambiyalah dan Suftajah

Cek adalah perintah tidak bersyarat dari nasabah kepada bank penyimpan dana untuk membayar suatu jumlah tertentu pada saat ditunjukkan. Dalam penggunaan Cek berlaku prinsip umum sebagai berikut:​

Pertama: Sebagai sarana perintah pembayaran tunai atau pemindahbukuan.

Kedua: Dapat dipindahtangankan.

Ketiga: Diterbitkan dalam mata uang Rupiah.

(https://www.bi.go.id/id/fungsi-utama/sistem-pembayaran/ritel/instrumen/Pages/Cek.aspx).

Sedangkan pengertian Kambiyalah atau Surat Wesel menurut Menurut Mahmoeddin, wesel adalah sejenis surat berharga yang di dalamnya termasuk surat tagihan orang, sekaligus bentuk perintah secara tertulis, tidak memiliki syarat dari penarik atau yang biasa disebut dengan penanda tangan, yang nantinya ditujukan kepada seseorang atau bank demi membayar tanpa syarat sejumlah uang tertentu kepada pihak-pihak maupun seseorang yang ditunjuk untuk menerimanya.

Pengertian secara etimologi, yang dimaksud dengan wesel sama artinya dengan istilah bahasa Inggris yang disebut “Bill of Exchange”, dan sama pula dengan istilah Belanda yang pelafalannya pun hampir sama, yaitu “Wesel”. Pengertian yang sama juga ditemukan pada istilah dalam bahasa Perancis, wesel ini disebut dengan “Letter de Change” atau bisa pula dimaknai sebagai surat kuasa pengganti.

Masing-masing pengertian etimologi ini memiliki benang merah yang sama dan mengerucutkan pengertian wesel ini sebagai suatu surat perintah yang dikeluarkan oleh seorang kreditur dan nantinya akan ditujukan pada penerima (debitur) agar membayarkan sejumlah nominal tertentu pada waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam wesel.

Perbedaan antara wesel dan cek sebagai surat berharga adalah wesel berfungsi sebagai alat kredit atau pembayaran dan pembayarannya dilakukan beberapa waktu setelah wesel diunjukkan atau diperlihatkan kepada tertarik. Sedangkan cek berfungsi sebagai alat pembayaran tunai, jadi seperti uang biasa, dan penarikannya melalui bankir yang menguasai dana untuk kepentingan penarik, dan menurut perjanjian tegas atau secara diam-diam yang menetapkan bahwa penarik mempunyai hak untuk menggunakan dana itu dengan menarik cek. (https://www.hukumonline.com/klinik/a/perbedaan-wesel-dengan-cek-lt59a76a6cb8bae).

Pembahasan:

Pertama: di masa as-Salaf, sudah ada surat seperti cek dan kambiyalah, yang disebut dengan ‘Suftajah’.

Pengertian as-Suftajah menurut al-Allamah Ibnu Abidin al-Hanafi (wafat tahun 1252 H) rahimahullah adalah:

وَهِيَ إقْرَاضٌ لِسُقُوطِ خَطَرِ الطَّرِيقِ ، فَكَأَنَّهُ أَحَالَ الْخَطَرَ الْمُتَوَقَّعَ عَلَى الْمُسْتَقْرِضِ فَكَانَ فِي مَعْنَى الْحَوَالَةِ

“Suftajah adalah menghutangkan uang dengan tujuan mendapatkan keamanan dari bahaya perjalanan (dirampok, hilang dan sebagainya, pen). Seolah-olah ia (kreditur atau pemilik tagihan) memindahkan bahaya yang dikhawatirkan, kepada si penghutang (debitur). Maka ini termasuk makna ‘Hiwalah’.”  (Raddul Mukhtar alad Durril Mukhtar: 21/253).

Al-Allamah Ahmad bin Muhammad al-Fayyumi asy-Syafi’i (wafat tahun 770 H) rahimahullah berkata:

‌السَّفْتَجَةُ قِيلَ بِضَمِّ السِّينِ وَقِيلَ بِفَتْحِهَا وَأَمَّا التَّاءُ فَمَفْتُوحَةٌ فِيهِمَا فَارِسِيٌّ مُعَرَّبٌ وَفَسَّرَهَا بَعْضُهُمْ فَقَالَ هِيَ كِتَابُ صَاحِبِ الْمَالِ لِوَكِيلِهِ أَنْ يَدْفَعَ مَالًا قَرْضًا يَأْمَنُ بِهِ مِنْ خَطَرِ الطَّرِيقِ  وَالْجَمْعُ السَّفَاتِجُ

“Saftajah atau Suftajah, bahasa Persia yang di-Arab-kan, sebagian ulama menafsirkan: “Surat dari pemilik uang kepada wakilnya agar menyerahkan uang tersebut dalam bentuk Qardh (hutang, pen) agar pemilik uang merasa aman dari bahaya perjalanan.” Bentuk jamaknya adalah ‘Safatij’.” (Al-Mishbah al-Munir fi Gharib asy-Syarh al-Kabir: 1/278).

Contoh: Si Fulan akan bepergian dari Jakarta ke Surabaya dengan membawa 1 Milyar Rupiah. Kalau ia membawa uang itu secara langsung di dalam tas maka dikhawatirkan ia menjadi korban perampokan dan pencopetan. Sebagai solusinya ia menghutangkan 1 Milyar Rupiah tersebut kepada pedagang A di Jakarta. Sebagai gantinya pedagang A memberikan Si Fulan kertas catatan yang disebut ‘Suftajah’ yang memerintahkan wakilnya, yaitu pedagang B di Surabaya untuk memberikan 1 Milyar Rupiah kepada Si Fulan. Ketika tiba di Surabaya, si Fulan memberikan kertas tersebut kepada pedagang B dan ia langsung diberi uang 1 Milyar Rupiah.

Kedua: beberapa ulama berpendapat bahwa ‘aqad Suftajah’ itu dilarang karena termasuk riba al-Qardh, yaitu si pemilik uang yang akan bepergian meminta syarat keamanan kepada pihak yang menerbitkan ‘Suftajah’. Si pemilik uang mengambil keuntungan keamanan dari pihak yang berhutang (yakni: penerbit Suftajah, pen).

Al-Imam Abu Abu Bakar al-Jashshash al-Hanafi (wafat tahun 370 H) rahimahullah berkata:

قَالَ أَصْحَابنَا تكره ‌السفاتج إِذا كَانَت على شَرط وَلَا بَأْس بهَا على غير شَرط وَقَالَ الثَّوْريّ لَا يشْتَرط وَقيل إِلَى من أدفَع وَقَالَ مَالك أكره ‌السفاتج لِأَنَّهُ قرض جر مَنْفَعَة وكرهها الشَّافِعِي أَيْضا على شَرط

“Sahabat kami (yakni: ulama Hanafiyah, pen) berkata bahwa ‘suftajah’ itu dimakruhkan jika dengan persyaratan (agar aman dari bahaya perjalanan, pen) dan tidak apa-apa jika tidak ada persyaratan. Sedangkan menurut ats-Tsauri bahwa ‘suftajah’ tidak boleh dipersyaratkan dan ditanyakan kepada siapa aku menyerahkan suftajah ini. Malik juga membenci suftajah karena termasuk aqad al-Qardh yang menarik manfaat. Asy-Syafi’i juga membencinya jika dengan persyaratan (agar aman dari bahaya perjalanan, pen).” (Ikhtishar Ikhtilaf al-Ulama: 4/194).

Ketiga: pendapat yang benar adalah bolehnya menggunakan ‘suftajah’. Beberapa ulama Salaf juga memperbolehkannya.

Dari al-Imam Atha’ bin Abi Rabah (ulama tabi’in, wafat tahun 114 H) rahimahullah:

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ كَانَ يَأْخُذُ مِنْ قَوْمٍ بِمَكَّةَ دَرَاهِمَ ثُمَّ يَكْتُبُ بِهَا إِلَى مُصْعَبِ بْنِ الزُّبَيْرِ بِالْعِرَاقِ فَيَأْخُذُونَهَا مِنْهُ فَسُئِلَ ابْنَ عَبَّاسٍ عَنْ ذَلِكَ فَلَمْ يَرَ بِهِ بَأْسًا فَقِيلَ لَهُ : إِنْ أَخَذُوا أَفْضَلَ مِنْ دَرَاهِمِهِمْ قَالَ : لاَ بَأْسَ إِذَا أَخَذُوا بِوَزْنِ دَرَاهِمِهِمْ

“Bahwa Abdullah bin Az-Zubair mengambil beberapa Dirham dari suatu kaum (kreditur, pen) di Makkah. Kemudian ia menuliskan suftajah (semacam cek atau bilyet, pen) dengan beberapa Dirham tersebut kepada Mush’ab bin az-Zubair di Iraq. Kemudian kaum tersebut mengambil beberapa Dirham tadi dari Mush’ab berdasarkan tulisan tersebut. Kejadian ini ditanyakan kepada Ibnu Abbas dan beliau menjawab: “Tidak apa-apa yang demikian.” Beliau ditanya lagi: “Bagaimana jika mereka mengambil Dirham di Iraq yang lebih baik dari Dirham mereka?” Beliau menjawab: “Tidak apa-apa yang demikian jika mereka menimbang yang sama dengan Dirham mereka.” (Atsar riwayat Al-Baihaqi dalam al-Kubra: 11266 (5/352). Al-Albani menyatakan: “Rijalnya tsiqat, hanya saja Hajjaj bin Artha’ah adalah mudallis dan ia membawakan periwayatan ‘an ‘anah.” Lihat Irwa’ul Ghalil: 5/238).

Dalam riwayat lain, dari al-Imam Atha’ bahwa beliau berkata:

أَنَّ ابْنَ الزُّبَيْرِ يَسْتَلِفُ مِنَ التُّجَّارِ أَمْوَالًا، ثُمَّ يَكْتُبُ لَهُمْ إِلَى الْعُمَّالِ قَالَ: فَذَكَرْتُ ذَلِكَ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، فَقَالَ: «لَا بَأْسَ بِهِ

“Adalah Ibnu Zubair mengambil pinjaman uang dari para pedagang, kemudian ia menuliskan sesuatu untuk mereka kepada wakilnya di Iraq. Maka kejadian ini diceritakan kepada Ibnu Abbas dan beliau menjawab: “Tidak apa-apa.” (Atsar riwayat Abdur Razzaq dalam Mushannafnya: 14642 (8/140). Asy-Syaikh Abdullah Ad-Duwaisy menyatakan bahwa rijal isnadnya adalah perawi Ash-Shahih. Lihat Tanbihul Qari ala Taqwiyati Ma Dho’afahul Albani nomor: 27. Bahkan Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh menyatakan bahwa isnadnya shahih sesuai syarat Muslim. Lihat at-Takmil lima Faata Takhrijuhu min Irwa’il Ghalil hal: 59).

Al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali rahimahullah berkata:

وَرُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ مِثْلِ هَذَا، فَلَمْ يَرَ بِهِ بَأْسًا. وَمِمَّنْ لَمْ يَرَ بِهِ بَأْسًا ابْنُ سِيرِينَ، وَالنَّخَعِيُّ. رَوَاهُ كُلَّهُ سَعِيدٌ.

“Dan diriwayatkan bahwa Ali radhiyallahu anhu ditanya tentang itu (yakni: Suftajah, pen) dan memperbolehkannya. Di antara mereka yang memperbolehkannya adalah Ibnu Sirin dan Ibrahim an-Nakha’i.” Semuanya diriwayatkan oleh Sa’id.” (Al-Mughni li Ibni Qudamah: 4/240).

Keempat: manfaat dari ‘Suftajah’ tidak hanya bagi kreditur saja, tetapi juga bermanfaat bagi debitur, seperti adanya ongkos keamanan yang dibayar oleh kreditur. Oleh karena itu al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah (wafat tahun 751 H) rahimahullah menyatakan:

وَإِنْ كَانَ الْمُقْرِضُ قَدْ يَنْتَفِعُ أَيْضًا بِالْقَرْضِ كَمَا فِي مَسْأَلَةِ السَّفْتَجَةِ، وَلِهَذَا كَرِهَهَا مَنْ كَرِهَهَا، وَالصَّحِيحُ أَنَّهَا لَا تُكْرَهُ؛ لِأَنَّ الْمَنْفَعَةَ لَا تَخُصُّ الْمُقْرِضَ، بَلْ يَنْتَفِعَانِ بِهَا جَمِيعًا.

“Meskipun si kreditur (pemilik tagihan) terkadang mendapat manfaat juga dari ‘al-Qardh’ sebagaimana dalam masalah ‘Suftajah’ (yaitu manfaat keamanan uang, pen). Oleh karena itu sebagian ulama membencinya. Dan pendapat yang benar adalah bahwa ‘Suftajah’ tidaklah dibenci karena manfaatnya tidak hanya untuk si kreditur saja, akan tetapi manfaatnya meliputi keduanya (yakni: si debitur juga mendapatkan upah atau ongkos dari si kreditur, pen).” (I’lamul Muwaqqi’in an Rabbil Alamin: 1/295).

Menjadi Dropshipper dan Reseller

Reseller dan dropshipper sama-sama pekerjaan yang ada hubungannya sama urusan dagang. Mirip-mirip pedagang, tapi dua pekerjaan ini punya cara berbeda menjual barang ke konsumen.

Reseller adalah ketika seseorang membeli produk dengan harga tertentu dan menjualnya kembali dengan harga lebih tinggi sehingga ia akan mendapatkan untuk dari selisih harga tersebut.

Sementara dropshipper adalah pihak ketiga yang bekerjasama dengan pemilik toko untuk memasarkan produk saja. Ketika ada pesanan datang maka pemilik toko lah yang akan melakukan penyediaan dan pengiriman barang sehingga dropshipper mendapatkan keuntungan atas jasa penjualan yang dilakukannya. (https://lifepal.co.id/media/reseller-atau-dropshipper-cek-perbedaannya-yuk/).

Pembahasan

Pertama: Dalam bahasa Arab, dropshipper adalah ‘Simsar’ yang berarti ‘makelar’ atu ‘calo’. Al-Allamah Majduddin Abu Thahir al-Faizur Abadi (wafat tahun 817) rahimahullah berkata:

السِّمْسارُ، بالكسر: المُتَوَسِّطُ بين البائِعِ والمُشْتَرِي . ج: سَماسِرَةٌ

“Simsar (baca: makelar atau dropshipper, pen) adalah seorang perantara antara penjual dan pembeli.” (Al-Qamus al-Muhith: 410).

Kedua: diperbolehkan seseorang menjadi makelar dengan ‘akad wakalah bil ujrah’ (mewakilkan penjualan dengan upah).

Al-Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari (wafat tahun 256 H) rahimahullah berkata:

‌‌بَابُ أَجْرِ السَّمْسَرَةِ  وَلَمْ يَرَ ابْنُ سِيرِينَ، وَعَطَاءٌ، وَإِبْرَاهِيمُ، وَالحَسَنُ بِأَجْرِ السِّمْسَارِ بَأْسًا وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: ” لَا بَأْسَ أَنْ يَقُولَ: بِعْ هَذَا الثَّوْبَ، فَمَا زَادَ عَلَى كَذَا وَكَذَا، فَهُوَ لَكَ ” وَقَالَ ابْنُ سِيرِينَ: ” إِذَا قَالَ: بِعْهُ بِكَذَا، فَمَا كَانَ مِنْ رِبْحٍ فَهُوَ لَكَ، أَوْ بَيْنِي وَبَيْنَكَ، فَلَا بَأْسَ بِهِ ” وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «المُسْلِمُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ»

“Bab Upah Menjadi Makelar (Dropshipper).” Ibnu Sirin, Atha’, Ibrahim an-Nakha’i dan al-Hasan al-Bashri tidak melarang upah menjadi makelar (dropshipper). Ibnu Abbas berkata: “Tidak apa-apa seseorang berkata: “Juallah barang ini! Maka uang penjualan yang lebih dari sekian rupiah menjadi milikmu.” Ibnu Sirin berkata: “Jika seseorang berkata: “Juallah barang ini! Maka keuntungannya menjadi milikmu atau keuntungannya dibagi antara aku dan kamu.” Maka itu tidak apa-apa.” Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Kaum muslimin itu menurut persyaratan yang mereka buat.” (Shahih al-Bukhari: 3/91-92).

Ketiga: diperbolehkan juga menjadi dropshipper atau makelar dengan akad bagi hasil seperti Qiradh dan Mudharabah. Dari Urwah al-Bariqi radhiyallahu anhu:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَاهُ دِينَارًا يَشْتَرِي لَهُ ‌شَاةً، فَاشْتَرَى لَهُ ‌شَاتَيْنِ، فَبَاعَ إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِدِينَارٍ وَشَاةٍ «فَدَعَا لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْبَرَكَةِ قَالَ: فَكَانَ لَوِ اشْتَرَى التُّرَابَ لَرَبِحَ فِيهِ

“Bahwa Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya satu dinar uang untuk membeli seekor kambing. Dengan uang satu dinar tersebut, dia membeli dua ekor kambing dan kemudian menjual kembali seekor kambing seharga satu dinar. Selanjutnya dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  dengan membawa seekor kambing dan uang satu dinar. (Melihat hal ini) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan keberkahan pada perniagaan sahabat Urwah. Beliau bersabda: “Seandainya ia (Urwah) membeli debu, niscaya ia mendapatkan laba darinya.” (HR. Al-Bukhari: 2402, Abu Dawud: 3384 dan Ibnu Majah: 2402).

Al-Allamah Syihabuddin al-Qasthalani asy-Syafi’i (wafat tahun 923 H) rahimahullah berkata:

وتمسك بهذا الحديث من جوّز بيع الفضولي ووجه الدلالة منه كما قال ابن الرفعة: أنه باع الشاة الثانية من غير إذن وأقره عليه الصلاة والسلام على ذلك وهو مذهب مالك في المشهور عنه وأبي حنيفة وبه قال الشافعي في القديم

“Hadits ini dijadikan pegangan oleh orang-orang yang memperbolehkan jual beli ‘Fudhuli’. Arah pendalilannya -sebagaimana penjelasan Ibnu ar-Rif’ah- adalah ia (Urwah) membeli kambing yang kedua tanpa ijin dan ternyata disetujui oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam. Ini adalah madzhab Malik dalam keterangan yang masyhur darinya, Abu Hanifah dan juga pendapat asy-Syafi’i dalam qaul qadim.” (Irsyad as-Sari li Syarh Shahih al-Bukhari: 6/76).

Keempat: menjadi dropshipper tidak boleh membahayakan pembeli atau penjual dengan memanfaatkan ketidaktahuan pembeli atau penjual, sehingga terjatuh kepada penipuan dan jual beli gharar.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لَا تَلَقَّوُا ‌الرُّكْبَانَ، وَلَا يَبِعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ»، قَالَ: فَقُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ: مَا قَوْلُهُ «لَا يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ» قَالَ: لَا يَكُونُ لَهُ ‌سِمْسَارًا

“Janganlah kalian cegat kafilah dagang (sebelum mereka sampai di pasar) dan janganlah orang kota menjualkan untuk orang desa.” Dia (Thawus) berkata: “Aku bertanya kepada Ibnu Abbas: “Apa arti sabda beliau janganlah orang kota menjualkan untuk orang desa?” Dia menjawab: “Janganlah seseorang menjadi makelar (perantara) baginya.” (HR. Al-Bukhari: 2158 dan Muslim: 1521 dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma).

Al-Allamah Sirajuddin Ibnul Mulaqqin asy-Syafi’i (wafat tahun 804 H) rahimahullah berkomentar:

وقوله: (لَا يَكُونُ لَهُ سِمْسَارًا): يعني: من أجل الضرر الداخل على التجار لا من أجل أجرته؛ لأن السمسار أجير، وقد أمر الشارع بإعطاء الأجير أجره قبل أن يجف عرقه

“Ucapan Ibnu Abbas “Janganlah seseorang menjadi makelar baginya,” maksudnya adalah karena adanya bahaya yang masuk kepada para pedagang (yakni: unsur penipuan, pen), bukan semata karena bekerja sebagai makelar. Karena makelar adalah orang yang bekerja dengan mendapatkan upah. Dan syariat memerintahkan untuk memberikan upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering.” (At-Taudhih li Syarh al-Jami’ ash-Shahih: 15/70).

Kelima: sedangkan menjadi ‘reseller’ dipersyaratkan menjualbelikan barang yang sudah menjadi miliknya, kecuali akad ‘Salam’ (pesanan barang). Hakim bin Hizam radhiyallahu anhu bertanya:

يَا رَسُولَ اللَّهِ، يَأْتِينِي الرَّجُلُ فَيُرِيدُ مِنِّي الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِي أَفَأَبْتَاعُهُ لَهُ مِنَ السُّوقِ؟ فَقَالَ: «‌لَا ‌تَبِعْ مَا ‌لَيْسَ ‌عِنْدَكَ

“Wahai Rasulullah, seorang laki-laki datang kepadaku ingin membeli sesuatu yang tidak aku miliki, apakah boleh aku membelikan untuknya dari pasar? Beliau bersabda: “Janganlah engkau menjual apa yang tidak engkau miliki!” (HR. Ahmad: 15312, Abu Dawud: 3503, at-Tirmidzi: 1232 dan beliau meng-hasan-kannya, dan Ibnu Majah: 2187. Di-shahih-kan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’: 7206).

Al-Allamah Abdul Haqq ad-Dahlawi al-Hanafi (wafat tahun 1052 H) rahimahullah berkomentar:

قوله: (أن أبيع ما ليس عندي) كالآبق أو ما لم يقبض أو مال الغير. وقوله: (فيريد مني البيع) أي: المبيع، وهذا في غير صورة السلم، فإنه جائز إجماعًا بالشرائط المعتبرة فيه، وكذا بيع مال الغير جائز موقوفًا [على إجازة المالك] عند الأئمة الثلاثة سوى الشافعي رحمه اللَّه فإنه لا يجوِّزه

“Makna ucapan Hakim bin Hizam “Aku menjual barang yang tidak aku miliki,” seperti budak yang minggat, atau barang yang belum diserahterimakan, atau harta orang lain. Ucapan beliau, “ia menginginkan agar aku menjualnya,” maksudnya barang yang akan dijual. Larangan ini berlaku untuk selain akad Salam (pesanan barang, pen), karena akad Salam diperbolehkan secara ijma’ (kesepakatan ulama, pen) dengan syarat-syarat yang mu’tabar. Demikian pula menjual barang milik orang lain itu diperbolehkan (jika diketahui bahwa pemilik barang mengijinkannya) menurut ketiga imam selain asy-Syafi’i, karena beliau tidak memperbolehkannya.” (Lama’at at-Tanqih fi Syarh Misykat al-Mashabih: 5/571).

Jual Beli dengan Cara COD (Cash on Delivery)

Berbelanja secara online dapat dilakukan di berbagai aplikasi marketplace, seperti Tokopedia, Shopee, Bli-bli dan lainnya. Setelah memilih beberapa barang, pembeli akan diminta memilih sistem pembayaran yang ingin digunakan, salah satunya yaitu Cash On Delivery (COD). Cash On Delivery (COD) merupakan cara alternatif dalam bertransaksi, maka dari itu banyak dipilih masyarakat karena memudahkan pembeli yang tidak memiliki rekening dan tidak perlu repot untuk men top up atau mengisi saldo pada akun marketplace terlebih dahulu. (https://www.kompasiana.com/yusrinajilan9558/60d4684c9b65002c79096da2/bagaimana-pandangan-fiqh-muamalah-tentang-cod).

Dikutip dari laman Shopee Indonesia, cara kerja COD adalah pembeli membayar pesanan secara tunai ke kurir sebelum paket dibuka. Apabila pesanan barang tidak sesuai, rusak, dan mengalami kecacatan, pembeli bisa mengajukan pengembalian dana atau barang melalui aplikasi Shoppe dan bukan ke kurir. (https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5971563/cash-on-delivery-cod-pengertian-cara-kerja-dan-tipsnya).

Dalam praktik, setiap marketplace memiliki kebijakan tersendiri mengenai metode pembayaran COD, baik berupa cara menerima barang COD, konsekuensi jika pembeli menolak menerima pesanan, maupun opsi pengembalian barang ke penjual jika barang yang dibeli tidak sesuai pesanan. Untuk itu, ada baiknya konsumen membaca terlebih dahulu syarat dan ketentuan COD di marketplace yang bersangkutan sebelum bertransaksi. (https://www.hukumonline.com/klinik/a/ogah-bayar-pesanan-i-cash-on-delivery-i-cod-ini-hukumnya–lt60a78e8f5f1ca).

Pembahasan:

Dalam bahasa Arab jual beli COD atau Cash on Delivery disebut juga dengan ‘ad-Daf’u inda al-Istilam’. Maka dalam tinjauan ilmu fikih terdapat beberapa pembahasan:

Pertama: dilihat dari sisi barang yang akan dibeli oleh konsumen. Sebagian ulama menamakannya dengan ‘Bai’ al-A’yan al-Ghaibah’ (Jual beli barang yang belum ada). Maka barang tersebut harus disebutkan sifat dari spesifikasinya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan:

فَفِيهِ خِلَافٌ مَشْهُورٌ يُلْتَفَتُ إلَى ‌مَسْأَلَةَ ‌بَيْعِ ‌الْأَعْيَانِ ‌الْغَائِبَةِ. ‌وَعَنْ ‌أحمد ‌فِيهِ ‌ثَلَاثُ ‌رِوَايَاتٍ. إِحْدَاهُنَّ: لَا يَصِحُّ بَيْعُهُ بِحَالٍ، كَقَوْلِ الشَّافِعِيِّ الْجَدِيدِ. وَالثَّانِيَةُ: يَصِحُّ وَإِنْ لَمْ يُوصَفْ، وَلِلْمُشْتَرِي الْخِيَارُ إِذَا رَآهُ، كَقَوْلِ أبي حنيفة. وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أحمد: لَا خِيَارَ لَهُ. وَالثَّالِثَةُ – وَهِيَ الْمَشْهُورُ – أَنَّهُ يَصِحُّ بِالصِّفَةِ، وَلَا يَصِحُّ بِدُونِ الصِّفَةِ، كَالْمُطْلَقِ الَّذِي فِي الذِّمَّةِ، وَهُوَ قَوْلُ مالك

“Di dalam transaksi seperti ini (yakni: COD, pen) terdapat perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan ulama terdahulu, yang dikembalikan kepada ‘Masalah Jual Beli Barang-barang yang Belum Wujud’. Dari al-Imam Ahmad terdapat tiga riwayat dalam masalah ini. Pertama: (jual beli seperti ini, pen) tidak sah apapun keadaannya, seperti pendapat asy-Syafi’i dalam Qaul Jadid. Kedua: tetap sah, walaupun tidak disebutkan sifatnya. Si pembeli dapat melakukan khiyar ketika melihat barang tersebut, seperti pendapat Abu Hanifah. Dan diriwayatkan dari Ahmad bahwa tidak ada khiyar baginya. Ketiga: merupakan pendapat yang masyhur (terkenal) bahwa jual beli barang tersebut adalah sah jika diterangkan sifat dan spesifikasinya, dan tidak sah jika tidak disebutkan sifat dan spesifikasinya, seperti barang mutlak dalam tanggungan. Ini adalah pendapat Malik.” (Al-Fatawa al-Kubra: 4/18 dan Majmu’ al-Fatawa: 29/25).

Dalam poin ini barang-barang yang akan dilakukan transaksi COD sudah ditentukan spesifikasinya berupa foto barang beserta deskripsinya yang terpampang dalam ‘Marketplace’.

Kedua: ketika barang COD diterima dan dilihat, maka berlaku ‘Khiyar Rukyat’ dalam istilah ulama Hanafiyah. Akad bisa dibatalkan jika barang tidak sesuai spesifikasi.

Al-Allamah Sirajuddin Ibnul Mulaqqin asy-Syafi’i (wafat tahun 804 H) rahimahullah menyatakan:

وقال أبو حنيفة وأصحابه والثوري: يجوز بيع الغائب على الصفة وغير الصفة، وللمشتري خيار الرؤية إن وجد على الصفة، وروي مثله عن ابن عباس والشعبي والنخعي والحسن البصري ومكحول والأوزاعي وسفيان، وللشافعي قولان: أحدهما كقول أبي حنيفة، وأظهرهما المنع، وهو قول الحكم وحمَّاد فيما حكاه ابن بطال.

“Abu Hanifah dan teman-temannya dan ats-Tsauri berkata: “Diperbolehkan jual beli barang Ghaib (belum wujud, pen), baik ditentukan sifatnya maupun belum ditentukan. Si pembeli dapat melakukan ‘Khiyar Rukyat’ ketika mendapatkan barang tersebut.” Pendapat ini juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas, asy-Sya’bi, an-Nakha’i, al-Hasan al-Bashri, Mak-hul, al-Auza’i dan Sufyan bin Uyainah. Sedangkan asy-Syafi’i mempunyai dua pendapat, yang pertama seperti pendapat Abu Hanifah dan pendapat yang kedua adalah yang terkenal yaitu dilarang. Ini juga pendapat al-Hakam dan Hammad sebagaimana pemaparan Ibnu Baththal.” (At-Taudhih li Syarh al-Jami’ ash-Shahih: 14/396).

Di antara dalil adanya ‘khiyar rukyat’ atas barang COD adalah atsar dari Utsman dan Thalhah radhiyallahu anhuma. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menyatakan:

وَأَخْرَجَهُ الطَّحَاوِيُّ وَالْبَيْهَقِيُّ مِنْ طَرِيقِ عَلْقَمَةَ بْنِ وَقَّاصٍ، أَنَّ طَلْحَةَ اشْتَرَى مِنْ عُثْمَانَ مَالًا، فَقِيلَ لِعُثْمَانَ: إنَّك قَدْ غُبِنْت، فَقَالَ عُثْمَانُ: لِي الْخِيَارُ لِأَنِّي بِعْت مَا لَمْ أَرَهُ، وَقَالَ طَلْحَةُ: لِي الْخِيَارُ لِأَنِّي ‌اشْتَرَيْت ‌مَا ‌لَمْ ‌أَرَهُ، فَحَكَمَ بَيْنَهُمَا جُبَيْرُ بْنُ مُطْعَمٍ فَقَضَى أَنَّ الْخِيَارَ لِطَلْحَةَ، وَلَا خِيَارَ لِعُثْمَانَ

“Ath-Thahawi dan al-Baihaqi meriwayatkan hadits dari jalan Alqamah bin Waqqash bahwa Thalhah membeli harta dari Utsman. Maka dikatakan kepada Utsman: “Sesungguhnya kamu ditipu.” Maka Utsman menyatakan: “Aku berhak melakukan khiyar karena aku menjual barang yang belum aku lihat.” Sedangkan Thalhah juga menyatakan: “Saya berhak melakukan khiyar karena saya membeli barang yang belum saya lihat.” Maka Jubair bin Muth’im menghukumi di antara keduanya bahwa khiyar itu untuk Thalhah sedangkan Utsman tidak ada khiyar atasnya.” (At-Talkhish al-Habir: 1131 (3/13)).

Ketiga: larangan al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah terhadap jual beli secara COD adalah jika tidak didahului dengan melihat barang tersebut. Sehingga jika barang yang dijual secara COD sudah dilihat baik secara langsung atau melalui foto-foto barang tersebut beserta deskripsinya dalam ‘Marketplace’, maka hukumnya boleh.

Al-Imam Abul Mahasin ar-Rauyani asy-Syafi’i (wafat tahun 502 H) rahimahullah berkata:

فأما بيع العين ‌الغائبة مع تقدم الرؤية، وهو أن يكون البائع والمشتري قد شاهدا السلعة ثم غابا عنها، وعقدا ‌البيع عليها. فلا يخلو حال الرؤية من أحد أمرين: إما أن تكون قريبة المدة، أو بعيدتها. فإن كانت المدة قريبة وليس لها حد مقدر فمذهب الشافعي وجمهور أصحابه أن ‌البيع جائز

“Adapun jual beli barang yang belum wujud dengan didahului dengan melihat barang tersebut, yaitu jika penjual dan pembeli sudah menyaksikan barang tersebut kemudian keduanya tidak bertemu lagi, lalu keduanya menjalin akad jual beli atas barang tersebut. Maka tidak terluput dari dua kemungkinan; adakalanya masa akad dekat dengan masa melihat barang tersebut, dan adakalanya masanya jauh. Jika masanya dekat dan tidak ada batasan yang diperjanjikan, maka menurut madzhab asy-Syafi’i dan mayoritas pengikutnya bahwa jual beli tersebut hukumnya boleh.” (Bahr al-Madzhab fi Furu’ al-Madzhab asy-Syafi’i: 4/357).

Keempat: penyerahan uang boleh dengan cara COD (Cash on Delivery), boleh juga tanpa COD, dengan maksud dibayar sebelum barang dikirim.

قال الشافعي: ويجوز بيع العين ‌الغائبة بثمن حال ومؤجل؛ لأن بيوع الأعيان يصح ‌تأجيل ‌الثمن فيها، سواء كانت العين حاضرة أو غائبة  

“Asy-Syafi’i berkata: “Diperbolehkan jual beli barang yang belum wujud dengan uang secara kontan ataupun secara tempo, karena jual beli berang, diperbolehkan menunda uang atasnya, baik itu barangnya sudah ada ataupun belum wujud.” (Bahr al-Madzhab fi Furu’ al-Madzhab asy-Syafi’i: 4/357).

Multi Level Marketing (MLM)

MLM atau Multi Level Marketing adalah salah satu bentuk marketing atau pemasaran yang saat ini sudah banyak digeluti oleh banyak orang. Di dalam negeri, perusahaan yang menerapkan bisnis Multi Level Marketing ini sudah banyak sekali, mulai dari nutrisi hingga kosmetik. Istilah lain yang sering digunakan untuk bisnis Multi Level Marketing ini adalah pemasaran piramida atau pemasaran jaringan. (https://www.jurnal.id/id/blog/multi-level-marketing-mlm-bisnis/).

Sebagian orang kerap memandang sinis bisnis MLM karena dianggap identik dengan penipuan. Apa lagi beberapa waktu yang lalu kita dikejutkan dengan kasus yang menimpa agen umroh ternama di Indonesia yang notabene menggunakan kedok multi level marketing untuk menggaet calon jemaah. Usut punya usut ternyata marketing plan yang digunakan adalah skema piramida atau biasa dikenal dengan Ponzi. Ternyata, pemilik usaha travel tersebut menghimpun uang masyarakat dan menggunakannya dengan tidak bijak. Hal ini kemudian membuat pandangan masyarakat tentang bisnis MLM semakin buruk. (https://www.maxmanroe.com/bisnis-mlm-menurut-islam.html).

Inti dari aktivitas bisnis MLM adalah mengajak seseorang untuk membeli suatu produk agar mereka bisa mengajak orang lain membeli produk tersebut, sampai seterusnya. Setiap kali anggota di bawahnya bertambah, maka orang yang pertama akan mendapatkan keuntungan paling besar. Begitupun setiap anggota yang dapat mengajak orang setelahnya bergabung, maka ia akan mendapatkan keuntungan yang sangat besar pula.

Selain mengandung riba Bai’, MLM juga mengandung unsur gharar. Saat seseorang bergabung dengan MLM, dia tidak tahu apakah uangnya akan kembali karena posisinya di atas, atau akan hilang karena posisinya di bawah. Kemudian, status produk yang ditawarkan hanyalah sebatas kedok, karena barang bukanlah tujuan orang ikut dalam bisnis tersebut. Sistem bisnis MLM juga dianggap mengandung unsur memakan harta manusia secara batil. Karena, yang mendapat keuntungan dari sistem ini hanyalah perusahaan MLM dan sejumlah kecil anggota. (https://blog.evermos.com/bisnis-mlm/).

Pembahasan:

Pertama: pada MLM terjadi sistem ‘memakan harta manusia dengan cara batil’. Seorang downline (anggota) baru wajib menyetorkan dana keanggotaan. Downline yang paling baru akan berada pada dasar piramida MLM yang paling bawah. Ia harus bekerja keras untuk mencari downline dan masih belum mendapatkan komisi (komisi 0 %). Komisi tersebut disetorkan kepada anggota di atasnya, semakin ke puncak piramida semakin banyak komisinya.

Komisi ini termasuk memakan harta manusia atau memakan keringat manusia dengan cara batil. Allah ta’ala berfirman:

يا أَيُّهَا الَّذِينَ ‌آمَنُوا ‌لا ‌تَأْكُلُوا أَمْوالَكُمْ بَيْنَكُمْ ‌بِالْباطِلِ إِلَاّ أَنْ تَكُونَ تِجارَةً عَنْ تَراضٍ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kalian.” (QS. An-Nisa’: 29).

Kedua: seharusnya upah atau komisi terbanyak diberikan kepada downline yang telah bekerja keras. Yang ada justru downline diwajibkan membayar iuran anggota. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

أَعْطُوا ‌الْأَجِيرَ ‌أَجْرَهُ، قَبْلَ أَنْ ‌يَجِفَّ عَرَقُهُ

“Berikanlah pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah: 2443 dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma dan al-Baihaqi dalam al-Kubra: 11659 (6/200) dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu. Isnad Ibnu Majah di-hasan-kan oleh al-Bushiri dalam Mishbah az-Zujajah: 3/75. Hadits ini di-hasan-kan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ hadits: 1935).

Ketiga: di dalam sistem MLM terdapat spekulasi atau taruhan atau ‘Gharar’. Diantaranya adalah bonus yang dijanjikan kepada anggota, yaitu bonus atas penjualan (atau lebih tepatnya belanja) downline. Anggota akan mendapatkan bonus sekian persen dari belanja seluruh downline-nya. Belanja seluruh downline sejumlah bilangan tertentu adalah asumsi alias belum tentu mereka berbelanja, sehingga bonus yang dijanjikan sekian persen adalah sesuatu yang belum pasti. Dengan alasan spekulatif inilah MLM dikatakan ‘Gharar’.

Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta’ menyatakan:

أنها من الغرر المحرم شرعاً، لأن المشترك لا يدري ‌هل ‌ينجح ‌في ‌تحصيل ‌العدد ‌المطلوب من المشتركين أم لا؟ والتسويق الشبكي أو الهرمي مهما استمر فإنه لا بد أن يصل إلى نهاية يتوقف عندها، ولا يدري المشترك حين انضمامه إلى الهرم هل سيكون في الطبقات العليا منه فيكون رابحاً، أو في الطبقات الدنيا فيكون خاسراً؟ والواقع أن معظم أعضاء الهرم خاسرون إلا القلة القليلة في أعلاه، فالغالب إذن هو الخسارة، وهذه هي حقيقة الغرر، وهي التردد بين أمرين أغلبهما أخوفهما، وقد نهى النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عن الغرر، كما رواه مسلم في صحيحه

“Bisnis MLM termasuk ‘gharar’ yang diharamkan secara syar’i, karena para downline tidak mengetahui apakah dengan merekrut anggota sebanyak itu akan beruntung atau merugi. MLM jika berlangsung terus-menerus, pastilah akan berhenti di suatu ujung. Ia tidak mengetahui ketika bergabung dengan MLM, apakah ia akan berada di puncak piramida yang berarti untung ataukah justru di bawah piramid yang berarti merugi. Kenyataannya mayoritas anggota MLM merugi kecuali sedikit orang yang berada di puncak piramid. Keumumannya adalah merugi. Inilah hakekat dari ‘gharar’, yaitu keraguan antara risiko merugi dan peluang beruntung. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah melarang jual beli ‘Gharar’ sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya.” (Fatawa asy-Syabkah al-Islamiyah: 12/13729).

Keempat: mengandung unsur Riba, baik riba nasiah maupun riba fadhel. Seseorang bergabung dengan MLM dengan menyetor uang sedikit dengan harapan mendapatkan uang yang banyak. Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta’ menyatakan:

أنها تضمنت الربا بنوعيه، ربا الفضل وربا النسيئة، فالمشترك يدفع مبلغاً قليلاً من المال ليحصل على مبلغ كبير منه، فهي نقود بنقود مع التفاضل والتأخير، وهذا هو الربا المحرم بالنص والإجماع، والمنتج الذي تبيعه الشركة على العميل ما هو إلا ستار للمبادلة، فهو غير مقصود للمشترك فلا تأثير له في الحكم

“Bahwa MLM mengandung kedua macam riba, riba Fadhel dan riba Nasiah. Seseorang yang bergabung, menyerahkan uang sedikit agar mendapatkan uang yang banyak. Maka itu termasuk menukar mata uang sejenis dengan sesamanya dengan selisih jumlah dan tempo waktu. Maka ini adalah riba yang diharamkan berdasarkan Nash dan al-Ijma’. Barang produk yang dijual oleh perusahaan MLM kepada investor hanyalah kedok saja, untuk menutupi pertukaran uang yang sejenis. Maka penjualan produk bukanlah tujuan sebenarnya untuk bergabung, sehingga tidak mempengaruhi hukum Riba.” (Fatawa asy-Syabkah al-Islamiyah: 12/13729).

Kelima: adanya manipulasi harga (al-Ghabn), karena produk yang dijual biasanya yang unik yang tidak dijual di pasaran agar konsumen tidak tahu harga yang seharusnya jika produk itu dijual melalui sistem pasar. Padahal kenyataan harganya lebih mahal daripada harga di pasar. Tetapi downline tidak tahu itu karena tidak ada di pasar. Ini termasuk jual beli ‘Talaqqi ar-Rukban’ (mencegat kafilah) yang terlarang.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لَا ‌تَلَقَّوُا ‌الرُّكْبَانَ

“Janganlah kalian mencegat orang yang membawa dagangannya ke pasar.” (HR. Al-Bukhari: 2150 dan Abu Dawud: 3443 dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu).

Dalam riwayat lain beliau bersabda:

لَا ‌تَلَقَّوْا الْجَلَبَ، فَمَنْ تَلَقَّاهُ فَاشْتَرَى مِنْهُ، فَإِذَا أَتَى سَيِّدُهُ ‌السُّوقَ، فَهُوَ بِالْخِيَارِ

Janganlah kalian mencegat para pedagang luar. Barangsiapa yang mencegatnya lalu membeli barang darinya lantas pedagang luar tersebut masuk pasar (dan tahu ia tertipu dengan penawaran harga yang terlalu rendah), maka ia punya hak khiyar (pilihan untuk membatalkan jual beli).” (HR. Muslim: 1519 dan Ibnu Majah: 2178 dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu).

Al-Allamah Syarafuddin ath-Thibi asy-Syafi’i (wafat tahun 743 H) rahimahullah berkomentar:

نهي عن استقبال الركبان لابتياع ما يحملونه إلي البلد قبل أن يقدموا الأسواق ويعرفوا الأسعار، لما يتوقع فيه من التغرير وارتفاع الأسعار

“Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang kita mencegat kafilah untuk membeli barang produk yang mereka bawa menuju negeri kita sebelum mereka tiba di pasar-pasar dan sebelum mereka mengetahui harga-harga produk tersebut, karena dikhawatirkan adanya manipulasi harga dan terlalu mahalnya harga barang.” (Al-Kasyif an Haqaiq as-Sunan: 7/2142).

MLM Syariah, Adakah?

Seiring perkembangan pengetahuan, teknologi, dan kebutuhan ekonomi inovasi dalam bisnis syariah pun terus bermunculan, salah satunya adalah MLM Syariah atau Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS ).

Dalam prakteknya dari sekitar 600 perusahaan MLM yang terdapat di Indonesia, masing-masing menerapkan sistem yang berbeda. Ada sistem binary, breakaway, unilevel, viral marketing, skema ponzi, dan sebagainya. Dari seluruh MLM yang ada, 66 di antaranya sudah resmi terdaftar di Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI). Dari jumlah tersebut hanya 6 yang sudah mendapat Sertifikat Syariah dari MUI. (https://sef.feb.ugm.ac.id/mlm-syariah/).

Ada beberapa poin yang membedakan MLM Syariah atau PLBS (Pemasaran Langsung Berjenjang Syariah) dengan MLM Konvensional:

Pertama: Secara organisasi, perusahaan MLM Syariah memiliki  DPS  (Dewan Pengawas Syariah) yang bertugas mengawasi  kegiatan bisnis dalam perusahaan tersebut dan memberikan pembinaan agar semua kegiatan dalam perusahaan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Kedua: Produk  yang dijual merupakan produk-produk yang layak/halal dikonsumsi  secara syariah Islam. Untuk produk yang masuk kategori makanan dan minuman harus mendapatkan Sertifikat Halal atau Label Halal

Ketiga: Sistem pembagian bonus kepada member dan marketing plan bisnis perusahaan harus terbebas dari hal-hal  yang diharamkan, utamanya adalah  unsur maysir (judi), gharar (penipuan atau ketidakjelasan) dan riba.

Keempat: MLM syariah memiliki orientasi bisnis menjual produk berupa barang, bukan pada merekrut anggota. (https://sef.feb.ugm.ac.id/mlm-syariah/).

Pembahasan:

Pertama: setiap kegiatan bisnis atau setiap pasar harus ada pengawas syariat. Dalam kitab-kitab ‘as-Siyasah asy-Syar’iyah’ disebut dengan ‘Muhtasib’ atau petugas ‘Hisbah’. Tugasnya melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar pada setiap kegiatan bisnis. Insyaa Allah akan dibahas dalam ‘Bab Pasar Modal Syariah’ setelah ini.

Kedua: menjual jasa atau produk barang yang halal merupakan suatu keharusan dalam bisnis Syariah. Dari Jabir radhiyallahu anhu:

أَنَّهُ: سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ عَامَ الفَتْحِ وَهُوَ بِمَكَّةَ: «إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ‌حَرَّمَ ‌بَيْعَ ‌الخَمْرِ، ‌وَالمَيْتَةِ وَالخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ

“Sesungguhnya ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada tahun Fathul Makkah, dan ia berada di Makkah, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual-beli khamar (minuman keras, segala sesuatu yang memabukkan), bangkai, babi, dan berhala.” (HR. Al-Bukhari: 2236, Muslim: 1581, at-Tirmidzi: 1297, Abu Dawud: 3486 dan Ibnu Majah: 2767).

Dari Abu Mas’ud al-Anshari radhiyallahu anhu:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‌نَهَى ‌عَنْ ‌ثَمَنِ ‌الكَلْبِ، وَمَهْرِ البَغِيِّ، وَحُلْوَانِ الكَاهِنِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, penghasilan pelacur dan upah perdukunan.” (HR. Al-Bukhari: 2237, Muslim: 1567, Abu Dawud: 3428 dan Ibnu Majah: 2159).

Ketiga: dalam PLBS (Pemasaran Langsung Berjenjang Syariah) harus terbebas dari memakan harta manusia dengan cara batil, gharar, riba dan penipuan. Lihat dalil-dalilnya pada Bab MLM sebelum ini.

Keempat: prinsip Syirkah (baik dalam PLBS ataupun lainnya) adalah kerja sama untuk menjual produk barang maupun jasa dalam rangka mencari keuntungan bersama.

Dari al-Imam Muhammad bin Sirin (ulama tabi’in, wafat tahun 110 H) rahimahullah:

أَنَّ بِلالا أَخَذَهُ أَهْلُهُ فَمَطُّوهُ وَأَلْقَوْا عَلَيْهِ مِنَ الْبَطْحَاءِ وَجِلْدِ بَقَرَةٍ فَجَعَلُوا يَقُولُونَ: رَبُّكَ اللاتُ وَالْعُزَّى. وَيَقُولُ: ‌أَحَدٌ ‌أَحَدٌ. قَالَ فأتى عليه أبو ‌بكر فقال: علا م تُعَذِّبُونَ هَذَا الإِنْسَانَ؟ قَالَ: فَاشْتَرَاهُ بِسَبْعِ أَوَاقٍ فَأَعْتَقَهُ. فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ‌الشَّرِكَةَ يَا أَبَا ‌بَكْرٍ. فَقَالَ: قَدْ أَعْتَقْتُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ

“Bahwa Bilal disiksa oleh pemiliknya. Kemudian mereka menjemurnya di tanah lapang dan melemparkan kulit sapi di atasnya. Mereka berkata kepada Bilal: “Rabbmu itu Latta dan Uzza.” Bilal menimpali: “Allah Yang Maha Esa. Allah Yang Maha Esa.” Kemudian Abu Bakar menemui mereka dan bertanya: “Dengan alasan apa kalian menyiksa manusia ini?” Lalu Abu Bakar membeli Bilal dengan harga 7 Uqiyah lalu memerdekakannya. Kemudian kejadian ini diceritakan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lalu beliau berkata: “Bolehkah aku ikut ‘Syirkah’ (berkongsi, pen) wahai Abu Bakar?” Abu Bakar menjawab: “Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah.” (Hadits Mursal riwayat Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat al-Kubra: 3/175).

Al-Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Salam (wafat tahun 224 H) rahimahullah berkomentar:

وَهُوَ حجَّة لمن قَالَ: ‌الشّركَة ‌بِمَنْزِلَة ‌البيع لِأَنَّهُ لما أشركه فِي مَتَاعه فَكَأَنَّهُ بَاعه نصفه

“Kisah ini menjadi dalil bagi ulama yang berpendapat bahwa ‘Syirkah itu menduduki kedudukan Jual beli, ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam ikut dalam syirkah, maka seolah-oleh beliau ikut membeli Bilal dengan separuh harga.” (Gharib al-Hadits: 3/228)

Sedangkan dalam MLM konvensional tidak terjadi jual beli barang atau jasa, tetapi terjadi perekrutan anggota baru untuk diperbudak dengan iming-iming passive income.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

قَالَ اللَّهُ: ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ القِيَامَةِ: رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ، وَرَجُلٌ ‌بَاعَ ‌حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ

“Allah Ta’ala berfirman, “Ada tiga jenis orang yang aku berperang melawan mereka pada hari kiamat, seseorang yang bersumpah atas namaku lalu mengingkarinya, seseorang yang menjual (baca: memperbudak, pen) orang merdeka lalu memakan (uang dari) harganya dan seseorang yang mempekerjakan pekerja kemudian pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya namun tidak dibayar upahnya.” (HR. Al-Bukhari: 2227 dan Ibnu Majah: 2442 dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu).

Pasar Modal Konvensional dan Pasar Modal Syariah

Seiring dengan semakin meningkatnya minat masyarakat terhadap produk perbankan yang syariah, maka banyak orang mulai mencari-cari apa saja perbedaan pasar modal syariah dan konvensional. Dibandingkan dengan produk investasi lainnya, investasi pasar modal memang merupakan investasi dengan risiko paling kecil. Sehingga cukup aman untuk dimiliki oleh orang yang baru saja mengenal investasi.

Merujuk kepada Undang-undang Pasar Modal (UUPM) Nomor 8 Tahun 1995 pasal 1 ayat 13, pasar modal adalah kegiatan yang berkaitan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkan, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. Sedangkan menurut UUPM pasal 1 ayat 5, efek adalah surat berharga yang diterbitkan oleh perusahaan, misalnya surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, bukti right, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak kegiatan berjangka atas efek, dan seperti turunan dari efek seperti option, warrant, dan bukti right. (https://www.finansialku.com/perbedaan-pasar-modal-syariah-dan-konvensional/).

Terminologi pasar modal syariah sendiri dapat diartikan sebagai kegiatan dalam pasar modal sebagaimana yang telah diatur dalam UUPM yakni tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Perlu diketahui, cara kerja pasar modal syariah juga bergantung pada prinsip-prinsip hukum Islam.

Pada dasarnya kegiatan pasar modal ini yang merupakan kegiatan penyertaan modal dan atau jual beli efek (saham, sukuk), termasuk dalam kelompok muamalah, sehingga transaksi dalam pasar modal diperbolehkan sepanjang tidak ada larangan menurut syariat agama Islam. Kegiatan muamalah yang dilarang adalah kegiatan spekulasi dan manipulasi yang di dalamnya mengandung unsur gharar, riba, maisir, risywah, maksiat, dan kedzhaliman.

Pada pasar modal berbasis berbasis syariat agama Islam ini, uang dijadikan sebagai alat pertukaran nilai dalam berinvestasi. Hanya saja, proses investasi yang dilakukan mesti menggunakan mata uang yang sama dengan pembukuan.

Transaksi yang terjadi pada produk investasi pasar modal jenis ini menggunakan sistem akad yang sesuai dengan syariat Islam. Hal ini menyebakan jual-beli dapat dilakukan secara jelas antara kedua belah pihak sehingga tidak ada yang merasa dirugikan. Mekanisme yang jelas dan sesuai syariat Islam harus ditekankan pada pasar modal syariah. Hal ini dianggap mampu menjaga atau menghindari terjadinya prasangka dalam melakukan transaksi. (https://www.qoala.app/id/blog/keuangan/investasi/pasar-modal-syariah/).

Pembahasan:

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pasar modal atau Bursa Efek:

Pertama: akad antara broker (pialang) dan investor bisa berupa ‘Akad Wakalah’. Pialang atau broker adalah pihak individu atau perusahaan yang diberikan kepercayaan untuk melakukan jual beli saham atau instrumen investasi lainnya.

Al-Imam Muwaffaquddin Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali (wafat tahun 620 H) rahimahullah berkata:

ويجوزُ ‌التَّوْكِيلُ ‌بِجُعْلٍ وبغيرِ جُعْلٍ؛ فإنَّ النَّبِيَّ -صلى اللَّه عليه وسلم- وَكَّلَ أُنَيْسًا في إقَامَةِ الحَدِّ ، وعُرْوَةَ في شِرَاءِ شاةٍ ، وعَمْرًا وأبا رَافِعٍ في قَبُولِ النِّكَاحِ بغير جُعْلٍ. وكان يَبْعَثُ عُمَّالَه لِقَبْضِ الصَّدَقاتِ، ويَجْعَلُ لهم عُمَالَةً

“Diperbolehkan akad ‘taukil’ atau ‘wakalah’ (mempercayakan atau memberikan kuasa, pen) dengan imbalan atau tanpa imbalan, karena Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah mewakilkan (baca: memberikan kuasa, pen) kepada Unais untuk menegakkan hukuman had, kepada Urwah untuk membeli kambing, kepada Amr dan Abu Rafi’ untuk menerima pernikahan tanpa imbalan. Dan beliau juga mengutus para pegawai beliau untuk memungut zakat dan memberikan mereka imbalan.” (Al-Mughni fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani: 7/204-5).

Kedua: pada pasar modal terjadi proses tawar-menawar yang terus-menerus diantara anggota bursa efek. Ini disebut dengan ‘Bai’ al-Musawamah’ atau ‘Bai’ al-Muzayadah’.

Al-Allamah Manshur bin Yunus al-Buhuti al-Hanbali (wafat tahun 1051 H) rahimahullah menyatakan:

فأما ‌المزايدة في المناداة فجائزة إجماعا فإن المسلمين لم يزالوا يتبايعون في أسواقهم بالمزايدة

“Adapun jual beli Muzayadah atau Musawamah (tawar-menawar sistem lelang, pen) di dalam panggilan yang saling bersahutan, maka itu diperbolehkan secara ijma’ (konsensus), karena kaum muslimin selalu melakukan transaksi jual beli di pasar-pasar mereka dengan cara ‘Muzayadah’. (Kasysyaf al-Qina’ an Matn al-Iqna’: 3/183).

Dari Jabir radhiyallahu anhu:

أَنَّ رَجُلًا أَعْتَقَ غُلَامًا لَهُ عَنْ دُبُرٍ، فَاحْتَاجَ، فَأَخَذَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «مَنْ يَشْتَرِيهِ مِنِّي» فَاشْتَرَاهُ نُعَيْمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بِكَذَا وَكَذَا فَدَفَعَهُ إِلَيْهِ

“Ada seorang membebaskan budak sepeninggal tuannya dan ia sangat membutuhkan uang. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Siapa yang mau membelinya dariku?” Maka budak itu dibeli oleh Nu’aim bin ‘Abdullah lalu Beliau mengambil uang pembelian tersebut kemudian memberikan uang itu kepada orang laki-laki tadi.” (HR. Al-Bukhari: 2141 dan Muslim: 997).

Ketiga: pasar modal syariah mendapatkan pengawasan dari Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan OJK. Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No 16/POJK.04/2015 tentang Ahli Syariah Pasar Modal, OJK memaparkan jika ahli syariah pasar modal merupakan anggota DPS, maka tugasnya mencakup memberikan nasihat dan saran kepada direksi dan dewan komisaris perusahaan tentang hal-hal yang berkaitan dengan prinsip syariah di pasar modal, dan mengawasi pemenuhan penerapan prinsip syariah dalam kegiatan usaha.

Di dalam sistem Politik al-Islam terdapat Walayatul Hisbah yang terdiri dari beberapa petugas Hisbah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan:

‌وَيَأْمُرُ ‌الْمُحْتَسِبُ ‌بِالْجُمُعَةِ ‌وَالْجَمَاعَاتِ وَبِصِدْقِ الْحَدِيثِ وَأَدَاءِ الْأَمَانَاتِ وَيَنْهَى عَنْ الْمُنْكَرَاتِ: مِنْ الْكَذِبِ وَالْخِيَانَةِ: وَمَا يَدْخُلُ فِي ذَلِكَ مِنْ تَطْفِيفِ الْمِكْيَالِ وَالْمِيزَانِ وَالْغِشِّ فِي الصِّنَاعَاتِ؛ والبياعات وَالدِّيَانَاتِ وَنَحْوِ ذَلِكَ

“Seorang Muhtasib (petugas Hisbah) bertugas memerintahkan shalat Jumat, shalat jamaah, berkata jujur, memenuhi amanat, melarang kemungkaran yang berupa dusta, khianat dan yang termasuk itu (yang berhubungan dengan pasar, pen) berupa mengurangi takaran dan timbangan, menipu dalam profesi, jual beli dan agama dan lain sebagainya.” (Majmu’ al-Fatawa: 28/71).

Asy-Syaikh Ahmad Ajjaj Karmi menyatakan:

فكانت مراقبة الأسواق جزا من مهام المحتسب، وفي فترة لاحقة استعمل النبي صلّى الله عليه وسلم بعض أصحابه للقيام بهذه المهمة، فاستعمل سعيد بن العاص بن أمية على سوق مكة بعد الفتح ، وكان أول موظف محتسب في الإسلام، كما استعمل عمر بن الخطاب على سوق المدينة

“Maka tugas mengawasi pasar-pasar merupakan bagian penting dari tugas seorang Muhtasib (petugas Hisbah). Dalam beberapa waktu, Nabi shallallahu alaihi wasallam menugaskan beberapa orang sahabatnya untuk mengemban tugas penting ini. Maka beliau menugaskan Sa’id bin al-Ash menjadi pegawas pasar Makkah setelah Fathu Makkah. Dia adalah petugas Hisbah pertama dalam Islam, sebagaimana beliau menugaskan Umar bin al-Khaththab menjadi pengawas pasar Madinah.” (Al-Idarah fi Ashr ar-Rasul: 243).

Keempat: diantara transaksi yang terlarang adalah Short Selling. Short selling adalah transaksi penjualan saham oleh seorang trader tapi saham yang dijual itu belum sepenuhnya menjadi milik trader tersebut. Pihak penjual hanya “meminjam kepemilikan saham” dari perusahaan broker. Maka dari itu, short selling juga disebut sebagai “jual kosong”. Short selling dilarang pada tahun 2008 dan 2015 karena dicurigai menjadi dalang penyebab anjloknya IHSG saat itu. Dalam konteks pasar modal, short selling dilarang oleh MUI karena pada dasarnya penjual saham tersebut (trader) belum sepenuhnya memiliki saham yang diperdagangkan. Maka dari itu, tidak ada fitur short selling di Shariah Online Trading System (SOTS) yang ditawarkan BEI. (https://investbro.id/short-selling/).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لَا ‌تَبِعْ مَا ‌لَيْسَ ‌عِنْدَكَ

“Janganlah menjual barang yang bukan menjadi milikmu!” (HR. Ahmad: 15311, at-Tirmidzi: 1232 serta dihasankan olehnya, Abu Dawud: 3503 dan Ibnu Majah: 2187 dari Hakim bin Hizam radhiyallahu anhu. Di-shahih-kan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’: 7206).

Kelima: diantara kejahatan di dalam pasar modal ada transaksi ‘Pump and Dump’. Istilah pump and dump merujuk pada pola ‘menggoreng saham’ yang sudah umum dikenal oleh pelaku pasar modal. Hal ini dilakukan oleh satu atau beberapa kekuatan tersembunyi di pasar untuk meningkatkan secara signifikan harga ‘saham yang digoreng’ hingga membentuk harga dengan level tertinggi. Harganya bukan lagi ditentukan secara normal oleh mekanisme pasar. Kenaikan harga ‘saham gorengan’ itu pun umumnya tidak didukung oleh fakta material. Terhadap saham-saham yang perubahan harganya sangat mencolok, Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai pengawas pasar mengingatkan investor melalui mekanisme yang disebut Unusual Market Activity (UMA). (https://kriptova.com/featured/kejahatan-pasar-modal-dalam-bentuk-pump-and-dump/).

Transaksi ‘Pump and Dump’ termasuk kategori jual beli ‘an-Najsy’ yang dilarang dalam syariat. Ibnu Umar radhiyallahu anhuma berkata:

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ ‌النَّجْشِ

“Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang jual beli ‘an-Najsy’.” (HR. Al-Bukhari: 2142, Muslim: 1516 dan Ibnu Majah: 2173).

Al-Allamah Waliyuddin Abu Zur’ah al-Iraqi asy-Syafi’i (wafat tahun 826 H) rahimahullah berkomentar

النَّجْشُ: بِفَتْحِ النُّونِ، وَإِسْكَانِ الْجِيمِ وَبِالشِّينِ الْمُعْجَمَةِ؛ فَسَّرَهُ أَصْحَابُنَا الشَّافِعِيَّةُ بِأَنْ يَزِيدَ فِي ثَمَنِ السِّلْعَةِ لَا لِرَغْبَةٍ فِيهَا بَلْ لِيَخْدَعَ غَيْرَهُ وَيَغُرَّهُ لِيَزِيدَ وَيَشْتَرِيَهَا وَكَذَا فَسَّرَهُ بِهِ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ

“An-Najsy’ ditafsirkan oleh para sahabat kami Syafi’iyah sebagai transaksi dengan cara menawar barang dengan menambah harganya, bukan karena ingin membelinya, tetapi untuk menipu orang lain agar ikut menawar dan membeli dengan harga tinggi. Demikian pula penafsiran ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah.” (Tharh at-Tatsrib fi Syarh at-Taqrib: 6/61).

Keenam: termasuk jual beli ‘Gharar’ adalah transaksi derivatif di pasar modal seperti Future, Swap dan Forward atau transaksi Option. Sebagaimana dijelaskan dalam Bab Trading Forex.

Ketujuh: diantara kejahatan di dalam pasar modal ada transaksi Wash Trade. Wash Trade merupakan transaksi semu yang dilakukan investor saham dengan tujuan agar saham yang ia miliki terlihat aktif diperdagangkan. Padahal transaksi wash trade dilakukan oleh orang yang sama namun dengan akun yang berbeda. Karena saham tersebut terlihat aktif diperdagangkan, maka investor dapat menaikan harga untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Dalam istilah fikih, transaksi ini termasuk kategori ‘Taghrir’, yaitu membuat kebohongan agar terjadi transaksi. (https://syariahsaham.id/jenis-transaksi-yang-dilarang-pasar-modal-syariah/).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang jual beli ‘Taghrir’. Beliau menyatakan:

‌وَلَا ‌تُصَرُّوا ‌الْإِبِلَ ‌وَالْغَنَمَ، فَمَنِ ابْتَاعَهَا بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ بَعْدَ أَنْ يَحْلُبَهَا، فَإِنْ رَضِيَهَا أَمْسَكَهَا، وَإِنْ سَخِطَهَا رَدَّهَا وَصَاعًا مِنْ تَمْرٍ

”Janganlah menahan air susu unta atau kambing yang akan dijual supaya kelihatan susunya banyak. Jika dia membeli dan memerahnya setelah membeli, maka dia boleh memilih dari dua keadaan, jika ia suka, maka dia boleh ditahannya namun jika tidak suka dia boleh mengembalikannya dengan satu sha’ kurma (pengganti susu dan perahannya).” (HR. Muslim: 1515 dan Abu Dawud: 3443 dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu).

Al-Imam Abul Qasim Abdul Karim ar-Rafi’i asy-Syafi’i (wafat tahun 623 H) rahimahullah menyatakan:

قال الغزالي: (وَأَمَّا ‌التَّغْرِيرُ الفِعْلِيُّ) فَهُوَ أَنْ يُصَرِّي ‌ضَرْعَ ‌الشَّاةِ حَتَّى يَجْتَمِعَ اللَّبَنُ وَيُخَيِّلَ غَزَارَةَ اللَّبَنِ فَمَهْمَا اطَّلَعَ عَلَيْهِ وَلَوْ بَعْدَ ثَلاثةِ أَيَّام رَدَّها (ح) وَرَدَّ مَعَهَا صَاعاً مِنْ تَمْرٍ بَدَلاً عَنِ اللَّبَنِ الكَائِنِ في الضَّرْعِ الَّذِي تَعَذَّرَ رَدُّ عَيْنِهِ لاخْتِلَاطِهِ بِغَيْرِ المَبِيعِ لِوُرُودِ الخَبَرِ

“Al-Ghazali menyatakan: “Adapun perbuatan ‘Taghrir Fi’liyah’, maka seperti menahan keluarnya air susu kambing (baik dengan cara tidak diambil susunya atau dengan cara diikat, pen) sehingga air susunya terkumpul banyak dan kelihatan seolah-olah mengandung banyak air susu. Sehingga ketika si pembeli menemukan hal tersebut meskipun sudah melampaui tiga hari, maka ia boleh mengembalikan kambing tersebut kepada penjual disertai satu sha’ kurma tamar sebagai ganti air susu yang tidak bisa dikembalikan karena telah bercampur dengan barang lainnya. Yang demikian karena adanya hadits yang menerangkan hal tersebut.” (Al-Aziz Syarh al-Wajiz: 4/221).

Surat Utang dan Obligasi

Pengertian obligasi adalah surat pengakuan atau pernyataan utang yang diterbitkan oleh suatu perusahaan atau pemerintah sebagai pihak yang berutang, yang diserahkan kepada pemegang obligasi dan disertai dengan janji untuk membayar pokok utang beserta kupon bunganya setiap tanggal jatuh tempo pembayaran.

Pendapat lain mengatakan bahwa arti obligasi adalah jenis surat berharga atau sertifikat tanda pengakuan utang yang diterbitkan oleh suatu perusahaan atau pemerintah kepada pemberi pinjaman (investor). Dengan kata lain, penerbit obligasi adalah pihak yang berutang sedangkan pemegang obligasi adalah pihak yang berpiutang. (https://www.maxmanroe.com/vid/finansial/pengertian-obligasi-adalah.html).

Sertifikat Bank Indonesia (SBI) merupakan surat berharga yang digunakan Bank Indonesia sebagai alat untuk mengontrol kestabilan nilai rupiah. Penjualan SBI diharapkan mampu menyerap kelebihan uang yang beredar di masyarakat. SBI sendiri adalah surat pengakuan utang berjangka dengan kurun waktu 1-3 bulan menggunakan sistem bunga atau diskonto. Keuntungan yang diperoleh dari pembelian SBI ini diberikan dalam bentuk bunga atau diskonto. Tingkat suku bunga yang berlaku pada setiap penjualan SBI menggunakan mekanisme suku bunga SBI (BI rate). BI akan mengumumkan target suku bunga SBI yang diinginkan, yang kemudian dijadikan acuan para pelaku pasar untuk mengikuti lelang.

Surat Utang Negara (SUN) merupakan surat berharga berbentuk surat pengakuan utang yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia, dalam bentuk rupiah dan valuta asing. Pembayaran bunga dan pokoknya dijamin oleh pemerintah Indonesia sesuai dengan masa berlakunya. SUN dikelola secara resmi oleh Menteri Keuangan, dan penerbitannya harus melalui persetujuan DPR dan diskusi khusus dengan Bank Indonesia. Penerbitan SUN tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Tujuan dari diterbitkannya SUN adalah membiayai defisit APBN, menutup kekurangan kas jangka pendek, dan mengelola portofolio utang negara. (https://www.simulasikredit.com/perbedaan-sertifikat-bank-indonesia-sbi-vs-surat-utang-negara-sun/).  

Pembahasan:

Pertama: penulisan tentang pernyataan hutang sudah sesuai dengan syariat al-Islam. Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282).

Al-Imam Abu Abdillah al-Qurthubi al-Maliki (wafat tahun 671 H) rahimahullah berkomentar:

ذَهَبَ بَعْضُ النَّاسِ إِلَى أَنَّ كَتْبَ الدُّيُونِ وَاجِبٌ عَلَى أَرْبَابِهَا، فَرْضٌ بِهَذِهِ الْآيَةِ، بَيْعًا كَانَ أَوْ قَرْضًا، لِئَلَّا يَقَعَ فِيهِ نِسْيَانٌ أَوْ جُحُودٌ، وَهُوَ اخْتِيَارُ الطَّبَرِيِّ…… وَقَالَ الْجُمْهُورُ: ‌الْأَمْرُ ‌بِالْكَتْبِ ‌نَدْبٌ ‌إِلَى ‌حِفْظِ ‌الْأَمْوَالِ ‌وَإِزَالَةِ ‌الرَّيْبِ.

“Sebagian ulama berpendapat bahwa mencatat hutang piutang itu hukumnya wajib bagi pemiliknya, fardhu berdasarkan ayat ini, baik itu aqad jual beli yang tidak tunai ataupun hutang, agar tidak terjatuh pada lupa atau pengingkaran. Ini adalah pendapat ath-Thabari…… Sedangkan jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bahwa perintah menulis hutang piutang adalah perintah anjuran untuk menjaga harta dan menghilangkan keraguan.” (Al-Jami’ li Ahkam al-Quran: 3/383).

Kedua: adanya kupon atau bunga pada obligasi, SBI dan SUN saat jatuh tempo termasuk riba, karena termasuk hutang yang mempersyaratkan manfaat.

Diantara keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islami (Badan Fiqh Islam Internasional) yang berkedudukan di Jeddah no. 11/62/6 adalah:

إن السندات التي تمثل التزاماً بدفع مبلغها مع فائدة منسوبة إليه أو نفع مشروط محرمة شرعاً من حيث الإصدار أو الشراء أو التداول ، لأنها قروض ربوية سواء أكانت الجهة المصدرة لها خاصة أو عامة ترتبط بالدولة ، ولا أثر لتسميتها شهادات أو صكوك استثمارية أو ادخارية أو تسمية الفائدة الربوية الملتزم بها ربحاً أو عمولة أو عائداً .

“Sesungguhnya obligasi (surat utang, pen) yang mewajibkan pihak yang menerbitkannya untuk membayar surat tersebut (ketika jatuh tempo, pen) bersama kupon (bunga) yang dinisbatkan kepadanya, atau manfaat yang dipersyaratkan, maka hukumnya haram secara syar’i, dari sisi penerbitannya, pembeliannya atau peredarannya, karena ia (obligasi) merupakan bentuk hutang piutang yang riba. Sama juga apakah pihak yang menerbitkannya itu kalangan tertentu (seperi perusahaan swasta, pen) atau kalangan negeri (seperti BUMN, pen) yang berhubungan dengan pemerintah. Dan tidak ada pengaruhnya apakah surat tersebut dinamakan sertifikat (seperti SBI, pen), instrumen investasi atau obligasi tabungan, ataukah menamakan bunga riba yang melekat pada surat tersebut dengan keuntungan, atau kupon atau return.” (Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islami: 6/1294).

Sukuk atau Obligasi Syariah

Di Indonesia saat ini, instrumen sukuk mulai dilirik pemerintah setelah beberapa perusahaan swasta meluncurkan obligasi syariah. Pemerintah melalui Departemen Keuangan (Depkeu) melelui ditjen pengelolaan utang Depkeu telah menunjuk Bank Syariah dan Konvensional yang memiliki izin Bank Indonesia (BI) dan perusahaan efek yang memiliki izin usaha sebagai penjamin emisi efek dari Pengawas Pasar Modal untuk menjadi agen penjual sukuk.

Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 32/DSN MUI/IX/2002 pada poin ketiga disebutkan, “Obligasi Syariah (sukuk) adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo”. (https://www.obligasi.co.id/2020/01/sukuk-adalah.html).

Di Indonesia, sukuk pertama kali diterbitkan oleh PT. Indosat Tbk pada tahun 2002. Nilai penerbitan sukuk yang dilakukan oleh Indosat adalah sebesar Rp 175 Milyar dengan tenor 5 tahun dan menggunakan akad Mudharabah. Lalu Tahun 2004 penerbitan sukuk disusul oleh Berlian Laju Tanker, Berlina, Humpuss Intermoda, Matahari, Sona Topas, dan Apexindo.

Kemudian sukuk ini dibuat regulasinya pada tahun 2008 dan diformalkan namanya menjadi Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). (https://qazwa.id/blog/sukuk/).

Pembahasan:

Pertama: di masa as- Salaf dikenal istilah ‘as-Sukuk’ yang berarti surat hutang atau bukti kepemilikan terhadap suatu barang.

Al-Imam Abu Zakariya n-Nawawi (wafat tahun 676 H) rahimahullah berkata:

الصِّكَاكُ ‌جَمْعُ ‌صَكٍّ وَهُوَ الْوَرَقَةُ الْمَكْتُوبَةُ بِدَيْنٍ وَيُجْمَعُ أَيْضًا عَلَى صُكُوكٍ وَالْمُرَادُ هُنَا الْوَرَقَةُ الَّتِي تَخْرُجُ مِنْ وَلِيِّ الْأَمْرِ بِالرِّزْقِ لِمُسْتَحِقِّهِ بِأَنْ يَكْتُبَ فِيهَا لِلْإِنْسَانِ كَذَا وَكَذَا مِنْ طَعَامٍ أَوْ غَيْرِهِ فَيَبِيعُ صَاحِبُهَا ذَلِكَ لِإِنْسَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقْبِضَهُ

“Ash-Shikak jamak Shak yaitu kertas yang bertuliskan hutang. Dan bisa dijamakkan menjadi ash-Shukuk. Yang dimaksud sukuk disini adalah kertas yang diterbitkan oleh pemerintah tentang rejeki bagi yang berhak. Di dalamnya ditulis: untuk orang ini, makanan sekian sha’ atau lainnya (selain makanan, pen). Maka penerima sukuk tersebut menjualnya kepada orang lain sebelum menerima makanan yang tertulis.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj: 10/171).

Kedua: Sukuk Negara disebut pula dengan SBSN (Surat Berharga Syariah Negara), yaitu surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan (baca: ikut andil investasi) terhadap Aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. (UU RI No. 19 Tahun 2008 tentang SBSN, Pasal 1).

Sebenarnya surat atau Sukuk yang menunjukkan kepemilikan aset atau bukti penyertaan (ambil bagian) terhadap aset sudah dikenal di masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Abdul Majid bin Wahab rahimahullah berkata:

قَالَ لِي العَدَّاءُ بْنُ خَالِدِ بْنِ هَوْذَةَ: أَلاَ أُقْرِئُكَ كِتَابًا كَتَبَهُ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: قُلْتُ: بَلَى، فَأَخْرَجَ لِي كِتَابًا: هَذَا مَا اشْتَرَى العَدَّاءُ بْنُ خَالِدِ بْنِ هَوْذَةَ مِنْ مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، اشْتَرَى مِنْهُ عَبْدًا أَوْ أَمَةً، لاَ دَاءَ وَلاَ غَائِلَةَ وَلاَ خِبْثَةَ، بَيْعَ الْمُسْلِمِ الْمُسْلِمَ.

“Al-Adda’ bin Khalid bin Haudah berkata kepadaku: “Maukah aku membacakan kepadamu suatu surat (baca: Sukuk, pen) yang ditulis oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untukku?” Aku jawab: “Silakan.” Kemudian beliau mengeluarkan suatu surat (Sukuk, pen) yang isinya: “Ini adalah bukti pembelian al-Adda’ bin Khalid bin Haudah dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, bahwa ia telah membeli dari beliau seorang budak laki-laki (atau perempuan) yang tidak berpenyakit, tidak fasik dan tidak mempunyai cacat, sebagai bentuk jual beli antara sesama muslim.” (HR. At-Tirmidzi: 1216, ia berkata hadits hasan gharib dan al-Baihaqi dalam al-Kubra: 11098 (5/327). Hadits ini di-hasan-kan karena jalannya oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Taghliq at-Ta’liq: 2/67 dan di-hasan-kan pula oleh al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan at-Tirmidzi: 1216).

Al-Allamah Ibnul Malak al-Hanafi (wafat tahun 854 H) rahimahullah berkata:

والحديث يدلُّ على ‌جواز ‌كتابة ‌الصُّكوك

“Hadits ini menunjukkan atas bolehnya menulis Sukuk.” (Syarh Mashabih as-Sunnah li Ibni al-Malak: 3/434).

Ketiga: Dalam penerbitan sukuk, aset yang dijadikan underlying harus mempunyai nilai keekonomian atau memiliki aliran penerimaan kas, dapat berupa aset yang berwujud (seperti gedung, tanah atau bangunan lainnya) atau aset yang tidak berwujud (berupa jasa), nilai manfaat atas aset berwujud, kegiatan investasi maupun proyek yang akan atau sedang dibangun. Demikian pula bahwa aset yang menjadi dasar Sukuk wajib tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah. (Peraturan OJK No. 18/POJK.04/2015, Pasal 2 dan 3).

Beberapa contoh underlying asset yang bertentangan dengan syariah adalah barang/aset/jasa yang terkait dengan perjudian, jasa keuangan ribawi, dan jual beli risiko yang mengandung unsur ketidakpastian. (https://ajaib.co.id/underlying-asset-untuk-setiap-instrumen-investasimu/).

Segala bentuk aset/barang/jasa yang berkaitan dengan zat haram di setiap aktivitas produksi, perdagangan, dan penyediaannya pun juga dilarang. Ada juga barang maupun jasa haram bukan karena zat, namun merusak moral berdasarkan keputusan DSN-MUI. Dengan demikian, jenis aset seperti misalnya pabrik minuman keras maupun pabrik rokok tidak bisa menjadi underlying asset untuk instrumen sukuk. (https://pintu.co.id/blog/pengertian-underlying-asset-syarat-dan-contohnya).

Keempat: Sukuk atau obligasi Syariah merupakan alternatif pengganti karena menggunakan Akad yang sesuai syariah seperti Mudharabah dan akad syar’i lainnya yang mana pemilik Sukuk tidak mendapatkan faedah atau bunga atau manfaat yang dipastikan. Sukuk ini disebut dengan Sukuk Mudharabah atau Sanadat al-Mudharabah.

Majma’ al-Fiqh al-Islami (Badan Fikih Islam Internasional) dalam keputusan no. 11/62/6, menetapkan pada point ke-4:

‌من ‌البدائل ‌للسندات ‌المحرمة –‌إصدارا ‌أو ‌شراء ‌أو ‌تداولا- ‌السندات ‌أو ‌الصكوك القائمة على أساس المضاربة لمشروع أو نشاط استثماري معين، بحيث لا يكون لمالكيها فائدة أو نفع مقطوع، وإنما تكون لهم نسبة من ربح هذا المشروع بقدر ما يملكون من هذه السندات أو الصكوك ولا ينالون هذا الربح إلا إذا تحقق فعلا

“Termasuk alternatif pengganti dari Surat Utang atau Obligasi yang diharamkan -baik secara penerbitan, penjualan atau peredaran- adalah Sukuk atau obligasi yang ditegakkan di atas prinsip Mudharabah atas suatu proyek atau kegiatan investasi tertentu. Dengan sekira tidak mematok bunga atau kupon bagi pemegang Sukuk dengan nilai yang dipastikan. Pemilik Sukuk hanya mendapatkan nisbah (prosentase) keuntungan atau bagi hasil dengan melihat apa yang mereka miliki dari Sukuk-sukuk ini. Dan mereka tidak akan mendapatkan keuntungan atau bagi hasil ini kecuali kegiatan proyek atau investasi ini berjalan secara nyata.” (Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islami: 6/1294).

Kelima: ada juga Sukuk yang diterbitkan dengan dasar akad ijarah. Disebut juga dengan ‘Sukuk al-Ijarah’ atau ‘Sanadat al-Ijarah’. Disebutkan dalam kitab ‘Fiqh al-Muyassar’:

صكوك (‌سندات) ‌الإجارة: وهي سندات ذات قيمة متساوية تمثل حصصًا شائعة في ملكية أعيان أو منافع ذات دخل كعقار أو باخرة أو طائرة ونحوها

“Sukuk al-Ijarah adalah surat berharga atau sertifikat yang bernilai sama yang merupakan bukti kepemilikan yang dibagikan atas suatu aset, hak manfaat atas jasa-jasa seperti lahan, kapal, pesawat terbang dan sebagainya.” (Al-Fiqh al-Muyassar: 10/80).

Tujuan dari adanya ‘Sukuk al-Ijarah’ adalah:

‌‌الغرض من صكوك الإجارة: هو تحويل الأعيان والمنافع التي يتعلق بها عقد الإجارة إلى أوراق مالية (صكوك) يمكن أن تجري عليها عمليات التبادل،

“Tujuan adanya sukuk ini adalah mengubah aset dan hak manfaat atas jasa yang berhubungan dengan akad ijarah menjadi surat-surat yang berharga atau sertifikat (baca: sukuk, pen) yang bisa diperjualbelikan.” (Al-Fiqh al-Muyassar: 10/80).

Disebutkan dalam al-Fiqh al-Muyassar:

‌شروط صكوك (‌سندات) ‌الإجارة: ( 1) أن تتوفر في الأعيان الشروط التي يصح فيها أن تكون محلًا لعقد الإجارة كعقار أو باخرة أو طائرة ونحو ذلك. (2) ألا يضمن مصدر الصكوك أو مديرها أصل قيمة الصك أو ربحه، وإذا هلكت الأعيان المؤجرة فإن الغرم على حملة الصكوك

“Syarat-syarat Sukuk al-Ijarah: (Pertama): barang-barang yang berupa aset memenuhi persyaratan untuk dijadikan tempat bagi akad al-Ijarah seperti lahan atau bangunan, kapal, pesawar terbang dan lain sebagainya. (Kedua): Emiten atau penerbit sukuk atau wali amanat (SPV) tidak boleh menjamin harga pokok sukuk dan keuntungannya. Jika aset yang disewakan itu rusak, maka hutangnya ditanggung oleh pemegang Sukuk.” (Al-Fiqh al-Muyassar: 10/81).

Hukum Sukuk ini adalah:

يجوز إصدار صكوك تمثل ملكية الأعيان المؤجرة وتداولها إذا توافرت فيها الشروط المطلوبة

“Diperbolehkan menerbitkan Sukuk yang menyatakan penyertaan kepemilikan aset yang disewakan dan mengedarkan sukuk tersebut, jika persyaratan terpenuhi.” (Al-Fiqh al-Muyassar: 10/81).

Beberapa Musykilat tentang Adanya Sukuk

Di antara sukuk yang diterbitkan terdapat beberapa permasalahan:

Pertama: masalah pada ‘Sukuk Syariah’ adalah adanya kewajiban penerbit sukuk atau Emiten untuk membeli sukuk dari pemegangnya pada saat jatuh tempo. Ini menyerupai ‘Bai’ al-Wafa’. Pengertian ‘Bai’ al-Wafa’ menurut al-Allamah Ali bin Muhammad al-Jurjani (wafat tahun 816 H) rahimahullah adalah:

‌بيع ‌الوفاء: هو أن يقول البائع للمشتري: بعت منك هذا العين بما لك عليَّ من الدين، على أني قد قضيت الدين فهو لي

“Bai’ al-Wafa’ adalah jika seorang penjual berkata kepada pembeli: “Aku jual barang ini kepadamu dengan seharga hutangku kepadamu. Dan jika aku sudah melunasi hutangku kepadamu, maka barangmu menjadi milikku lagi.” (At-Ta’rifat: 48).

‘Bai’ al-Wafa’ merupakan istilah dari ulama Hanafiyah. Ulama Hanabilah menamakannya dengan Bai’ al-Amanah’.

Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, kedua nama jual beli tersebut merupakan Riba karena hakekatnya adalah pemberian hutang dengan mempersyaratkan manfaat. Beliau menyatakan:

أَمَّا ‌بَيْعُ ‌الْأَمَانَةِ الَّذِي مَضْمُونُهُ اتِّفَاقُهُمَا عَلَى أَنَّ الْبَائِعَ إذَا جَاءَهُ بِالثَّمَنِ أَعَادَ عَلَيْهِ مِلْكَهُ ذَلِكَ يَنْتَفِعُ بِهِ الْمُشْتَرِي بِالْإِجَارَةِ وَالسَّكَنِ وَنَحْوِ ذَلِكَ: هُوَ بَيْعٌ بَاطِلٌ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ إذَا كَانَ الشَّرْطُ مُقْتَرِنًا بِالْعَقْدِ. وَإِذَا تَنَازَعُوا فِي الشَّرْطِ الْمُقَدَّمِ عَلَى الْعَقْدِ: فَالصَّحِيحُ أَنَّهُ بَاطِلٌ بِكُلِّ حَالٍ وَمَقْصُودُهُمَا إنَّمَا هُوَ الرِّبَا بِإِعْطَاءِ دَرَاهِمَ إلَى أَجَلٍ وَمَنْفَعَةُ الدَّرَاهِمِ هِيَ الرِّبْحُ.

“Adapun ‘Bai’ al-Amanah’ yang intinya adalah kesepakatan antara penjual dan pembeli bahwa apabila penjual telah mendapatkan uangnya, maka barang yang dijual dikembalikan lagi oleh pembeli kepada penjual. Sebelumnya barang tersebut dimanfaatkan oleh pembeli dengan cara disewa atau ditinggali. Maka ini adalah jual beli yang batil (rusak, pen) jika persyaratan dibuat bersamaan dengan akad. Apabila mereka berselisih tentang syarat yang dibuat sebelum akad, maka yang benar bahwa jual beli tersebut juga batil (rusak, pen) atas keadaan apapun. Karena yang dituju oleh kedua orang yang melakukan akad tersebut adalah Riba dengan memberikan hutang beberapa Dirham sampai waktu tertentu dan manfaat dari Dirham tersebut adalah keuntungan.” (Majmu’ al-Fatawa: 30/36).

Di kalangan Syafi’iyah disebut juga dengan ‘Bai’ al-Uhdah’. Al-Allamah Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i (wafat tahun 974 H) rahimahullah berkata:

أَنَّ ‌بَيْعَ ‌الْعُهْدَةِ الْمَذْكُورَ لَا أَعْرِفُ حَقِيقَتَهُ عَلَى التَّعْيِينِ وَالْقَوْلُ الْفَصْلُ فِيهِ أَنَّ الْبَيْعَ إنْ اقْتَرَنَ بِهِ شَرْطٌ فَاسِدٌ كَأَنْ يَقُولَ لَهُ بِعْتُك هَذَا بِعَشْرَةٍ فَإِذَا رَدَدْتهَا إلَيْك رَدَدْته إلَيَّ فَيَقُولُ الْآخَرُ قَبِلْت أَوْ يَقُولُ الْمُشْتَرِي اشْتَرَيْته مِنْك بِهَذَا الشَّرْطِ فَيَقُولُ لَهُ بِعْتُك كَانَ فَاسِدًا فَلَا يَنْتَقِلُ الْمِلْكُ فِي الْمَبِيعِ عَنْ مَالِكِهِ وَلَا فِي الثَّمَنِ عَنْ مَالِكه بَلْ هُمَا بَاقِيَانِ عَلَى مَا كَانَا عَلَيْهِ

“Bahwa ‘Bai’ al-Uhdah’ yang disebutkan oleh penanya tadi, aku tidak mengerti hakekatnya secara terperinci. Maka Kata Pemutus di dalam jual beli seperti ini, jika jual beli disertai persyaratan yang rusak seperti jika seseorang menyatakan: “Aku jual barang ini kepadamu seharga 10 Dirham. Jika aku mengembalikan harga 10 Dirham kepadamu maka kembalikanlah barang itu kepadaku.” Kemudian si pembeli menjawab: “Aku terima.” Atau si pembeli menyatakan: “Aku beli barang ini darimu dengan persyaratan ini.. Maka jual beli tersebut adalah rusak (batil). Maka kepemilikan barang tidak bisa pindah dari pemiliknya begitu juga kepemilikan uang tidak akan berpindah. Akan tetapi keduanya tetap pada keadaan semula (sebelum akad, pen).” (Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra: 2/157).

Di kalangan ulama Malikiyah disebut juga dengan ‘Bai’ ats-Tsunya’. Al-Allamah Muhammad bin Ali al-Maziri al-Maliki (wafat tahun 536 H) rahimahullah menyatakan:

‌‌فصل في ‌بيع ‌الثّنيا ذكر في المدوّنة بعد مسئلة البيع والسلف، الّتي أشبعنا القول فيها، الحكم فيمن باع سلعة من رجل على أنّ البائع متى جاء بالثّمن ارتجع سلعته. فقال في المدوّنة: إنّ البيع فاسد

“Pasal tentang ‘Bai’ ats-Tsunya’. Disebutkan dalam al-Mudawwanah setelah Masalah Jual Beli dan Salaf (pesanan, pen) yang telah kami jelaskan panjang lebar. Hukum tentang orang yang menjual barang kepada orang lain dengan syarat jika si penjual telah mendapatkan uangnya maka barang kembali kepada si penjual. Al-Imam Malik berkata dalam al-Mudawwanah bahwa jual beli tersebut rusak (batil).” (Syarh at-Talqin: 2/386).

Kedua: sebagian pakar menyatakan bahwa kepemilikan pada aset ‘Sukuk’ merupakan kepemilikan fiktif, bukan kepemilikan hakiki. Ustadz DR. Erwandi Tarmidzi, MA menyatakan: “Kepemilikan barang di tangan pemegang sukuk bukanlah sebenarnya hak milik mereka. Karena barang yang dibeli adalah aset vital negara yang tidak mungkin dipindahtangankan kepada siapapun. Dan ini bertentangan dengan konsekuensi akad bahwa barang yang telah dibeli sepenuhnya menjadi milik pembeli; dia dapat menjualnya, menghibahkan ataupun mewakafkannya kepada siapa saja yang dia kehendaki dan hal ini tentu tidak mungkin akan berlaku dalam barang yang dijadikan underlying akad sukuk.” (Erwandi Tarmidzi, Sukuk Ijarah. Hal: 5).

Pembahasan:

Pertama: untuk mengatasi ini, Majma’ al-Fiqh al-Islami mengeluarkan himbauan agar ‘Sukuk’ yang diterbitkan tidak dibuat persyaratan agar dibeli kembali oleh Emiten. Tetapi hanya dengan janji akan dibeli kembali, maka itu tidak apa-apa.

Majma’ al-Fiqh al-Islami dalam keputusannya nomer 5 D 4/80/88 menyatakan:

لا يجوز أن تشتمل نشرة الإصدار، ولا صك المقارضة الصادر بناء عليها على ‌نص ‌يلزم ‌بالبيع، ولو كان معلقًا، أو مضافًا للمستقبل، وإنما يجوز أن يتضمن صك المقارضة وعدًا بالبيع، وفي هذه الحالة لا يتم البيع إلَاّ بعقد بالقيمة المقدرة من الخبراء، وبرضاء الطرفين

“Tidak diperbolehkan ketika mengeluarkan Sukuk -baik itu Sukuk Muqaradhah- memberikan pernyataan tentang kewajiban dibeli kembali (oleh Emiten, pen), meskipun bersifat ta’liq atau dinisbatkan ke masa depan. Yang diperbolehkan adalah menjamin bahwa Sukuk tersebut dijanjikan dapat dibeli kembali. Maka dalam keadaan ini tidak sempurna pembelian (yang dijanjikan tersebut, pen) kecuali dengan akad baru dengan harga yang telah ditetapkan oleh para pakar dan dengan kerelaan dari kedua belah pihak.” (Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islami: 4/1727).

Kedua: jika berupa ‘Sukuk Mudharabah’ atau ‘Sukuk Syirkah’, maka diperbolehkan pernyataan kewajiban dibeli kembali oleh Emiten. Yang demikian karena yang dianggap bukanlah jual beli Sukuk yang mirip ‘Bai’ al-Wafa’, tetapi Sukuk tersebut mewakili akad Mudharabah yang dibatasi dengan tempo tertentu. Sebagian ulama memperbolehkan ‘Akad Mudharabah dengan persyaratan batas waktu tertentu semisal setahun. Ketika Sukuk tersebut dibeli kembali oleh Emiten, berarti lama waktu Mudharabah yang dipersyaratkan telah habis dan pemegang Sukuk mendapatkan bagi hasilnya.

Al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali (wafat tahun 620 H) rahimahullah menyatakan:

ويَصِحُّ ‌تَأْقِيتُ ‌المُضارَبةِ، مثلُ أن يقولَ: ضَارَبْتُكَ على هذه الدَّرَاهِم سَنَةً، فإذا انْقَضَتْ فلا تَبِعْ، ولا تَشْتَرِ. قال مُهَنَّا: سَأَلْتُ أحمدَ عن رَجُلٍ أعْطَى رَجُلًا ألْفًا مُضَارَبَةً شَهْرًا، قال: إذا مَضَى شَهْرٌ يكون قَرْضًا. قال: لا بَأْسَ به

“Dan dianggap sah jika memberikan jangka waktu dalam Aqad Mudharabah, seperti ucapan: “Aku bermudharabah denganmu dengan uang Dirham ini selama setahun. Ketika jatuh tempo, maka hasilnya jangan kamu jual dan jangan kamu beli. (yakni: hentikan proses Mudharabah, pen).” Muhanna berkata: “Aku bertanya kepada Ahmad tentang seseorang yang memberikan kepada orang lain seribu Dirham dengan akad Mudharabah selama sebulan.” Beliau menjawab: “Jika telah sampai sebulan maka hasil mudharabah tersebut menjadi hutang. Dan itu tidak apa-apa.” (Al-Mughni fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani: 7/177).

Ketiga: adapun ‘Sukuk Ijarah’, maka diterbitkan oleh Emiten dengan akad ‘al-Ijarah al-Muntahiyah bi at-Tamlik’, yaitu Emiten menyewa barang yang tampak seperti rumah, tanah, kapal dan lainnya kepada pemegang atau pembeli Sukuk, dan ketika jatuh tempo sukuk tersebut, maka barang-barang tersebut menjadi hak milik Emiten.

Pada hakekatnya ‘Akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi at-Tamlik’ merupakan penggabungan antara dua akad, yaitu akad ijarah dan akad al-Bai’. Pada awal waktu akad terjadi proses ijarah dan di akhir waktu akad menjadi proses ‘al-Bai’ (jual beli).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat tahun 728 H) rahimahullah menyatakan:

وَيَجُوزُ ‌الْجَمْعُ ‌بَيْنَ ‌الْبَيْعِ ‌وَالْإِجَارَةِ فِي عَقْدٍ وَاحِدٍ فِي أَظْهَرِ قَوْلَيْهِمْ

“Diperbolehkan menggabungkan antara al-Bai’ (jual beli) dan al-Ijarah (sewa dan upah) dalam satu akad dalam pendapat yang paling jelas di antara kedua pendapat ulama.” (Al-Fatawa al-Kubra: 5/411).

Al-Imam Abul Qasim Ibnu Juzai al-Kalbi al-Maliki (wafat tahun 741 H) rahimahullah juga menyatakan:

ويجوز ‌الجمع ‌بين ‌البيع ‌والإجارة خلافا لهما

“Diperbolehkan menggabungkan antara jual beli dan al-Ijarah dalam satu akad dalam rangka menyelisihi keduanya (yakni: Malik dan Asyhab, pen).” (Al-Qawanin al-Fiqhiyah: 172).

Keempat: kepemilikan aset yang dijadikan underlying asset dalam ‘Sukuk’ merupakan kepemilikan dalam jaminan atau ‘Fi adz-Dzimmah’. Sehingga akad yang terjadi dalam Sukuk -selain akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi at-Tamlik– adalah akad ‘al-Ijarah al-Maushufah fi adz-Dzimmah’, yaitu menyewakan objek aset secara kriteria, tetapi objek tersebut belum wujud.

Disebutkan dalam Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islami:

اتفقت المذاهب الأربعة على جواز ‌الإجارة ‌الموصوفة في الذمة، ولم يشترطوا فيها وجود العين عند العقد، لأنها في هذا مثل السلم  ، على صحة تأجيل المنفعة فيها إلى وقت معلوم، كما اتفقت المذاهب الثلاثة (عدا الشافعية) على جواز إضافة إجارة العين المعينة إلى زمن مستقبل.

“Keempat madzhab bersepakat atas bolehnya ‘al-Ijarah al-Maushufah fi adz-Dzimmah’, dan mereka tidak mempersyaratkan wujudnya aset secara hakiki ketika akad, karena dalam hal ini menyerupai akad ‘Salam’, dengan bolehnya menunda manfaat sampai waktu tertentu, sebagaimana ketiga madzhab (selain Syafi’iyah) bersepakat atas bolehnya menyandarkan ‘ijarah atas barang yang nyata atau hakiki’ kepada masa yang akan datang.” (Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islami: 12/252).

Sehingga akad antara Wali Amanat atau SPV (Special Purpose Vehicle) dengan Emiten adalah akad ‘al-Ijarah al-Muntahiyah bi at-Tamlik’. Sedangkan akad antara Wali Amanat atau SPV dengan pembeli dan pemegang Sukuk adalah akad ‘al-Ijarah al-Maushuf fi adz-Dzimmah’.

Majma’ al-Fiqh al-Islami ad-Dauli juga memberikan advise (saran) dalam keputusan no. 137 (3/15):

الأول: الحكم في إصدار صكوك بملكية الأعيان المؤجرة إجارة منتهية بالتمليك على من اشتريت منه تلك الأعيان الثاني: حكم إصدار الصكوك وتداولها في إجارة الموصوف في الذمة

Pertama: Hukum di dalam menerbitkan ‘Sukuk’ atas kepemilikan barang-barang yang disewakan adalah ‘Ijarah Muntahiyah bi at-Tamlik’ atas orang yang membeli barang-barang tersebut. Kedua: Hukum menerbitkan sukuk dan mengedarkannya adalah dalam konteks ijarah al-Maushuf fi adz-Dzimmah” (https://iifa-aifi.org/ar/2148.html).

Saham dan Saham Syariah

Saham dapat diartikan sebagai tanda penyertaan modal seseorang atau pihak (badan usaha) pada suatu perusahaan atau Perseroan Terbatas.

Dengan menyertakan modal tersebut, maka pihak tersebut memiliki klaim (hak) atas pendapatan perusahaan, aset perusahaan, dan berhak hadir dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Di pasar sekunder (bursa) atau dalam aktivitas perdagangan saham sehari-hari, harga-harga saham mengalami fluktuasi baik berupa kenaikan maupun penurunan. Pembentukan harga saham terjadi karena adanya permintaan dan penawaran atas saham tersebut. Permintaan dan penawaran atas suatu dipengaruhi banyak faktor, baik yang sifatnya spesifik berhubungan saham tersebut (kinerja perusahaan dan industri dimana perusahaan tersebut berada) maupun faktor yang sifatnya makro atau eksternal, seperti perkembangan tingkat suku bunga, inflasi, nilai tukar, dan faktor-faktor non ekonomi seperti kondisi sosial dan politik. (https://sikapiuangmu.ojk.go.id/FrontEnd/CMS/Category/64).

Menurut OJK (Otoritas Jasa Keuangan), Suatu saham dapat dikategorikan sebagai saham syariah jika saham tersebut memenuhi persyaratan berikut ini:

Pertama: Emiten dan Perusahaan Publik yang menerbitkan saham, secara jelas menyatakan dalam anggaran dasarnya bahwa kegiatan usaha Emiten dan Perusahaan Publik tidak bertentangan dengan Prinsip-prinsip syariah.

Kedua: Emiten dan Perusahaan Publik tidak menyatakan dalam anggaran dasarnya bahwa kegiatan usaha Emiten dan Perusahaan Publik tidak bertentangan dengan Prinsip-prinsip syariah, namun memenuhi kriteria sebagai berikut:

Kriteria pertama: kegiatan usaha tidak bertentangan dengan prinsip syariah sebagaimana diatur dalam peraturan IX.A.13, yaitu tidak melakukan kegiatan usaha: perjudian dan permainan yang tergolong judi; perdagangan yang tidak disertai dengan penyerahan barang/jasa; perdagangan dengan penawaran/permintaan palsu; bank berbasis bunga; perusahaan pembiayaan berbasis bunga; jual beli risiko yang mengandung unsur ketidakpastian(gharar) dan/atau judi (maisir), antara lain asuransi konvensional; memproduksi, mendistribusikan, memperdagangkan dan/atau menyediakan barang atau jasa haram zatnya (haram li-dzatihi), barang atau jasa haram bukan karena zatnya (haram li-ghairihi) yang ditetapkan oleh DSN-MUI; dan/atau, barang atau jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat; melakukan transaksi yang mengandung unsur suap (risywah);

Kriteria kedua: rasio total hutang berbasis bunga dibandingkan total ekuitas tidak lebih dari 82%, dan

Kriteria ketiga: rasio total pendapatan bunga dan total pendapatan tidak halal lainnya dibandingkan total pendapatan usaha dan total pendapatan lainnya tidak lebih dari 10%. (https://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/Pages/Pasar-Modal-Syariah.aspx).

Pembahasan:

Pertama: Majma’ al-Fiqh al-Islami yang berkedudukan di Jeddah menetapkan:

أن ‌الأصل ‌في ‌المعاملات ‌الحِل ‌فإن ‌تأسيس ‌شركة ‌مساهمة ذات أغراض وأنشطة مشروعة أمر جائز

“Bahwa asal di dalam bab Muamalah adalah halal. Maka mendirikan syirkah atau perusahaan berdasarkan saham penyertaan modal yang mempunyai tujuan dan kegiatan tertentu adalah perkara yang diperbolehkan.” (Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islami: 7/418).

Di antara dalilnya adalah ijma’ kaum muslimin. Al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali (wafat tahun 620 H) rahimahullah menyatakan:

وأَجْمَعَ المسلِمونَ ‌على ‌جَوَازِ ‌الشَّرِكَةِ في الجُمْلَةِ، وإنَّما اخْتَلَفُوا في أنْواعٍ منها

“Kaum muslimin bersepakat atas bolehnya akad Syirkah secara global. Mereka hanyalah berselisih di dalam beberapa macamnya saja.” (Al-Mughni fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani: 7/109).

Kedua: haramnya jual beli saham Emiten atau perusahaan yang anggaran dasarnya dibangun diatas kegiatan yang diharamkan seperti bermuamalah dengan riba, produksi atau perdagangan barang-barang yang diharamkan.

Majma’ al-Fiqh al-Islami menetapkan:

لا خلاف في حُرمة الإسهام ‌في ‌شركات ‌غرضها ‌الأساسي ‌محرم، كالتعامل بالربا أو إنتاج المحرمات أو المتاجرة بها

“Tidak ada perbedaan pendapat tentang haramnya membeli saham di dalam syirkah atau perusahaan yang anggaran dasarnya adalah perkara yang diharamkan, seperti bermuamalah dengan riba, atau produksi dan perdagangan barang-barang yang diharamkan.” (Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islami: 7/418).

Ketiga: haramnya jual beli saham syirkah campuran, dengan arti perusahaan tersebut kegiatan dasarnya adalah mubah, akan tetapi juga melakukan muamalah yang haram seperti mengambil bunga bank, memberikan pinjaman dengan menarik faedah dan sebagainya.

Majma’ al-Fiqh al-Islami menetapkan:

‌لا ‌يجوز ‌لمسلمٍ ‌شراء ‌أسهم ‌الشركات والمصارف إذا كان في بعض معاملاتها رِبًا، وكان المشتري عالماً بذلك. وإذا اشترى شخصٌ وهو لا يعلم أنَّ الشركة تتعامل بالرِبا، ثم علم فالواجب عليه الخروج منها

“Tidak boleh bagi seorang muslim membeli saham-saham dari Syirkah atau Perusahaan, jika sebagian muamalahnya adalah riba dan si pembeli saham mengetahuinya. Jika ia membeli saham dalam keadaan tidak mengetahui bahwa syirkah tersebut bermuamalah dengan riba, kemudian ia mengetahuinya, maka wajib baginya untuk keluar dari saham tersebut.” (Taudhih al-Ahkam Syarh Bulugh al-Maram: 4/542).

Keempat: pada dasarnya yang disyariatkan adalah jual beli saham yang sesuai dengan prinsip syariah secara murni, tanpa campuran perkara yang haram. Akan tetapi ini mustahil di dalam muamalah kontemporer. Maka solusinya adalah dikembalikan kepada mayoritas dan keumuman. Maka jika muamalah haramnya lebih banyak dari halalnya maka, maka hukumnya haram dan sebaliknya.

Al-Allamah Syihabuddin al-Qarafi al-Maliki (wafat tahun 684 H) rahimahullah menjelaskan:

وَذَلِكَ أَنَّ ‌الْأَصْلَ ‌اعْتِبَارُ ‌الْغَالِبِ، وَتَقْدِيمُهُ عَلَى النَّادِرِ، وَهُوَ شَأْنُ الشَّرِيعَةِ، وَأَمْثِلَتُهُ لَا تُحْصَى كَثْرَةً مِنْهَا تَقْدِيمُ طَهَارَةِ الْمِيَاهِ، وَعُقُودِ الْمُسْلِمِينَ لِأَنَّهُ الْغَالِبُ

“Yang demikian karena asal dari penentuan hukum adalah menimbang keumuman atau kebanyakan. Perkara yang banyak didahulukan daripada perkara yang jarang. Ini adalah keadaan syariat. Contohnya sangat banyak, tidak bisa dihitung. Diantaranya adalah mendahulukan kesucian air dan akad-akad kaum muslimin, karena itu yang paling banyak..dst.” (Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq: 4/170).

Al-Imam Muhammad bin Dawud ash-Shaidalani (wafat tahun 427 H) rahimahullah menyatakan:

فالعبرة ‌بالغالب ‌الشائع، لا بالقليل النادر

“Yang dianggap adalah perkara yang menjadi keumuman yang banyak terjadi, bukan perkara yang sedikit dan jarang.” (Al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyah li ash-Shaidalani: 425).

Batasan banyak dan sedikit adalah sepertiga atau 33,33 %. Kurang dari angka tersebut adalah sedikit dan sepertiga ke atas disebut banyak.

Al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali (wafat tahun 620 H) rahimahullah menjelaskan:

قال الأَثْرَمُ: قال أحمدُ: إنَّهم يَسْتَعْمِلونَ الثُّلُثَ فى سَبْعَ عَشَرَةَ مَسْأَلَةٍ. ولأنَّ ‌الثُّلُثَ ‌فى ‌حَدِّ ‌الكَثْرَةِ، وما دونه فى حَدِّ القِلَّةِ، بدَليلِ قولِ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فى الوَصِيَّةِ: “الثُّلُثُ، والثُّلُثُ كَثِيرٌ”. فيَدُلُّ هذا على أنَّه آخِرُ حَدِّ الكَثْرَةِ، فلهذا قُدِّرَ به

“Al-Atsram berkata: “Ahmad berkata: “Para ulama menggunakan kata ‘sepertiga’ di dalam 17 masalah fikih. Yang demikian karena ‘sepertiga’ adalah batasan banyak. Kurang dari itu disebut sedikit, dengan dalil sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam masalah wasiat: “Jangan sepertiga. Sepertiga itu banyak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Maka ini (yakni: sepertiga, pen) adalah batas minimal dari ukuran banyak. Oleh karena itu ukuran banyak dihitung dengan sepertiga ke atas.” (Al-Mughni fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani: 6/179-180).

Sehingga pendapatan haram perusahaan atau Emiten tersebut harus kurang dari 33,3 % dari total pendapatan perusahaan tersebut. Wallahu a’lam.

Reksadana dan Reksadana Syariah

Reksa Dana adalah wadah untuk menghimpun dana masyarakat yang dikelola oleh badan hukum yang bernama Manajer Investasi, untuk kemudian diinvestasikan ke dalam surat berharga seperti : saham, obligasi, dan instrumen pasar uang. (https://sikapiuangmu.ojk.go.id/FrontEnd/CMS/Article/291).

Reksa Dana Syariah adalah reksa dana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai pasar modal dan peraturan pelaksanaannya yang pengelolaannya tidak bertentangan dengan prinsip syariah di pasar modal. (Peraturan OJK: 33 /POJK.04/2019, tentang Penerbitan dan Persyaratan Reksa Dana Syariah).

Reksadana syariah merupakan reksadana yang dijalankan sesuai dengan syariah Islam, mengharamkan riba dan usaha-usaha yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Sebab bahaya riba dalam Islam dan usaha lainnya yang diharamkan dalam Islam merupakan hal yang dapat merugikan para pelakunya maupun orang lain. (https://dalamislam.com/info-islami/hukum-reksadana-dalam-islam).

Reksa dana sendiri memiliki banyak manfaat diantaranya:

Pertama: Memiliki Biaya Rendah, karena dana yang dikumpulkan dari banyak investor dan kemudian dikelola secara profesional, hal ini sejalan dengan besarnya kemampuan untuk melakukan investasi tersebut serta menghasilkan keuntungan reksa dana yakni  efisiensi dalam biaya transaksi.

Kedua: Dikelola oleh Manajemen Profesional. Pengelolaan portofolio suatu reksa dana dilaksanakan oleh Manajer Investasi yang memang mengkhususkan keahliannya dalam hal pengelolaan dana. Peran Manajer Investasi sangat penting mengingat Pemodal individu pada umumnya mempunyai keterbatasan waktu, sehingga tidak dapat melakukan riset secara langsung dalam menganalisis harga efek serta mengakses informasi ke pasar modal.

Ketiga: Transparansi Informasi. Setiap reksa dana wajib memberikan informasi atas perkembangan portofolionya dan biayanya secara kontinyu sehingga pemegang Unit Penyertaan dapat memantau keuntungan reksa dana, biaya, dan risiko setiap saat. Pengelola Reksa Dana wajib mengumumkan Nilai Aktiva Bersih (NAB) nya setiap hari di surat kabar serta menerbitkan laporan keuangan tengah tahunan dan tahunan serta prospektus secara teratur sehingga Investor dapat memonitor perkembangan investasinya secara rutin.

Keempat: Likuiditas yang Tinggi. Agar investasi yang dilakukan berhasil, setiap instrumen investasi harus mempunyai tingkat likuiditas yang cukup tinggi. Dengan demikian, Pemodal dapat mencairkan kembali Unit Penyertaannya setiap saat sesuai ketetapan yang dibuat masing-masing reksa dana sehingga memudahkan investor mengelola kasnya. Reksa dana terbuka wajib membeli kembali Unit Penyertaannya sehingga sifatnya sangat likuid.

Kelima: Diversifikasi Investasi. Diversifikasi atau yang biasa disebut penyebaran investasi yang terwujud dalam portofolio akan mengurangi risiko, karena uang atau kekayaan reksa dana diinvestasikan pada berbagai jenis bursa efek sehingga risikonya pun juga tersebar. Dengan kata lain, risikonya tidak sebesar risiko bila seorang membeli satu atau dua jenis saham atau bursa efek secara individu. (https://www.cimbniaga.co.id/id/inspirasi/perencanaan/keuntungan-reksa-dana-berapa-persen-per-tahun).

Pembahasan:

Pertama: dalam bahasa fikih kontemporer, reksadana disebut dengan ‘Shunduq al-Istitsmar’. Disebutkan dalam Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islami:

المراد من ‌صندوق ‌الاستثمار هو وعاء للاستثمار له ذمة مالية مستقلة يهدف إلى تجميع الأموال واستثمارها في مجالات محددة وتدير الصندوق شركة استثمار تمتلك تشكيلة من الأوراق المالية

“Yang dimaksud ‘Reksadana’ adalah suatu wadah untuk investasi yang mempunyai jaminan keuangan tersendiri, yang bertujuan untuk mengumpulkan dana (dari masyarakat) dan mengembangkannya dalam bidang yang terbatas. Reksadana dikelola oleh Syirkah (perusahaan) Manajer Investasi yang diinvestasikan dalam bentuk surat-surat berharga.” (Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islami: 9/778).

Kedua: kegiatan menghimpun dana masyarakat dalam Reksadana sangat dianjurkan agar harta mereka tidak tergerus oleh inflasi dan zakat.

Di dalam kisah tiga orang yang tertutup batu di dalam gua, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkisah:

وَقَالَ الثَّالِثُ: اللَّهُمَّ إِنِّي اسْتَأْجَرْتُ أُجَرَاءَ، فَأَعْطَيْتُهُمْ أَجْرَهُمْ غَيْرَ رَجُلٍ وَاحِدٍ تَرَكَ الَّذِي لَهُ وَذَهَبَ، فَثَمَّرْتُ أَجْرَهُ حَتَّى كَثُرَتْ مِنْهُ الأَمْوَالُ، فَجَاءَنِي بَعْدَ حِينٍ فَقَالَ: يَا عَبْدَ اللَّهِ أَدِّ إِلَيَّ أَجْرِي، فَقُلْتُ لَهُ: كُلُّ مَا تَرَى مِنْ أَجْرِكَ مِنَ الإِبِلِ وَالبَقَرِ وَالغَنَمِ وَالرَّقِيقِ، فَقَالَ: يَا عَبْدَ اللَّهِ لَا تَسْتَهْزِئُ بِي، فَقُلْتُ: إِنِّي لَا أَسْتَهْزِئُ بِكَ، فَأَخَذَهُ كُلَّهُ، فَاسْتَاقَهُ، فَلَمْ يَتْرُكْ مِنْهُ شَيْئًا، اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ، فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ، فَانْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ، فَخَرَجُوا يَمْشُونَ

“Orang ketiga juga berdo’a: “Ya Allah, dulu aku punya beberapa pegawai. Gajinya aku berikan kepada mereka. Namun, ada satu pegawai yang berhenti bekerja dan pergi meninggalkan jatah gajinya. Gajinya itupun aku kembangkan (baca: aku investasikan, pen) hingga menghasilkan banyak harta. Setelah beberapa waktu, pegawai itu datang menemuiku. Ia menagih padaku: “Wahai hamba Allah, saya ingin mengambil gajiku yang belum saya ambil dahulu.” Maka aku menjawab: “Semua yang kamu lihat ini, berupa unta, sapi, kambing, dan budak adalah gajimu yang belum kamu ambil.” Maka ia menjawab: “Wahai hamba Allah! Jangan bercanda denganku!” Aku menjawab: “Saya tidak bercanda denganmu.” Kemudian semua harta diserahkan pada si pegawai tanpa sisa sedikitpun. Ya Allah, jikalau perbuatan itu benar-benar aku kerjakan ikhlas karena mengharap wajah-Mu, maka hilangkanlah kesulitan berupa batu besar yang ada di hadapan kami ini.’ Gua yang sebelumnya tertutup pun terbuka. Akhirnya mereka semua dapat keluar.” (HR. Al-Bukhari: 2272 dan Muslim: 2743 dari Ibnu Umar radhiyallahu anhum).

Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu juga berpesan:

اتَّجِرُوا ‌فِي ‌أَمْوَالِ ‌الْيَتَامَى لَا تَأْكُلُهَا الزَّكَاةُ

“Perdagangkanlah (baca: putarlah atau kelolalah, pen) harta-harta anak yatim agar tidak dimakan oleh zakat.”  (Atsar riwayat Malik dalam al-Muwaththa’: 12 (1/251)).

Ketiga: berinvestasi dalam reksadana diperbolehkan selama pengelolaan reksadana tidak melanggar syariat al-Islam. Disebutkan dalam Fatawa as-Syabkah al-Islamiyah:

والحاصل أنه إذا لم يعلن في نشرة ‌صندوق ‌الاستثمار هذا أنه صندوق استثمار إسلامي، ويعلم من حاله وحال القائمين أنه يلتزم فيه بالضوابط الشرعية فلا يجوز الاكتتاب فيه

“Kesimpulannya jika perusahan Manajer Investasi tidak mengumumkan ketika mengedarkan reksadana, bahwa itu adalah reksadana Islami (baca: reksadana syariah, pen), sedangkan telah diketahui bahwa reksadana tersebut dan para pengelolanya sangat berpegang dengan batasan-batasan syariat di dalamnya, maka tidak boleh berinvestasi di situ.” (Fatawa Syabkah al-Islamiyah: 104399 (12/8547)).

Al-Allamah Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah pernah ditanya terkait ‘Reksadana’:

السؤال:  ما حكم التَّعامل في أحد البنوك المحلية في صناديق الاستثمار، ويكون عقد بين البنك وواضع النقود بالربح والخسارة؟

الجواب: هذا إذا أُمِن، لا بدّ أن يكون من طريق الربح والخسارة، يعني: من طريق المضاربة، جزء مشاع، يُعطيه مئة ألف أو أكثر أو أقلّ ويقول: تعمل فيها بالمضاربة، يشتري سيارات، يشتري عملات ويبيعها، يقول: لك النصف، أو لك الربع، أو لك الخمس، لا بأس.  أما فائدة معينة: لك 5%، 10%، هذا الربا، ما يجوز.  لكن إذا كان بربع الحاصل: ربع الربح، عُشر الربح، يعني 10% من الربح، 20، 50،  النصف لا بأس، هذه تُسمَّى المضاربة، وهي جائزة عند جميع العلماء، لكن هل يُؤْمَنون؟ هذا محل نظرٍ، هل يُؤْمَنون على هذه العملية، أو يبيعون بالربا؟ بعضهم لا يُؤْمَن، وأشكّ أنهم يُؤْمَنون في هذا الشيء؛ لأنهم قد اعتادوا الربا، لكن إن كان مع أناسٍ مأمونين فهذا طيبٌ.

“Pertanyaan: Bagaimana hukumnya bermuamalah dengan bank lokal dalam Reksadana. Akad yang terjadi antara Bank dan pemodal adalah berdasarkan ‘Loss and Profit Sharing’ (untung dan rugi ditanggung bersama, pen)?

Jawaban: Ini jika dianggap aman, maka diharuskan dengan cara ‘Loss and Profit Sharing’, yaitu melalui akad Mudharabah. Dalam penyertaan ia memberikan uang 100 ribu atau lebih atau kurang, dan ia berkata kepada bank: “Investasikan uang ini dengan cara Mudharabah, bisa untuk membeli mobil, atau membeli mata uang dan menjualnya. Kemudian kamu mendapatkan separuh (keuntungan) atau ¼ atau 1/5 dan sebagainya, maka ini tidak apa-apa.

Adapun dengan bunga yang sudah ditentukan seperti 5% atau 10% dan sebagainya, maka ini riba, tidak boleh. Adapun jika dengan ¼ hasil atau ¼ keuntungan atau 1/10 keuntungan, yakni 10% dari keuntungan, atau 20% atau 50% atau separuh dan sebagainya, maka ini tidak apa-apa. Ini disebut dengan Mudharabah. Ini diperbolehkan menurut semua ulama. Akan tetapi apakah merasa aman (jika dikelola oleh bank)? Ini perlu ditinjau. Apakah merasa aman untuk terbebas dari riba? Sebagiannya tidak dianggap aman. Dan aku ragu kalau mereka aman dari riba karena mereka sudah terbiasa dengan riba. Akan tetapi diserahkan kepada orang-orang yang bisa dipercaya (seperti Manajer Investasi Syariah, pen), maka ini bagus.” (https://binbaz.org.sa/fatwas/21332/).

Alhamdulillah orang-orang yang terpercaya yang dinasehatkan oleh al-Allamah Ibnu Baaz rahimahullah di atas untuk diserahi reksadana syariah di Indonesia kini telah banyak bermunculan. Orang-orang tersebut terkumpul dalam Badan Hukum Manajemen Investasi Syariah.

Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 61/POJK.04/2016 tahun 2016 tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal Pada Manajer Investasi disebutkan, untuk Manajer Investasi Syariah, wajib mencantumkan dalam anggaran dasar mengenai kegiatan dan jenis usaha, cara pengelolaan atau jasa yang diberikan dilakukan berdasarkan prinsip syariah di pasar modal. Dalam susunan direksi, Manajer Investasi Syariah wajib memiliki minimal satu orang anggota direksi yang mempunyai pengetahuan di bidang keuangan syariah atau pengalaman kerja di bidang keuangan syariah paling singkat satu tahun. (https://www.hukumonline.com/berita/a/mengintip-penerapan-prinsip-syariah-oleh-manajer-investasi-di-pasar-modal-lt586cf7c8e6ed4#.

Cleansing dalam Investasi Syariah

Proses cleansing dana syariah adalah suatu proses pembersihan reksa dana syariah dari pendapatan yang sifatnya tidak sesuai dengan prinsip syariah atau hal-hal yang dapat mengganggu status kehalalan dari uang yang didapat selama proses investasi berlangsung. Dari proses cleansing ini, sebagian besar uang tidak langsung masuk kepada pemilik modal tetapi akan diarahkan pada hal-hal yang bersifat amal.

Ketika seorang investor menempatkan dananya untuk berinvestasi di reksa dana, rekening bank kustodian yang digunakan umumnya merupakan bank umum karena belum ada bank syariah yang menjadi bank kustodian. Dana yang disetorkan masyarakat ada yang langsung ditarik dan dipindahkan ke rekening utama, ada pula yang dibiarkan mengendap dulu beberapa waktu dan baru ditarik jika jumlahnya sudah signifikan. Dari dana yang mengendap tersebut, walaupun kecil umumnya bank akan memberikan bunga. Pendapatan bunga itulah selanjutnya harus dicatat secara terpisah karena tidak bisa diakui sebagai pendapatan dan selanjutnya akan diamalkan. Proses inilah yang kemudian disebut dengan cleansing. (https://sikapiuangmu.ojk.go.id/FrontEnd/CMS/Article/20646).

Tugas tambahan manajemen investasi syariah adalah membersihkan hasil investasi dari berbagai hal yang dianggap riba atau melanggar prinsip agama. Dengan demikian, hasil yang diterima benar-benar murni dari pengelolaan investasi berdasarkan prinsip syariat Islam.

Kriteria reksa dana syariah diatur dalam fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001. Dibentuk pula Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang menjadi pengawas kerja produk investasi termasuk pertimbangan pemanfaatan dana sosial, edukasi dan promosi. Berdasarkan fatwa yang sama pula disebutkan jika manajer investasi harus melakukan purifikasi portofolio. (https://ajaib.co.id/memahami-kerja-manajemen-investasi-syariah-agar-untung/).

Pembahasan:

Pertama: pembersihan atau ‘cleansing’ dalam bahasa Arab disebut dengan ‘at-Tath-hir’.

Al-Allamah Nasywan bin Hamid al-Himyari (wafat tahun 573 H) rahimahullah menyatakan:

‌‌‌التطهير: طَهّره من النجاسة، قال الله تعالى: لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ. وطهّره: أي نزهه عن الإثم والدنس، ومنه قوله تعالى: وَيُطَهِّرَكُمْ ‌تَطْهِيراً

“At-Tath-hir’ artinya adalah membersihkan dari najis. Allah ta’ala berfirman: “Allah menurunkan atas kalian air dari langit untuk membersihkan kalian dengannya.” (QS. Al-Anfal: 11). ‘At-Tath-hir’ bisa juga berarti membersihkan seseorang dari dosa dan kotoran. Di antaranya adalah firman Allah ta’ala: “Dan agar Allah membersihkan kalian (wahai Ahlul Bait) dengan sebersihbersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33).” (Syams al-Ulum wa Dawa’ Kalam al-Arab min al-Kulum: 7/4172).

Kedua: harta yang haram secara dzatnya seperti bangkai, khomer dan harta ghashab, maka haruslah dimusnahkan dan tidak boleh dimanfaatkan. Daging hasil curian atau ghashab dihukumi seperti daging bangkai, sehingga wajib dimusnahkan.

Dari Ashim bin Kulaib dari ayahnya:

عَنْ رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ ‌فَأَصَابَ ‌النَّاسَ ‌حَاجَةٌ ‌شَدِيدَةٌ وَجَهْدٌ، وَأَصَابُوا غَنَمًا فَانْتَهَبُوهَا، فَإِنَّ قُدُورَنَا لَتَغْلِي إِذْ جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْشِي عَلَى قَوْسِهِ، فَأَكْفَأَ قُدُورَنَا بِقَوْسِهِ، ثُمَّ جَعَلَ يُرَمِّلُ اللَّحْمَ بِالتُّرَابِ، ثُمَّ قَالَ: «إِنَّ النُّهْبَةَ لَيْسَتْ بِأَحَلَّ مِنَ الْمَيْتَةِ» أَوْ «إِنَّ الْمَيْتَةَ لَيْسَتْ بِأَحَلَّ مِنَ النُّهْبَةِ»

“Dari seorang anshar, ia berkata: “Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah perjalanan, kemudian orang-orang tertimpa kesusahan dan kebutuhan yang sangat, kemudian mereka memperoleh kambing dengan cara merampasnya sebelum dibagi. Dan periuk-periuk kami mendidih, tiba-tiba Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang, beliau berjalan dengan membawa busurnya, lalu beliau menggulingkan periuk-periuk kami dengan busur beliau dan mengguling-gulingkan daging yang dimasak tersebut dengan tanah seraya bersabda: “Sesungguhnya mengambil bagian dari rampasan perang sebelum dibagi tidaklah lebih halal daripada bangkai atau tidaklah bangkai lebih halal daripada mengambil rampasan perang sebelum dibagi.” (HR. Abu Dawud: 2705 dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra dari jalan Abu Dawud: 18010 (9/105). Isnadnya di-jayyid-kan oleh Ibnul Mulaqqin dalam al-I’lam: 10/165 dan di-shahih-kan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud: 2424).

Al-Allamah Muhammad bin Ismail ash-Shan’ani (wafat tahun 1182 H) rahimahullah berkomentar:

وَفِيهِ التَّصْرِيحُ بِأَنَّهُ حَرَامٌ وَفِيهِ إتْلَافُ اللَّحْمِ لِأَنَّهُ مَيْتَةٌ فَعَرَفْت قُوَّةَ كَلَامِ أَهْلِ الظَّاهِرِ

“Di dalam hadits di atas terdapat pernyataan bahwa harta tersebut (yakni: rampasan sebelum dibagikan, pen) adalah haram, dan juga terdapat pelajaran bahwa daging tersebut dimusnahkan karena termasuk bangkai. Maka dapat diketahui kuatnya pendapat Madzhab Zhahiriyah.” (Subulus Salam Syarh Bulugh al-Maram: 2/525).

Ketiga: harta yang halal secara dzatnya, tetapi diusahakan dengan cara yang haram, seperti harta hasil dari riba atau dari pajak, maka haram dikonsumsi oleh pelakunya tetapi boleh disedekahkan dan dimanfaatkan untuk orang lain.

Ashim bin Kulaib menceritakan dari ayahnya:

عَنْ رَجُلٍ، مِنَ الْأَنْصَارِ، قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَنَازَةٍ، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ: «أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ، أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ»، فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ، ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ، فَأَكَلُوا، فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلُوكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ، ثُمَّ قَالَ: «‌أَجِدُ ‌لَحْمَ ‌شَاةٍ ‌أُخِذَتْ ‌بِغَيْرِ ‌إِذْنِ ‌أَهْلِهَا»، فَأَرْسَلَتِ الْمَرْأَةُ، قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أَرْسَلْتُ إِلَى الْبَقِيعِ يَشْتَرِي لِي شَاةً، فَلَمْ أَجِدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى جَارٍ لِي قَدِ اشْتَرَى شَاةً، أَنْ أَرْسِلْ إِلَيَّ بِهَا بِثَمَنِهَا، فَلَمْ يُوجَدْ، فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ بِهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَطْعِمِيهِ الْأُسَارَى

“Dari seorang laki-laki anshar, ia berkata: “Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengantarkan jenazah, kemudian aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di atas kubur berwasiat kepada orang yang menggali: “Perluaslah dari sisi kedua kakinya, perluaslah dari sisi kepalanya.” Kemudian tatkala kembali, beliau disambut seorang utusan seorang wanita yang mengundang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk makan, kemudian beliau datang dan makanan pun dihidangkan. Lalu beliau meletakkan tangannya pada makan kemudian orang-orang meletakkan tangan mereka pada makanan, lalu mereka makan. Kemudian orang-orang melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengunyah makanan di mulutnya, kemudian beliau berkata: “Saya dapatkan daging kambing yang diambil tanpa seizin pemiliknya.” Kemudian wanita tersebut mengirim utusan, ia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah mengirim utusan ke Baqi’ untuk membelikan kambing, lalu aku tidak mendapatinya. Lalu aku mengirim utusan kepada tetanggaku yang telah membeli kambing agar ia mengirimnya kepadaku dan diganti dengan harganya, namun aku tidak mendapatkanya. Lalu aku mengirim utusan kepada isterinya, kemudian wanita tersebut mengirimkan kambing tersebut kepadaku.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Berikanlah makanan ini kepada para tawanan!” (HR. Ahmad: 22509 dan Abu Dawud: 3332. Isnad-nya di-jayyid-kan oleh al-Iraqi dalam Takhrij al-Ihya’: 2/1074-5 dan di-shahih-kan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil: 3/196).

Al-Allamah Muhammad bin Ali asy-Syaukani (wafat tahun 1250 H) rahimahullah berkomentar:

وَفِيهِ تَجَنُّبُ مَا كَانَ مِنْ الْمَأْكُولَاتِ حَرَامًا أَوْ مُشْتَبِهًا، وَعَدَمُ الِاتِّكَالِ عَلَى تَجْوِيزِ إذْنِ مَالِكِهِ بَعْدَ أَكْلِهِ وَفِيهِ أَيْضًا أَنَّهُ يَجُوزُ صَرْفُ مَا كَانَ كَذَلِكَ إلَى مَنْ يَأْكُلُهُ كَالْأُسَارَى وَمَنْ كَانَ عَلَى صِفَتِهِمْ

“Di dalam hadits ini terdapat pelajaran tentang pentingnya menjauhi makanan yang haram atau syubuhat dan tidak hanya bersandar dengan ijin yang datang setelah konsumsi. Di dalamnya juga terdapat pelajaran bolehnya memanfaatkan harta tersebut (yakni: yang haram atau syubuhat, pen) untuk orang yang berhak seperti para tawanan dan orang-orang seperti mereka.” (Nail al-Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar: 5/385).

Keempat: Cara pembersihan harta dari kotoran riba dan harta kotor lainnya adalah dengan cara memanfaatkannya untuk kemaslahatan kaum muslimin. Demikianlah pendapat ulama Syafi’iyah.

Al-Imam Abu Zakariya an-Nawawi (wafat tahun 676 H) rahimahullah berkata:

قَالَ الْغَزَالِيُّ إذَا كَانَ مَعَهُ مَالٌ حَرَامٌ وَأَرَادَ التَّوْبَةَ وَالْبَرَاءَةَ مِنْهُ فَإِنْ كَانَ لَهُ مَالِكٌ مُعَيَّنٌ وَجَبَ صَرْفُهُ إلَيْهِ أَوْ إلَى وَكِيلِهِ فَإِنْ كَانَ مَيِّتًا وَجَبَ دَفْعُهُ إلَى وَارِثِهِ وَإِنْ كَانَ لِمَالِكٍ لَا يَعْرِفُهُ وَيَئِسَ مِنْ مَعْرِفَتِهِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَصْرِفَهُ فِي مَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ الْعَامَّةِ كَالْقَنَاطِرِ وَالرُّبُطِ وَالْمَسَاجِدِ وَمَصَالِحِ طَرِيقِ مَكَّةَ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا يَشْتَرِكُ الْمُسْلِمُونَ فِيهِ وَإِلَّا فَيَتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى فَقِيرٍ أَوْ فُقَرَاءَ…… وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ الْغَزَالِيُّ فِي هَذَا الْفَرْعِ ذَكَرَهُ آخَرُونَ مِنْ الْأَصْحَابِ وَهُوَ كَمَا قَالُوهُ ونقله الْغَزَالِيُّ أَيْضًا عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ وَغَيْرِهِ مِنْ السَّلَفِ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ وَالْحَارِثِ الْمُحَاسِبِيِّ وَغَيْرِهِمَا مِنْ أَهْلِ الْوَرَعِ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ إتْلَافُ هَذَا الْمَالِ وَرَمْيُهُ فِي الْبَحْرِ ‌فَلَمْ ‌يَبْقَ ‌إلَّا ‌صَرْفُهُ ‌فِي ‌مَصَالِحِ ‌الْمُسْلِمِينَ

“Al-Ghazali berkata: “Jika seseorang mendapatkan harta haram, sedangkan ia ingin bertaubat dan berlepas diri darinya, maka jika ada pemiliknya, maka wajib dikembalikan kepada pemiliknya atau kepada wakilnya. Jika pemiliknya sudah mati, maka diserahkan kepada ahli warisnya. Jika tidak diketahui siapa pemiliknya dan sudah putus asa dari pencariannya, maka hendaknya dimanfaatkan untuk kemaslahatan kaum muslimin secara umum, seperti pembangunan jembatan, masjid, ribath, kemaslahatan jalan menuju Makkah dan lainnya yang dimiliki oleh kaum muslimin secara berserikat. Dan jika tidak bisa, maka bisa disedekahkan kepada orang-orang fakir……dst. Pendapat al-Ghazali dalam cabang ini juga disebutkan oleh para sahabat kami (ulama Syafi’iyah) dan juga menjadi pendapat mereka. Al-Ghazali juga menukilkan pendapat ini dari Muawiyah bin Abu Sufyan dan lainnya dari kalangan as-Salaf, yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal, al-Harits al-Muhasibi dan lainnya dari orang-orang yang mempunyai sifat wara’. Yang demikian karena tidak diperbolehkan memusnahkan harta tersebut dan membuangnya ke laut. Sehingga tidak tersisa lagi, kecuali harus dipergunakan untuk kemaslahatan kaum muslimin.” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab: 9/351).

Kelima: demikian pula menurut ulama Malikiyah. Al-Imam Abu Abdillah al-Qurthubi al-Maliki (wafat tahun 671 H) rahimahullah menjelaskan:

قَالَ عُلَمَاؤُنَا إِنَّ سَبِيلَ التَّوْبَةِ مِمَّا بِيَدِهِ مِنَ الْأَمْوَالِ الْحَرَامِ إِنْ كَانَتْ مِنْ رِبًا ‌فليردها ‌على ‌من ‌أربى ‌عليه، ومطلبه إِنْ لَمْ يَكُنْ حَاضِرًا، فَإِنْ أَيِسَ مِنْ وُجُودِهِ فَلْيَتَصَدَّقْ بِذَلِكَ عَنْهُ

“Ulama kami (Malikiyah) berkata: “Sesungguhnya jalan bertaubat dalam harta haram yang ada di tangannya, jika berupa harta riba, maka hendaknya dikembalikan kepada pemiliknya semula dan pemiliknya dicari jika tidak hadir. Jika keberadaannya tidak diketahui, maka harta tersebut disedekahkan atas nama pemiliknya.” (Al-Jami’ li Ahkam al-Quran: 3/366).

Keenam: demikian pula menurut ulama Hanabilah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat tahun 728 H) rahimahullah menyatakan:

فَإِذَا كَانَ ‌إتْلَافُهَا ‌حَرَامًا ‌وَحَبْسُهَا ‌أَشَدَّ ‌مِنْ ‌إتْلَافِهَا تَعَيَّنَ إنْفَاقُهَا وَلَيْسَ لَهَا مَصْرِفٌ مُعَيَّنٌ فَتُصْرَفُ فِي جَمِيعِ جِهَاتِ الْبِرِّ وَالْقُرْبِ الَّتِي يُتَقَرَّبُ بِهَا إلَى اللَّهِ؛ لِأَنَّ اللَّهَ خَلَقَ الْخَلْقَ لِعِبَادَتِهِ وَخَلَقَ لَهُمْ الْأَمْوَالَ لِيَسْتَعِينُوا بِهَا عَلَى عِبَادَتِهِ فَتُصْرَفُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ. وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

“Jika memusnahkan harta tersebut hukumnya haram dan menahannya (baca: tidak diinfakkan dan tidak pula dimusnahkan, pen) juga lebih haram daripada memusnahkannya, maka harta tersebut wajib diinfakkan. Sedangkan harta tersebut tidak mempunyai tempat tasharruf. Maka harta tersebut di-tasharrufkan untuk semua jalan kebaikan dan jalan mendekatkan diri kepada Allah. Karena Allah menciptakan makhluk untuk beribadah kepada-Nya dan Allah juga menciptakan harta untuk dijadikan pertolongan dalam beribadah kepada-Nya. Maka harta tersebut ditasharrufkan di jalan Allah. Wallahu a’lam.” (Majmu’ al-Fatawa: 28/597).

Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah

Pengertian dari asuransi konvensional adalah suatu produk asuransi yang mengedepankan konsep dasar jual-beli risiko (transfer risk). Artinya, pada konsep asuransi konvensional, premi yang dibayarkan oleh nasabah bertujuan untuk mengalihkan risiko kerugian ke perusahaan asuransi. Nantinya, ketika terjadi risiko tertentu maka nasabah bisa mengajukan klaim atau ganti rugi kepada pihak asuransi sesuai kesepakatan dalam polis. (https://lifepal.co.id/media/asuransi-konvensional-ini-keuntungan-dan-kekurangannya/).

Asuransi syariah -menurut Fatwa DSN MUI tentang Asuransi Syariah Nomor 21/DSN-MUI/X/2001- adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset atau tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah.

Akad asuransi syariah yang dimaksud tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), riswah (suap), barang haram dan maksiat. Asuransi syariah juga disebut takaful atau tadhamun, ta’min. Dengan kata lain, asuransi syariah adalah sebuah usaha untuk saling melindungi dan tolong menolong di antara pemegang polis (peserta asuransi) melalui pengumumpulan dan pengelolaan dana tabarru. (https://www.cermati.com/artikel/asuransi-syariah-pengertian-keunggulan-dan-contohnya).

Pembahasan:

Pertama: asuransi konvensional disebut juga dengan asuransi komersial atau at-Ta’min at-Tijari. Sedangan Asuransi Syariah disebut juga dengan Asuransi Gotong-Royong atau at-Ta’min at-Ta’awuni.

Majma’ al-Fiqh al-Islami (Lembaga Fikih Islam Internasional) dalam keputusan no. 2 pada Daurah Mukamar ke-2 di Jeddah pada tanggal 10-16 Rabi’uts Tsani 1406 menetapkan:

الأول: أن عقد ‌التأمين ‌التجاري ذا القسط الثابت الذي تتعامل به شركات ‌التأمين ‌التجاري عقد فيه غرر كبير مفسد للعقد. ولذا فهو حرام شرعا

الثاني: أن العقد البديل الذي يحترم أصول التعامل الإسلامي هو عقد ‌التأمين ‌التعاوني القائم على أساس التبرع والتعاون

(Poin pertama): bahwa akad Asuransi Komersial Angsuran Tetap yang digunakan sebagai akad oleh perusahaan-perusahaan asuransi komersial adalah akad yang mengandung Gharar (penipuan) yang besar yang bisa merusak akad. Oleh karena itu, asuransi jenis ini adalah haram.

(Poin kedua): bahwa akad alternatif yang menghormati pokok-pokok muamalah al-Islam adalah akad Asuransi Gotong-Royong yang dibangun di atas asas tabarru’ (sedekah dan sukarela, pen) dan tolong-menolong.” (Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islami: 2/1054).

Kedua: Asuransi Konvensional diharamkan karena termasuk jual beli Gharar atau termasuk ‘Maysir’. Yang demikian karena barang yang diperjualbelikan adalah risiko, seperti risiko sakit, risiko kematian, risiko kecelakaan dan sebagainya.

Pengertian Risiko adalah suatu keadaan yang tidak pasti dan terdapat unsur bahaya, akibat atau konsekuensi yang bisa terjadi akibat proses yang sedang berlangsung maupun kejadian yang akan datang. Semua aktivitas individu maupun organisasi pasti mengandung risiko di dalamnya karena mengandung unsur ketidakpastian. (https://www.maxmanroe.com/vid/umum/pengertian-risiko.html).

Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata:

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ، وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang jual beli ‘al-Hashah’ dan juga melarang jual beli Gharar.” (HR. Muslim: 1513 dan Ibnu Majah: 2194).

Al-Allamah Ahmad bin Faris al-Qazwaini ar-Razi (wafat tahun 395 H) rahimahullah berkata:

وَمِنَ الْبَابِ: بَيْعُ ‌الْغَرَرِ، وَهُوَ ‌الْخَطَرُ الَّذِي ‌لَا ‌يُدْرَى أَيَكُونُ أَمْ لَا، كَبَيْعِ الْعَبْدِ الْآبِقِ، وَالطَّائِرِ فِي الْهَوَاءِ. فَهَذَا نَاقِصٌ لَا يَتِمُّ الْبَيْعُ فِيهِ أَبَدًا.

“Dan termasuk bab ini adalah jual beli ‘Gharar’. ‘Gharar’ adalah risiko yang tidak diketahui apakah akan terjadi ataukah tidak, seperti jual beli budak yang kabur, jual beli burung di udara. Maka akad ini kurang (baca: cacat, pen) sehingga jual beli tidak sempurna selama-lamanya.” (Maqayis al-Lughah: 4/381).

Ulama yang pertama kali mengingkari adanya asuransi perjalanan laut yang disebut ‘Saukarah’ adalah al-Allamah Ibnu Abidin al-Hanafi (wafat tahun 1252 H) rahimahullah. Beliau menyatakan:

وَاَلَّذِي يَظْهَرُ لِي: أَنَّهُ لَا يَحِلُّ لِلتَّاجِرِ أَخْذُ بَدَلِ الْهَالِكِ مِنْ مَالِهِ لِأَنَّ هَذَا الْتِزَامٌ مَا لَا يَلْزَمُ

“Yang jelas bagiku bahwa tidak halal bagi pedagang (yang telah membayar Saukarah, pen) untuk mengambil uang sebagai ganti hartanya yang rusak (akibat tenggelam atau terbakar, pen), karena ini adalah mewajibkan sesuatu yang tidak wajib.” (Radd al-Mukhtar ala ad-Durr al-Mukhtar: 4/170).

Ketiga: di antara alasan pengharaman Asuransi Komersial adalah kemiripannya dengan taruhan dan perjudian. Pada Asuransi Komersial terjadi jual beli ‘Risiko’. Dalam bahasa Arab, ‘Risiko’ disebut dengan ‘al-Makhathir’ atau ‘al-Khathar’. Saling memperebutkan risiko disebut ‘al-Mukhatharah’, yakni taruhan antara risiko kalah dan peluang menang.

Al-Imam Abu Bakar al-Jashshash al-Hanafi (wafat tahun 370 H) rahimahullah menyatakan:

وَلَا خِلَافَ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي تَحْرِيمِ ‌الْقِمَارِ وَأَنَّ ‌الْمُخَاطَرَةَ مِنْ ‌الْقِمَارِ; قَالَ ابْن عَبَّاسٍ: إنَّ ‌الْمُخَاطَرَةَ قِمَارٌ وَإِنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوا يُخَاطِرُونَ عَلَى الْمَالِ، وَالزَّوْجَةِ، وَقَدْ كَانَ ذَلِكَ مُبَاحًا إلَى أَنْ وَرَدَ تَحْرِيمُهُ

“Dan tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama tentang haramnya taruhan. Dan bahwa ‘mukhatharah’ (yakni: taruhan antara risiko kalah dan peluang menang, pen) termasuk taruhan (baca: judi). Ibnu Abbas berkata: “Sesungguhnya ‘mukhatharah’ itu termasuk taruhan (judi). Sesungguhnya orang-orang Jahiliyah itu melakukan taruhan dengan harta dan istri. Ketika itu hukumnya masih mubah, sampai datang ayat yang mengharamkannya.” (Ahkam al-Quran li al-Jashshash: 1/398).

Ayat yang mengharamkannya adalah firman Allah ta’ala:

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ‌إِنَّمَا ‌الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصابُ وَالْأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90).

Keempat: alternatif dari Asuransi Komersial adalah Asuransi Gotong Royong atau Asuransi Syariah. Asuransi Syariah sudah dicontohkan di jaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ الأَشْعَرِيِّينَ ‌إِذَا ‌أَرْمَلُوا فِي الغَزْوِ، أَوْ قَلَّ طَعَامُ عِيَالِهِمْ بِالْمَدِينَةِ جَمَعُوا مَا كَانَ عِنْدَهُمْ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ، ثُمَّ اقْتَسَمُوهُ بَيْنَهُمْ فِي إِنَاءٍ وَاحِدٍ بِالسَّوِيَّةِ، فَهُمْ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ

“Sesungguhnya orang-orang Asya’ariy jika mereka berperang atau harta kebutuhan keluarga mereka di Madinah menipis maka mereka mengumpulkan apa saja milik mereka pada satu kain lalu mereka membagi rata diantara mereka pada tiap masing-masing, maka mereka adalah bagian dariku dan aku adalah bagian dari mereka.” (HR. Al-Bukhari: 2486 dan Muslim: 2500).

Hadits di atas merupakan dalil disyariatkannya ‘Takaful’ atau ‘Asuransi’ di atas asas gotong-royong dan saling melindungi. Al-Qadhi Iyadh al-Yahshubi al-Maliki (wafat tahun 544 H) rahimahullah berkomentar:

وفى هذا الحديث فضل ‌المواساة والسماحة، وأنها كانت خلق نبينا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وخلق صدر هذه الأمة، وأشراف الناس

“Di dalam hadits ini terdapat pelajaran tentang keutamaan saling menolong dan memberikan keringanan, dan itu termasuk akhlak Nabi kita shallallahu alaihi wasallam dan akhlak generasi pertama umat ini dan orang-orang yang paling mulia.” (Ikmal al-Mu’lim bi Fawaid Muslim: 7/545).

Kelima: Contoh dari asuransi Gotong-Royong adalah tradisi Jimpitan. Jimpitan merupakan ekspresi dari kegotongroyongan. Setiap orang hanya menyumbangkan sejimpit barang. Ketika dilakukan bersama-sama, akan menjadi jumlah besar. Konsep jimpitan pun punya banyak istilah dengan ungkapan berbeda. Namun, istilah itu mengacu pada kesatuan semangat kebersamaan untuk bergotong royong menyelesaikan masalah. Tidak harus dengan barang, bisa pula dengan tenaga. (https://mediaindonesia.com/weekend/230822/jimpitan-karakter-sekaligus-ekspresi-budaya).

Contoh lainnya adalah Asuransi JKN atau BPJS Kesehatan. Jaminan Kesehatan Nasional dikelola dengan prinsip gotong royong. Dengan kewajiban semua peserta membayar iuran maka akan terjadi prinsip gotong royong dimana yang sehat membantu yang sakit, yang kaya membantu yang miskin. (https://promkes.kemkes.go.id/?p=5799).

Keenam: pengelola harta asuransi Syariah dianjurkan mengembangkan harta tersebut di dalam usaha atau investasi yang halal, agar tidak berkurang karena zakat dan juga berkurang nilainya karena inflasi.

Aslam Maula Umar (ulama tabi’in, wafat tahun 80 H) rahimahullah pernah bercerita:

خَرَجَ عَبْدُ اللَّهِ وَعُبَيْدُ اللَّهِ ابْنَا ‌عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي جَيْشٍ إِلَى الْعِرَاقِ فَلَمَّا قَفَلَا مَرَّا عَلَى أَبِي ‌مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ، وَهُوَ أَمِيرُ الْبَصْرَةِ، فَرَحَّبَ بِهِمَا وَسَهَّلَ، ثُمَّ قَالَ: لَوْ أَقْدِرُ لَكُمَا عَلَى أَمْرٍ أَنْفَعُكُمَا بِهِ لَفَعَلْتُ، ثُمَّ قَالَ: بَلَى هَاهُنَا مَالٌ مِنْ مَالِ اللَّهِ، أُرِيدُ أَنْ أَبْعَثَ بِهِ إِلَى أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ، فَأُسْلِفُكُمَاهُ فَتَبْتَاعَانِ بِهِ مَتَاعًا مِنْ مَتَاعِ الْعِرَاقِ، ثُمَّ تَبِيعَانِهِ بِالْمَدِينَةِ، فَتُؤَدِّيَانِ رَأْسَ الْمَالِ إِلَى أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ، وَيَكُونُ الرِّبْحُ لَكُمَا، فَقَالَا: وَدِدْنَا ذَلِكَ، فَفَعَلَ، وَكَتَبَ إِلَى ‌عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُمَا الْمَالَ، فَلَمَّا قَدِمَا بَاعَا فَأُرْبِحَا، فَلَمَّا دَفَعَا ذَلِكَ إِلَى ‌عُمَرَ قَالَ: «أَكُلُّ الْجَيْشِ أَسْلَفَهُ، مِثْلَ مَا أَسْلَفَكُمَا»؟ قَالَا: لَا، فَقَالَ ‌عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: «ابْنَا أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ، فَأَسْلَفَكُمَا، أَدِّيَا الْمَالَ وَرِبْحَهُ»، فَأَمَّا عَبْدُ اللَّهِ فَسَكَتَ، وَأَمَّا عُبَيْدُ اللَّهِ فَقَالَ: مَا يَنْبَغِي لَكَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، هَذَا لَوْ نَقَصَ هَذَا الْمَالُ أَوْ هَلَكَ لَضَمِنَّاهُ؟ فَقَالَ ‌عُمَرُ: أَدِّيَاهُ، فَسَكَتَ عَبْدُ اللَّهِ، وَرَاجَعَهُ عُبَيْدُ اللَّهِ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ جُلَسَاءِ ‌عُمَرَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ لَوْ جَعَلْتَهُ ‌قِرَاضًا؟ فَقَالَ ‌عُمَرُ: قَدْ جَعَلْتُهُ ‌قِرَاضًا، فَأَخَذَ ‌عُمَرُ رَأْسَ الْمَالِ وَنِصْفَ رِبْحِهِ، وَأَخَذَ عَبْدُ اللَّهِ وَعُبَيْدُ اللَّهِ ابْنَا ‌عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ نِصْفَ رِبْحِ الْمَالِ

“Abdullah dan Ubaidullah, kedua putra Umar bin al-Khattab, pernah ikut dalam sebuah pasukan menuju Irak. Tatkala kembali, mereka berdua melewati Abu Musa al-Asy’ari yang pada saat itu menjadi gubernur Bashrah. Abu Musa kemudian menyambut keduanya dengan senang hati seraya berkata: “Sekiranya aku bisa memberikan sesuatu yang dapat bermanfaat kepada kalian di hari kemudian, niscaya akan aku lakukan.” Abu Musa berkata lagi: “Oh ya, ini ada harta dari harta Allah, saya ingin menyerahkannya kepada Amirul Mukminin, saya pinjamkan harta ini kepada kalian berdua sehingga kalian bisa berbelanja barang dagangan di Irak dan menjualnya kembali sesampai di Madinah. Nanti serahkanlah modalnya kepada Amirul Mukiminin, dan keuntungannya untuk kalian berdua. Mereka berdua berkata: “Kami senang dengan hal itu.” Maka Abu Musa melakukannya dan menulis pesan untuk Amirul Mukminin agar dia mengambil harta darinya yang dititipkan kepada kedua anaknya. Tatkala mereka berdua tiba (di Madinah) mereka menjual dagangannya hingga mendapatkan keuntungan. Namun tatkala hendak menyerahkan harta tersebut kepada Umar, Umar bertanya: “Apakah Abu Musa meminjami setiap pasukan sebagaimana dia meminjamkannya kepada kalian berdua?” Mereka berdua menjawab: “Tidak.” Umar bin al-Khattab berkata: “Jadi karena kalian anak dari Amirul Mukminin sehingga dia meminjamkannya? Serahkan semua harta serta keuntungannya!” Mendengar hal itu, Abdullah hanya bisa diam. Sedangkan Ubaidullah berkata: “Tidak sepatutnya engkau bersikap demikian, wahai Amirul Mukminin, bukankah jika harta itu berkurang atau hilang, kami harus menanggungnya?”  Umar masih bersikukuh: “Serahkan!” Abdullah juga masih terus diam, sedang Ubaidullah masih terus berusaha mendesaknya. Lalu ada seorang lelaki yang berada di majelis itu berusaha untuk menengahi dan berkata: “Wahai Amirul Mukminin, bagaimana jika engkau menjadikan harta tersebut sebagai hasil Qiradh (Mudharabah, pen) kepada mereka berdua?” Umar bin al-Khattab menjawab: “Aku telah menjadikannya sebagai Qiradh kepada mereka berdua.”  Kemudian Umar mengambil harta itu beserta setengah dari laba, sedang Abdullah dan Ubaidullah juga mendapat setengah dari laba.” (HR. Malik dalam al-Muwaththa’: 1 (2/687)).

Al-Allamah Muhammad Anwar Syah al-Kasymiri (wafat tahun 1353 H) rahimahullah berkomentar:

ففيه دليلٌ على جواز الاكتساب من مال الله عند أبي موسى، وتقريرٌ من عمر، فإنه لم يَقْدَحْ في إسلافه، ولكنه خَشِيَ أن يكونَ ذلك رُشْوَةً، لأنهما كانا ابناه، فقال ما قال

“Di dalam atsar ini terdapat dalil bolehnya mengembangkan (baca: membisniskan dan menginvestasikan, pen) sebagian harta Allah (seperti: harta baitul mal, harta asuransi dsb, pen) menurut Abu Musa dan Umar pun menyetujuinya, karena beliau tidak mencela praktik ini hanya saja beliau takut itu termasuk risywah (gratifikasi, pen) karena keduanya merupakan putra Amirul Mukminin sehingga beliau berkata demikian.” (Faidhul Bari Syarh Shahih al-Bukhari: 3/486).

Zakat Surat Berharga

Dalam masyarakat Indonesia sendiri aturan atau ketentuan dalam mengeluarkan zakat mal telah termuat dalam Undang-Undang. UU nomor 23 tahun 2011 telah secara resmi mengandung macam-macam zakat mal bagi umat Islam. Macam-macam zakat mal berdasarkan UU nomor 23 tahun 2011, diantaranya yaitu zakat mal perhiasan, uang, surat berharga, perniagaan, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, pertambangan, perindustrian, pendapatan, jasa, dan rikaz. (https://www.gramedia.com/best-seller/macam-zakat-mal/).

Pembahasan:

Pertama: semua surat berharga wajib dikeluarkan zakatnya berdasarkan hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam:

‌مَنْ ‌اسْتَفَادَ مَالًا فَلَا زَكَاةَ فِيهِ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الحَوْلُ عِنْدَ رَبِّهِ

“Barangsiapa memanfaatkan harta tertentu, maka harta tersebut tidak dikeluarkan zakatnya hingga genap satu haul (setahun, pen) di sisi pemiliknya.” (HR. At-Tirmidzi: 632 dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu. Al-Hafizh menguatkan ke-mauqufan-nya dalam Bulugh al-Maram, hadits: 606, tetapi beliau menyatakan bisa dijadikan hujjah karena banyak jalannya dalam at-Talkhish al-Habir: 822 (2/306). Al-Albani juga men-shahih-kannya karena banyak jalannya dalam Irwa’ al-Ghalil: 787 (3/254)).

Al-Allamah al-Mulla Ali al-Qari al-Hanafi (wafat tahun 1014 H) rahimahullah berkomentar:

‌مَنِ ‌اسْتَفَادَ ‌مَالًا) أَيْ وَجَدَهُ وَحَصَّلَهُ وَاكْتَسَبَهُ ابْتِدَاءً

“Maksud dari lafazh hadits “Barangsiapa memanfaatkan harta tertentu,” adalah ia mendapatkan harta tersebut, atau ia mendapatkan keuntungan darinya (seperti dari akad bagi hasil atau berupa surat berharga, pen), atau ia mengusahakan harta tersebut (seperti untuk perdagangan, peternakan dan pertanian, pen) secara permulaan.” (Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih: 4/1274).

Kedua: surat berharga yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah surat berharga yang mempunyai nilai nominal seperti deposito, saham, obligasi atau sukuk, reksadana dan sebagainya.

Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts wa al-Ifta’ -yang ditandatangani oleh Ibnu Baaz dan Abdurrazzaq Afifi- berfatwa:

تجب الزكاة في الأسهم والسندات إذا كانت تمثل نقودا أو عروضا للتجارة، بشرط أن يكون من في ذمته النقود ليس معسرا ولا مماطلا

“Wajib dikeluarkan zakat pada saham-saham dan surat-surat hutang (obligasi dan sukuk, pen) jika mempunyai nilai nominal atau berupa barang yang diperjualbelikan. Dengan syarat orang (baca: perusahan emiten, pen) yang menanggung nilai nominalnya bukanlah orang (perusahaan) yang miskin dan juga bukan yang suka menunda pembayaran hutang.” (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah al-Majmu’ah al-Ula, no: 12087 (9/354)).

Ketiga: harga saham dan sukuk yang dihitung zakatnya adalah harga pasar ketika waktu wajibnya zakat, bukan harga saham dan sukuk ketika dibeli.

Al-Allamah al-Faqih Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya:

‌الزكاة على ‌الأسهم تكون على القيمة الرسمية للسهم أم القيمة السوقية أم ماذا؟ فأجاب فضيلته بقوله: ‌الزكاة على ‌الأسهم وغيرها من عروض التجارة تكون على القيمة السوقية، فإذا كانت حين الشراء بألف ثم صارت بألفين عند وجوب ‌الزكاة فإنها تقدر بألفين، لأن العبرة بقيمة الشيء عند وجوب ‌الزكاة لا بشرائه

“Apakah zakat untuk saham-saham itu menurut harga resmi saham (ketika beli, pen) atau harga sesuai pasar, atau bagaimana?” Beliau menjawab:”Zakat atas saham dan barang perdagangan lainnya dihitung menurut harga pasar. Maka ketika saham dibeli seharga 1000 Riyal kemudian menjadi 2000 Riyal ketika waktu wajibnya zakat, maka dihitung seharga 2000 Riyal. Karena yang dianggap adalah harga barang ketika wajibnya zakat, bukan ketika pembeliannya.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibni Utsaimin: 18/197).

Sedekah sebagai Kaffarah

Bersedekah tidak perlu menunggu untuk kaya dahulu, jika ada kesempatan lakukanlah dengan penuh keikhlasan dan ridho hanya kepada Allah ta’ala. Berdagang dengan bersedekah merupakan kegiatan yang mulia, di samping sebagai kafarah untuk membersihkan harta dari transaksi yang dibenci oleh Allah ta’ala.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ، إِنَّ الْبَيْعَ يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْحَلْفُ، ‌فَشُوبُوهُ ‌بِالصَّدَقَةِ

“Wahai para pedagang, sesungguhnya dalam jual beli terdapat kelalaian dan sumpah, maka bersihkanlah dengan sadaqah.” (HR. Ahmad: 16139, Abu Dawud: 3326 dan ath-Thabrani dalam al-Ausath: 4004 (4/212) dari Qais bin Abi Gharazah radhiyallahu anhu. Di-shahih-kan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ hadits: 7974).

Dalam riwayat lain beliau bersabda:

يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ، إِنَّ الشَّيْطَانَ، وَالإِثْمَ ‌يَحْضُرَانِ ‌البَيْعَ، فَشُوبُوا بَيْعَكُمْ بِالصَّدَقَةِ

“Wahai para pedagang, Sesungguhnya setan dan dosa itu datang ketika transaksi jual beli, maka bersihkanlah jual beli kalian dengan sedekah.” (HR. At-Tirmidzi: 1208 dan ia berkata hasan shahih dari Qais bin Abi Gharazah radhiyallahu anhu. Di-shahih-kan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ hadits: 7973).

Penutup

Demikianlah beberapa penjelasan tentang sebagian muamalah di masa kini. Kita tetap diperintahkan untuk melaksanakan muamalah yang halal dan menjauhi muamalah yang haram. Dan setelah mengetahui hukum-hukumnya, kita tetap berusaha menjalankannya dan tidak berpangku tangan tanpa berusaha.

Al-Allamah Sirajuddin Ibnul Mulaqqin asy-Syafi’i (wafat tahun 804 H) rahimahullah menyatakan:

فقد أباح الله تعالى ‌التجارة في كتابه وأمر بالابتغاء من فضله، وكان أفاضل الصحابة يتجرون ويحترفون طلب المعاش، وقد نهى العلماء والحكماء عن أن يكون الرجل لا حرفة له ولا صناعة؛ خشية أن يحتاج إلى الناس فيذل لهم

“Allah ta’ala telah memperbolehkan jual beli di dalam Kitab-Nya dan memerintahkan untuk mencari sebagian keutamaan-Nya. Para pemuka di kalangan sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam juga berdagang serta melakukan usaha untuk mencari penghidupan. Para ulama dan hukam’ juga telah melarang seseorang tanpa mempunyai usaha dan tanpa mata pencaharian, karena khawatir ia akan membutuhkan manusia dan menjadi hina di hadapan mereka.” (At-Taudhih li Syarh al-Jami’ ash-Shahih: 14/17).

Semoga Allah ta’ala menjadikan tulisan ini bermanfaat dan mencatatnya sebagai amal shalih bagi Penulis. Amiin.

‌‌‌سُبْحَانَكَ ‌اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ ‌وَأَتُوبَ ‌إِلَيْكَ

Karma Islami, Adakah?

Oktober 30, 2012 2 komentar

Karma Islami, Adakah?

(untuk Salafiyyin yang Suka Latah)

Oleh: dr. M Faiq Sulaifi

Pendahuluan

Akhir-akhir ini kita dihebohkan oleh fatwa-fatwa yang membingungkan umat. Di antara fatwa tersebut adalah bahwa “Di dalam agama Al-Islam juga dapat berlaku hukum Karma”. Tidak tanggung-tanggung, yang mengeluarkan fatwa itu adalah orang yang dianggap ‘ustadz besar’ atau salafy atau penganjur dakwah salaf. Baca selengkapnya…

Gigi Emas untuk Laki-laki, Bolehkah?

Januari 26, 2012 2 komentar

Gigi Emas untuk Laki-laki, Bolehkah?

Oleh: dr. M Faiq Sulaifi

Hukum asal menggunakan perhiasan emas bagi kaum laki-laki adalah haram atau dilarang. Baca selengkapnya…

HIKMAH DALAM DAKWAH

Januari 6, 2012 4 komentar

HIKMAH DALAM DAKWAH

Oleh: dr. M Faiq Sulaifi

Dakwah Salafiyyah adalah Dakwah Al-Islam itu sendiri. Ia memiliki banyak keutamaan dan keindahan. Namun keindahan dan keutamaannya akan tercoreng jika para juru dakwahnya tidak memiliki hikmah dalam mendakwahkannya. Baca selengkapnya…

Menjadi Kaya, Siapa Takut?

Oktober 14, 2011 2 komentar

 

(Motivasi Islami untuk Menjadi Kaya)

Oleh: dr. M Faiq Sulaifi

Pendahuluan

Menjadi seorang salafy atau ahlus Sunnah yang kaya raya adalah sah-sah saja. Apalagi jika dengan niat yang benar, para Sahabat Nabi r pun ingin  dan iri terhadap orang kaya yang demikian.

Dari Abu Dzar  Al-Ghifari t:

أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ

“Bahwa sebagian orang dari kalangan sahabat Nabi r berkata kepada Nabi r: “Wahai Rasulullah! Orang-orang kaya itu berangkat dengan membawa banyak pahala. Mereka melakukan shalat sebagaimana kami melakukan shalat. Mereka pun berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Tetapi mereka mampu bersedekah dengan kelebihan harta mereka….dst.” (HR. Muslim: 1674, Abu Dawud: 1286, Ahmad: 20500).

Menjadi kaya juga memerlukan motivasi dari generasi terdahulu yang menjadi teladan dalam kebaikan. Baca selengkapnya…

Berlebaran bersama Pemerintah, Syiar Persatuan Kaum Muslimin

September 22, 2011 4 komentar

Berlebaran bersama Pemerintah, Syiar Persatuan Kaum Muslimin

Oleh: dr. M Faiq Sulaifi

Setiap kali memasuki bulan Ramadlan, Syawal dan Dzulhijjah, kita selalu dihantui dengan kegelisahan dan keresahan dengan perbedaan puasa dan lebaran. Ini disebabkan karena sebagian masyarakat merasa tidak puas dengan penentuan dan isbat hari raya yang dilakukan oleh Pemerintah. Baca selengkapnya…

Ucapan Selamat atas Masuknya Bulan Ramadhan

Ucapan Selamat atas Masuknya Bulan Ramadhan

Oleh: dr. M Faiq Sulaifi

Diperbolehkan bagi kaum muslimin untuk menyampaikan ucapan selamat datang atas masuknya bulan Ramadhan kepada kaum muslimin yang lainnya. Ucapan tersebut seperti “Marhaban Ya Ramadhan” atau “Ramadhan Bulan Barakah” atau “Selamat Menjalankan Ibadah Puasa” dan sebagainya.

Ucapan Selamat dari Rasulullah Shallallahu alahi wasallam

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam juga mengucapkan selamat kepada para Sahabat beliau atas datangnya bulan Ramadhan. Baca selengkapnya…

Menyampaikan Kajian dengan Seijin Pemerintah, Sebuah Manhaj As-Salaf

Menyampaikan Kajian dengan Seijin Pemerintah, Sebuah Manhaj As-Salaf

Oleh: dr. M Faiq Sulaifi

Termasuk manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah meminta ijin pemerintah dalam mengadakan kegiatan dakwah. Ketika melakukan kegiatan dakwah, mereka membangun lembaga dakwah atau yayasan dakwah sebagaimana peraturan pemerintah di negeri mereka. Begitu pula ketika mengadakan kegiatan daurah keilmuan, mereka juga harus mendapatkan ijin dari pemerintah setempat.

Sebaliknya, manhaj khawarij adalah melakukan dakwah tanpa seijin penguasa. Mereka berdakwah secara diam-diam tanpa mendirikan lembaga ataupun yayasan sehingga menyulitkan pemerintah untuk mengawasi mereka. Begitu pula ketika mengadakan daurah, mereka tidak meminta ijin pemerintah terlebih dahulu. Baca selengkapnya…

Antara Mengemis dan Menggalang Dana

Oktober 31, 2010 6 komentar

Antara  Mengemis dan Menggalang Dana

dr. M Faiq Sulaifi

Pada saat terjadinya berbagai bencana ini kita menemukan kegiatan penggalangan dana untuk para korban bencana di berbagai tempat. Selain itu kita juga mendapatkan kegiatan penggalangan dana untuk pembangunan masjid, madrasah dan untuk membantu anak-anak yatim. Kita menemukan kegiatan tersebut dengan keadaan langsung seperti di jalan-jalan, di masjid maupun tidak langsung seperti menggunakan surat dan proposal.

Pada saat yang lain kita juga mendapatkan sebagian orang yang melakukan kegiatan meminta-minta baik dengan cara sederhana seperti pengemis jalanan maupun menggunakan proposal.

Contoh pertama adalah kegiatan yang dianjurkan sedangkan contoh yang kedua adalah tercela dan dilarang. Namun yang disayangkan adalah munculnya orang-orang yang “kurang berilmu” yang menyamakan antara mengemis (baca: tasawwul) dan menggalang dana. Baca selengkapnya…